Jumat, 03 Juli 2009

Toxic Employee

Dalam ilmu biologi, toxic atau racun merupakan suatu zat yang dapat menyebabkan luka, sakit, maupun kematian organisme. Namun ternyata istilah toxic atau racun ini tidak hanya menjangkiti pada tubuh makhluk hidup atau organisme saja, tapi juga bisa menjangkit pada sebuah organisasi atau perusahaan, dan dampak yang timbulkannya pun juga dapat mengakibatkan organisasi tersebut menjadi sakit bahkan mati.

Lalu apakah toxic atau racun yang terdapat dalam organisasi atau di perusahaan ini? Seperti di ketahui bersama, bahwa organisasi atau perusahaan merupakan sebuah lingkungan social yang terbentuk dan terdiri dari para anggota maupun karyawannya yang memiliki tujuan bersama. Oleh karena itu, toxic yang terdapat dalam sebuah organisasi ini, sudah tentu dibawa oleh individu-individu dalam organisasi itu sendiri, atau karyawan dalam sebuah perusahaan. Karyawan semacam inilah yang disebut sebagai Toxic employee oleh Antonio Dio Martin dalam buku terbarunya. Garis polisi ‘dilarang melintas’ berwarna kuning melintang di cover buku tersebut memberikan pemahaman semiotika tentang cara untuk mengenali dan menghadapi karyawan yang telah menjadi toxic dalam perusahaan.

Toxic employee alias karyawan beracun sepertinya terdengar menakutkan bagi pembaca. Anthony terkesan sengaja membangun image menakutkan agar pembaca tertarik membaca buku ini dari awal. Pasalnya, terlambat sedikit saja menangani para toxic employee memang bisa berdampak menakutkan bagi perusahaan. Seperti halnya membiarkan residu kanker berkembang dalam tubuh manusia.

Seperti halnya sifat racun. Racun itu membunuh pelan-pelan tapi pasti. Begitu pula karakter karyawan yang beracun bisa membunuh organisasi secara perlahan-lahan. Toxic employee bisa menjangkit pada siapa-pun orangnya. Karena karayawan yang paling berprestasi pun bisa termasuk kategoti toxic employee, dan sebaliknya seorang karyawan yang bodoh dan pemalas pun belum tentu menjadi seorang toxic employe. Bahkan, bukan tak mungkin seorang pemimpin atau manajer sekalipun juga menjadi seorang toxic leader.

Sesungguhnya, siapa saja karyawan disebut beracun tersebut? Lalu, racun apa saja inidkasinya dan seberapa bahayanya? Dalam bukunya, Anthony membagi cirri-ciri karyawan beracun tersebut menjadi tujuh cirri. Cirri – ciri tersebut adalah: Negaholic dan Pesimis; Menyedot Energi Tim; Menjadi Masalah, bukan solusi; Self Centered; Emosional; Suka Menggosip; dan tidak bisa bersyukur.

Sebagai salah satu contohnya adalah Toxic employee nagaholic dapat diilustrasikan dengan tokoh kartun yang cukup dikenal dengan karakter pesimisnya, Eeyore, si keledai pesimis sahabat winie and the pooh. Saking pesimis dan negative, dengarlah komentar Eeyore terhadap pantulan mukannya sendiri, “Menyedihkan, lihat mukamu.” Menurut Anthony, orang negaholic dan pesimis adalah orang yang selalu mementahkan ide baru tanpa mau memecahkannya terlebih dahulu. Bagi mereka (toxic employee negaholic), bekerja tidak lengkap rasanya tanpa berpikir negative.

Dan salah satu pertanyaan menarik dalam pembahasan masalah toxic employee ini adalah mengenai asal usul si Toxic employee? Oleh Anthonio, asal-usul si Toxic employee ini datang dari ilmu Psikologi yang berdasarkan pada empat theory, yaitu, Theory pertama adalah Theory Nature mengatakan bahwa “kebiasaan buruk” toxic employee ini adalah bagian dari karakter yang sudah terbentuk sejak kecil.

Theory Kedua, teori Nurture mengatakan bahwa toxic employee ini terbentuk dari lingkungannya. Theory ketiga, yakni teori ember kosong, teori ini mengatakan bahwa biasanya mereka- mereka ini adalah orang yang mempunyai pengalaman buruk sehingga outputnya pun menjadi buruk.

Theory Keempat, mengatakan asal-muasal toxic employee adalah dari kondisi yang mendapatkan penguatan (reinforcement). Dengan perilakunya mereka, justru mereka mendapatkan tempat dan perhatian. Itulah sebabnya mereka mempertahankan sikap toxic mereka. Apalagi, jika sikap mereka bisa membuat mereka dipromosikan.

Seperti yang telah disebutkan diatas, efek yang sangat mematikan bisa dihasilkan oleh para toxic employee ini. Sesungguhnya ada banyak hal yang bisa dimatikan oleh mereka. Terutama jika mereka berada diposisi sebagai pimpinan. Mereka bisa mematikan kreativitas, antusiasme kerja juga mematikan etos kerja yang positif. Sebuah pepatah yang bagus mengatakan, “Nothing dies faster than a new idea in a close mind”. Begitulah yang akan terjadi jika ide-ide baru dihadapkan kepada para toxic employee. Mereka mudah mengatakan “tidak mungkin,” “Tidak ada gunanya,” ataupun “Mustahil”. Karena itulah ada pepatah cina lain yang mengatakan, “Jangan menuangkan teh panas ke dalam cangkir dengan teh dingin”, si Toxic employee ini dapat diibaratkan cangkir teh dingin yang sudah tidak memiliki lagi ‘uap’ semangat dan gairah untuk menerima ide yang baru dan inovatif.

Sabtu, 13 Juni 2009

MELIHAT LEBIH JAUH

Ada dua kisah nyata inspiratif yang akan saya adaptasi. Pertama tentang seorang tukang pipa (plumber). Alkisah, bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman sedang pusing karena pipa keran airnya bocor, ia takut anaknya yang masih kecil terjatuh. Setelah bertanya ke sana-kemari, ditemukan seorang tukang terbaik. Melalui pembicaraan telepon, sang tukang menjanjikan dua hari lagi untuk memperbaiki pipa keran sang bos. Esoknya, sang tukang justru menelepon sang bos dan mengucapkan terima kasih. Sang bos sedikit bingung. Sang tukang menjelaskan, ia berterima kasih sebab sang bos telah mau memakai jasanya dan bersedia menunggunya sehari lagi. Pada hari yang ditentukan, sang tukang bekerja dan bereslah tugasnya, lalu menerima upah. Dua minggu kemudian, sang tukang kembali menelepon sang bos dan menanyakan apakah keran pipa airnya beres. Namun, ia juga kembali mengucapkan terima kasih atas kesediaan sang bos memakai jasanya. Sebagai catatan, sang tukang tidak tahu bahwa kliennya itu adalah bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman. Cerita belum tamat. Sang bos demikian terkesan dengan sang tukang dan akhirnya merekrutnya. Tukang itu bernama Christopher L Jr dan kini menjabat GM Customer Satisfaction & Public Relation Mercedes Benz. Dalam sebuah wawancara, Christopher menjawab, ia melakukan semua itu bukan sekadar tuntutan after sales service atas jasanya sebagai plumber. Jauh lebih penting, ia selalu yakin tugas utamanya bukanlah memperbaiki pipa bocor, tetapi keselamatan dan kenyamanan orang yang memakai jasanya. Christopher melihat lebih jauh dari tugasnya.

Kisah lain. Ada juga kisah dari teman saya, James Gwee, tentang Mr Lim yang sudah tua dan bekerja ”hanya” sebagai door checker (memeriksa engsel pintu kamar hotel) di sebuah hotel berbintang lima di Singapura. Puluhan tahun ia jalankan pekerjaan membosankan itu dengan sungguh- sungguh, tekun, dan sebaik-baiknya. Ketika ditanya apakah ia tak bosan dengan pekerjaan menjemukan itu, Mr Lim mengatakan, yang bertanya adalah orang yang tidak mengerti tugasnya. Bagi Mr Lim, tugas utamanya bukanlah memeriksa engsel pintu, tetapi memastikan keselamatan dan menjaga nyawa para tamu. Dijelaskan, mayoritas tamu hotelnya adalah manajer senior dan top manajemen. Jika terjadi kebakaran dan ada engsel pintu yang macet, nyawa seorang manajer senior taruhannya. Jika ia meninggal, sebagai decision maker, perusahaannya akan menderita. Jika perusahaannya menderita dan misalnya bangkrut, sekian ribu karyawannya akan menderita. Belum lagi keluarganya, termasuk anak istri manajer itu.

Demikian jauh pandangan Mr Lim, dan ia bukan sekadar door checker. Beberapa pelajaran Christopher L Jr dan Mr Lim relatif manusia sejenis. Keduanya bukan kelas manusia sedang atau biasa (good people). Mereka jenis ”manusia besar atau manusia berlebih” (great people) meski jabatan atau pekerjaan formal di suatu saat demikian ”rendah dan biasa saja”. Sikap mental mereka jauh lebih tinggi dari jabatan dan pekerjaan formalnya.

Dua kisah itu memberikan beberapa pelajaran berharga. Pertama, untuk menjadi manusia besar tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan teknis seseorang mengerjakan tugasnya. Kemampuan dan kompetensi teknis (hard competence) boleh sama atau biasa saja, tetapi sikap mental atau soft competence yang lebih akan menentukan seseorang menjadi manusia besar atau tidak. Kedua, untuk bisa mempunyai soft competence dimaksud, kita perlu berontak dan bangun dari tidur panjang selama ini, keluar dari zona nyaman good. Sebagai manusia minimalis, pekerja atau pemimpin apa adanya (yang penting job description dijalankan), target kerja atau key performance indicator (KPI) tercapai, beres! Itulah tipikal manusia biasa saja. Upaya ini memerlukan pengorbanan diri sebab hanya dengan menjadi good people seperti selama ini saja, toh tak ada yang mengusik kita, tetap bisa bekerja dengan nyaman, dan seterusnya. Maka, pemberontakan untuk bebas dari kondisi good people itu harus dari diri sendiri dulu. Ingat petuah Jim Collins, good is the enemy of great. Ketiga, langkah lebih konkret selanjutnya adalah sikap mental untuk ”melihat lebih”! Christopher L Jr plumber yang ingin memastikan kliennya nyaman dan selamat. Mr Lim door checker yang ingin menjamin tamu hotelnya terjaga nyawanya dari bahaya kebakaran. Melihat lebih jauh, beyond the job! Keempat, setelah mampu melihat lebih, barulah kita mampu ”memberi lebih” (giving more). Hanya dengan melihat lebih dan memberi lebih, kita mampu menjadi manusia besar yang tidak hanya bekerja sebatas KPI. Kita akan mampu bekerja dengan memberikan key values indicator (KVI), nilai-nilai lebih, mulia, unggul, berguna bagi setiap pengguna atau penikmat hasil kerja kita. Itulah Christopher L Jr dan Mr Lim. Rindu pemimpin besar Betapa bangsa ini rindu seorang pemimpin hasil pemilu yang layak disebut pemimpin besar, great leader. Mereka yang kini sedang giat berkompetisi dan perang iklan dengan saling sorot KPI masing-masing. Perhatikan dengan saksama, maka segenap janji kampanye, termasuk realisasinya, konteksnya masih sebatas pemenuhan KPI. Ini berlaku baik bagi yang masih berkuasa maupun mantan dan juga calon yang baru. Semua bicara tentang KPI kepemimpinan, belum menyentuh KVI kepemimpinan. Para pemimpin dan bahkan kita semua demikian bangga dan terpesona sendiri saat mampu memenuhi ”KPI kehidupan” kita masing-masing, yang biasanya memang bersifat kuantitatif, materiil, dan mudah diukur. Padahal, untuk menjadi great people, great leader, great father, great manager, dan seterusnya, lebih diperlukan kemampuan mempersembahkan ”KVI kehidupan” kita, yang biasanya justru tidak mudah diukur. Bangsa ini sangat memerlukan Christoper L Jr dan Mr Lim sebanyak mungkin dan sesegera mungkin. Sebagai catatan akhir, seorang office boy yang mampu mempersembahkan KVI nilainya tak kalah dengan seorang CEO yang hanya memberikan KPI-nya. Jika kita ”mau” melihat lebih jauh, kita akan ”mampu” melangkah lebih jauh.

Selasa, 02 Juni 2009

Outlier

Ini adalah kenyataan tentang outlier, yaitu orang-orang, pria dan wanita yang melakukan hal – hal di luar kebiasaan. Mereka yang termasuk dalam jenis outlier ini adalah, orang genius, raja bisnis, musisi rock, dan pembuat program perangkat lunak.

Dalam outlier, kita akan menemukan rahasia seorang pengacara hebat, dan juga melihat apa yang memisahkan para pilot terbaik dan pilot yang pernah menabrakkan pesawatnya, dan mencoba untuk mencari tahu kenapa bangsa Asia sangat hebat dalam matematika. Dan dalam menelaah kehidupan orang – orang hebat diantara kita, orang-orang yang memiliki keahlian, bakat, dan motivasi, dalam buku outlier ini, Malcom Gladwell, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sangat salah tentang cara kita menilai sebuah kesuksesan.

Apakah pertanyaan yang selalu kita ajukan tentang orang – orang yang sukses? Kita ingin tahu, seperti apa orang yang sukses itu, kepribadian apa yang mereka miliki, atau seberapa cerdas orang – orang ini, atau gaya hidup seperti apa yang mereka jalani, atau bakat khusus apa yang mereka dapatkan sejak lahir? Dan kita berasumsi bahwa berbagai kualitas pribadi itu yang menjelaskan mengapa individu – individu ini berhasil mencapai puncak kesuksesan.

Dalam outobiografi yang diterbitkan setiap tahunnya oleh para milyuner / pengusaha / bintang rock / selebriti, benang merah ceritanya selalu sama; pahlawan kita dilahirkan dalam kehidupan yang sederhana dank arena kegigihan serta bakatnya, dia mampu meraih kesuksesan.

Pada sejumlah novel terkenal dari abad kesembilan belas karya Horatio Alger, anak – anak laki – laki dilahirkan dalam keadaaan keluarga miskin menjadi orang kaya melalui kombinasi keberanian dan inisiatif. “Kupikir secara keseluruhan, ini adalah sebuah kerugian,” ujar Jeb Bush tentang apa artinya menjadi putra Presiden Amerika Serikat, adik Presiden AS berikutnya dan cucu seorang bankir Wall Street yang kaya raya serta Senator AS terhadap karier bisnisnya. Saat ikut dalam pemilihan gubernur Florida, dia berulang kali menyebut dirinya sebagai “orang yang berhasil dengan usaha sendiri,” dan hal itu mewakili bagaimana kita menghubungkan kesuksesan dengan usaha yang dilakukan seseorang, dimana istilah ini kadang – kadang dianggap miring oleh beberpa orang.

“Angkat Kepalamu,” ujar Robert Winthrop kepada khalayak banyak saat meresmikan patung pahlawan kemerdekaan AS, Benjamin Franklin, “dan lihatlah gambaran orang yang bangkit dari nol, yang kesuksesannya bukan didapatkan dari orang tua atau dukunga orang lain, yang tidak menikmati keuntungan akan pendidikan awal yang ratusan kali terbuka bagi kita, yang khalayak melakukan pekerjaan besara dalam berbagai bisnis yang dijalananinnya, tetapi hidup untuk menentang para Raja dan gugur dengan meninggalkan nama yang tidak akan dilupakan seluruh dunia.”

Senin, 01 Juni 2009

Pancasila Sebagai Ideologi

Weltanschauung ist nicht ein Wissen, sonder sie offen sich in Wertungen, Lebengstaltung, Schiksal, in der erlebten Rangerdnung der Werte. (Karl Jaspers, Pshychologie der Weltanschauungen)

Jika kita hendak memandang pancasila sebagai ideology atau Weltanschauungen, maka pertanyaan – pertanyaan yang kita hadapi adalah sebagai berikut: bagaimana kedudukannya dalam kehidupan manusia, apa sebabnya pancasila menjadi ideology Negara Indonesia, dimana letak haknya, apa konsekuensi2 dari pancasila sebagai ideology Negara? Deretan pertanyaan2 ini belum habis. Tetapi biarlah rentetan itu saja yang kita pasang.

Istilah ideology berasal dari kata Yunani (Greek) eidos dan logos. Edos yang berasal dari kata kerja mempunyai arti melihat, memandang, berarti gambaran pandangan. Karena memikir itu juga mirip dengan memandang, maka eidos juga berarti pikiran (Idea). Logos disini berubah menjadi logia, berarti kata, pengertian, ucapan,. Kita mengerti kata biologi, fiologi, dan sebagainya; dalam hal ini logi berarti pengertian atau ilmu pengetahuan. Dalam istilah ideology, kata logi tidak menunjuk ilmu pengetahuan. Ideology adalah kesatuan idea2, kesatuan itu dimiliki dengan dan dalam logos atau pengertian. Dalam komposisi istilah itu termuat suatu renungan atau refleksi: istilah itu menyatakan bahwa ada idea –idea dan ada pengertian tentangnya, bahkan bahwa manusia telah berpikir tentang idea2 itu tidak hanya ada secara banyak, melainkan secara kesatuan. Idea2 itu bukanlah sembarangan idea, tetapi idea2 yang mendalam, yang fundamental.

Jika ilmu2 kebudayaan memandang pengertian tentang pertanian yang ada pada bangsa2 primitif, maka pengertian itu tidak akan disebut ideology. Namun disitu terdapat juga idea2 dan kesatuannya.

Sebaliknya, jika kita melihat upacara2 pesta pertanian, maka kita akan berkata pesta itu berdasarkan pada suatu ideology atau pandangan hidup. Sebab, yang menjadi dasar upacara2 itu adalah pikiran tentang hidup, tentang asal – usul rezeki, tentang kedudukan manusia dalam kosmos. Benarlah kata Jaspers bahwa dengan istilah ideology atau pandangan dunia (Weltanschauungen) kita menunjuk das Letzte und das Totale des Menschen.

Dengan ini tampaklah bahwa ideology kita pandang sebagai sesuatu yang baik, bahwa ideology, seperti nanti masih akan tampak, ialah pengertian yang fundamental tentang realitas, bahwa ideology adalah dari realitas ke realitas. Tetapi, dalam sejarah kita mengerti juga bahwa ideology dianggap sebagai khayalan yang tak berguna. Maka itu kita akan melihat lawan kita dulu, yaitu, pendapat yang menyatakan bahwa ideology itu tidak objektif, bahwa ideology itu suatu kebohongan. Demikianlah pendapat dari kalangan Marxisme. Bagi mereka filsafat mereka sendiri bukanlah ideology karena (demikianlah pikiran Marxisme) pandangan mereka itu benar. Lain – lain pandangan adalah salah, tidak menerjemahkan realitas.

Tetapi, mengapakah ideologi2 itu toh dianut? Demikianlah pendapat dari kalangan Marxisme tadi – ideologi2 itu dianut karena menguntungkan. Misalnya, karena Vested Interest. Ingatlah saja, misalnya mitos – mitos yang dikarang untuk mempertahankan kaum bangsawan. Sampai – sampai orang berani mangatakan bahwa asal – usul rajanya adalah dari kedewaan. Menurut pandangan dari kalangan Marxist tersebut banyak ideology berasal dari kaum kapitalis dan untuk kepentingan kapitalisme.

Dengan ini nyatalah bahwa dalam kalangan Marxist ideology digunakan dalam arti peyoratif (jelek). Tetapi, tidak ada alasan sedikitpun yang member arti demikian. Sebaliknya, tidak tepat juga jika istilah ideology hanya dianggap mempunyai arti baik. Sejarah member penyaksian adanya ideology yang jahat, seperti Fascisme, Nazisme, …., dan komunisme sendiri. Hematnya, ideology memiliki arti yang netral. Baik buruknya tergantung dari isinya.

Yang perlu mendapat perhatian adalah munculnya pandangan bahwa ideology dianut karena kepentingan. Menurut pendapat Marxist di atas ideology dianut justru karena hanya kepentingan. Pendapat ini salah, tidaklah benar bahwa tiap2 ideologi dianut karena kepentingan. Pancasila kita, tidak kita anut hanya karena kepentingan, tetapi juga yakin bahwa Pancaila itu benar. Aspek kebenaran dalam soal ideology tidak bisa dimungkiri. Tetapi, memang nyata bahwa dalam prakteknya aspek kebenaran itu tidak begitu disadari. Dalam prakteknya orang menganut ideology karena melihat ideology sebagai cita – cita: ideology merumuskan ideal.

Ketika sebagian dari bangsa Jerman mengorbankan ideology Nazisme, mereka bercita – cita tentang kebenaran ras.

Tiap – tiap ideology sosialistis mencita – citakan kesamaan hak, kesamaan kemakmuran dan bahagaia berdasarkan penikmatan yang sama dan bersama – sama dari kekayaan material di dunia ini.

Catatan diatas kiranya cukup untuk memperlihatkan adanya aspek ideal atau cita2 dalam ideology. Sekarang harus ditambahkan bahwa cita2 itu didasarkan atas pandangan yang asasi. Baiklah kita catat sebentar bahwa asasi disini hanya kita pandang secara relative, artinya menurut penganut ideology yang bersangkutan. Jadi, belum tentu apa yang disebut asasi itu juga betul2 asasi. Dengan ini juga masih kita kesampingan soal benar atau tidaknya pandangan dari suatu ideology.

Dalam tingkat uraian ini hanya dikemukan bahwa ideology memuat pandangan yang dianggap asasi. Menurut ideology Marx misalnya, Manusia seharusnya tidak bernegara. Negara bertentangan dengan hakikat manusia (menurut Marx). Disini pandangan asasi karena mengenal hakikat manusia. Bahwa pandangan ini salah tidak akan kita rembug sekarang. Contoh lain, kita ajukan ideology Nazisme. Menurut ideology ini suatu ras harus menjadi bangsa yang menjadi tuan besar. Lain – lainnya harus menjadi budaknya. Pandangan ini oleh para penganut dianggap asasi. Mereka tidak memandang lebih lanjut. Pandangan itu menjadi landasan politik mereka, tetapi boleh disangsikan anthropo-biologis politis dan sosiologisnya sehingga sukar dikatakan asasi secara objektif., meskipun bagi para penganutnya, yang tidak berfikir tentang hakikat manusia, pandangan itu sudah dianggap fundamental.

Jika kita melepaskan soal tentang benar atau tidanya, betul2 asasi atau tidaknya suatu pandangan (atau kompleks pandangan) yang dijadikan ideology, maka dapat kita rumuskan sebagai berikut; yang disebut ideology adalah suatu kompleks idea2 asasi tentang manusia dan dunia yang dijadikan pedoman dan cita2 hidup.

Rumusan ini berdasarkan fakta sejarah. Dalam sejarah kita menyaksikan bahwa ideology dianut karena manfaatnya, karena efisiensinya. Tetapi, penganutan itu pada prinsipnya juga berdasarkan keyakinan bahwa ideology yang dianut itu benar. Idea2 yang sebagai kompleks sistematis menjadi ideology itu kita katakana: tentang manusia dan dunia. Dalam keterangan ini termuat juga pandangan tentang Tuhan, tentang manusia sesama, tentang hidup dan mati, tentang masyarakat dan Negara, dan sebagainya.

Sesuai dengan tabiat hubungan2 yang diakui itu, suatu ideology bisa bersifat bisa bersifat hanya diesseitig atau diesseitig serta jenseitig.

Komunisme adalah suatu ideology yang hanya diesseitig sebab tidak mengakui Tuhan. Pancasila adalah ideology yang diesseitig serta jenseitig. Diesseitig karena hanya merembug hidup di dunia ini (Demokrasi, Keadilan Sosial); serta jenseitig karena mengakui Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam rumusan diatas kita akui bahwa ideology itu bukanlah hanya pengertian. Ideology adalah prinsip dinamika karena merupakan pedoman atau cita2 (ideal). Ideology berupa pedoman, artinya menajadi pola dan norma hidup, tetapi juga berupa ideal dalam cita2, artinya realisasi dari idea2 yang menjadi ideology itu dipandang sebagai kebesaran, kemuliaan manusia. Dengan melaksanakan ideology manusia juga mengejar keluhuran. Itulah sebabnya manusia juga sanggup mengorbankan hidupnya demi ideology.

Karena ideology itu menjadi pola dan norma hidup dan dikejar pelaksanaannya yang tinggi sebagai ideal, maka tak mengherankan jika ideology bisa menjadi Lebengestaltung, seperti dinyatakan oleh filsuf Jerman yang terkenal Karl Jaspers. Kita tidak perlu berpendapat bahwa dengan mudah saja ideology menjadi Lebengestaltung (bentuk hidup, levensvorm). Semoga dan Semoga Pancasila tetap menjadi Lebengestaltung, sehingga tidak akan pernah terjebak oleh segala paradoksnya.

Sabtu, 30 Mei 2009

Tamatnya Ideologi dan Latar Belakang


ADA kecenderungan yang sangat kuat bahwa ideologi sudah tamat riwayatnya. Itulah kecenderungan yang terjadi dalam konteks mencari wakil presiden yang sedang giat-giatnya dilakukan elite partai. Proses masih terus berjalan, tetapi kecenderungan itu sudah dapat dilihat.

Pencalonan SBY menjadi presiden dari Partai Demokrat kiranya akan didukung empat partai yang berbasiskan Islam, yaitu PKB, PKS, PAN, dan PBB, serta partai berbasiskan Kristen PDS.
Sementara itu, calon presiden Megawati Soekarnoputri yang diusung PDI Perjuangan akan berkoalisi dengan Gerindra dan Hanura serta banyak disebut dengan PPP yang berlambang Kabah. Bila itu yang terjadi, itulah perkawinan paham kebangsaan dengan Islam.

Bagaimana dengan calon presiden Jusuf Kalla yang dijagokan Partai Golkar? Sampai kemarin belum jelas Golkar akan berkoalisi dengan partai apa.

JK telah bertemu dengan Megawati dan Prabowo, tetapi belum ada tanda-tanda terjadi koalisi.
Yang jelas, sulitnya mendapatkan 25% suara rakyat atau 20% kursi DPR menyebabkan koalisi untuk mencari cawapres menjadi cair dan longgar.

Gejala umum yang muncul ke permukaan adalah pengelompokan parpol-parpol dalam koalisi tidak lagi terikat kepada kesamaan ideologi. Partai-partai atau tokoh-tokoh yang berbeda secara ideologis ternyata tidak memiliki hambatan berkoalisi untuk mengusung kepentingan yang sama.
Bahkan, latar belakang sejarah yang berlawanan pun tidak menjadi perkara. Itulah yang mengundang banyak pertanyaan.

Dalam gerbong yang mengusung incumbent SBY sebagai capres misalnya, ada Partai Demokrat, PKS, dan PDS yang dalam konteks ideologis sesungguhnya terpaut jarak cukup jauh. Namun, perbedaan itu tidak menghalangi partai-partai tersebut untuk berkoalisi.

Koalisi Megawati dan Prabowo adalah koalisi dua latar belakang yang saling berseberangan. Soemitro Djojohadikusumo adalah ayah Prabowo yang merupakan 'musuh politik' Bung Karno yang adalah ayah Megawati.

Ayah keduanya berseberangan secara politik, tetapi kini pada generasi anak, ternyata dapat bertemu dan bersatu untuk mengusung kepentingan bersama. Pertanyaannya adalah mengapa partai-partai atau tokoh-tokoh yang secara ideologis dan latar belakang sejatinya ibarat air dan minyak itu dapat berkumpul dalam sebuah koalisi? Tidakkah yang sepenuhnya bekerja semata pragmatisme? Demi kepentingan sesaat, ideologi partai dapat disingkirkan.

Demi memperoleh kursi kabinet, perbedaan dapat dilupakan. Pertanyaannya adalah berapa lama kekompakan itu bisa bertahan? Kabinet Indonesia Bersatu tentu saja dapat menjadi bukti bahwa koalisi rapuh karena terlalu banyak yang diakomodasi tanpa mempersoalkan platform.

Koalisi yang sehat adalah koalisi yang didasarkan pada kesamaan platform. Bisakah kesamaan platform itu dibentuk secara mendadak? Singkatnya, pemilu presiden kali ini jelas sebuah medan persaingan yang unik. Yaitu tidak soal siapa berkoalisi dengan apa dan siapa, yang penting bisa menang menjadi presiden.

ISLAM DI TENGAH ARUS TRASNISI MENUJU DEMOKRASI

“The trantition toward democracy … contains a prolonged and incloncusive political struggle. Some individual, groups, ad class challenge the nondemocratic rules. Democracy may not be their aim; it can means to another end or a by product of struggle for other ends …” (Sorensen, 1993 ; 4)

Pembahasan tentang perkembangan politik umat islam di tengah transisi Indonesia menuju demokrasi, tak ragu lagi, merupakan hal yang amat kompleks. Masalahnya bakal menjadi lebih jauh lagi bila di kaitkan dengan tema tentang “Islam Politik” dan “Islam Kultural”, yang menandai Islam dalam masa transisi, karena kedua corak ini dalam pergumulan yang intens. Karena memang kedua corak Islam tersebut selama ini dipandang secara dikhotomis. Masa sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya, yang di gantikan oleh Habibi, dan kemudian Abdurrahman Wahid sering di pandang sebagai masa kebangkitan (kembali) Islam politik, yang terlihat dari kemunculan banyak sekali partai Islam.

Sebaliknya, Islam cultural yang mendorong “renaisans cultural” kaum muslimin dalam dasawarsa terakhir masa Soeharto, dikhawatirkan akan semakin memudar dalam masa transisi menuju demokrasi sekarang ini.

Semantara itu, kebangkitan Islam politik juga mengandung banyak masalah. Kebangkitan Islam politik menimbulkasn perdebatan politik tidak hanya islam politik versus islam cultural, tetapi juga bahkan keprihatinan. Islam politik yang muncul secara sangat fragmentaris memunculkan poliferasi skisma dan bahkan konflik yang cukup akut di antara berbagai kelompok dan elit politik Muslim.

Mengingat posisi demografis kaum Muslim sebagai warga mayoritas di Indonesia dan menghadapi fragmentasi serta skisma di kalangan umat Islam, maka wajar jika di ajukan pertanyaan; apa kebangkitan Islam politik itu terhaadap terhadap transisi Indonesia menuju demokrasi yang lebih otentik dan genuine?

Dengan kata lain, apakah parpol Islam yang begitu banyak dapat memberikan sumbangan positif kepada transisi Indonesia menuju demokrasi. Tidaklah perlu rasionalisasi atau penyederhanaan terhadap jumlah parpol islam agar mereka mampu memainkan peran lebih konstruktif dalam transisi. Sebab dengan jumlah yang demikian banyak, parpol islam bersama parpol parpol lain sebaliknya justru bisa menjadi kaontraproduktif bagi demokratisasi. Masalah – masalah seperti ini sangat tidak mudah dikaji tuntas.

Bangsa ku Tidak Untuk Berbisnis

Satu pekan yang lalu, bangsa Indonesia baru saja menyelenggarakan pesta Demokrasi. Sebagai rakyat Indonesia, kita semua telah menentukan pilihan masa depan negeri untuk lima tahun ke depan.

Pasca reformasi 1998, perilaku memilih dari pemegang hak suara memang telah banyak berubah, tentunya hal ini tidak lepas dari perubahan system demokratisasi di Indonesia. Bila dulu banyak pemilih yang menjatuhkan pilihannya karena mobilisasi dan manupilasi propaganda dari penguasa, kini pemilih telah memiliki hak suara sepenuhnya, sesuai dengan filsafat politik “vox popoli vox Dei”.

Akan tetapi demokratisasi yang berjalan di Indonesia saat ini masih tetap harus selalu di kritisi perkembangannya, agar kelak demokrasi yang telah beridiri di atas darah para mahasiswa ini tidak melenceng kea rah anarkisme ataupun chaos social politik.

Sistem demokrasi dan juga system pemilu Indoensia yang menganut system multi partai saat ini tidak hanya telah memberikan kebebasan memilih bagi rakyat Indonesia, akan tetapi juga memberikan kebebasan sebesar – besarnya bagi setiap WNI untuk ikut serta mencalonkan diri sebagai Pemimpin ataupun legislator.

Berawal dari kebebasan inilah, bangsa Indonesia yang setelah di landa krisis ekonomi 1998 ini terus mengalami keterpurukan ekonomi hingga saat ini. Walaupun pemerintah mengeklaim telah melakukan pembangunan ekonomi, namun tetap saja bangsa ini masih jauh dari cita-citanya seperti yang tertuang dalam UUD 45 untuk mewujudkan kesejahteraan umum, hal ini bisa di lihat dari tingkat pengangguran yang masih tinggi, apalagi bila di nilai dari standart tingkat pengeluaran masyarakat minimal $2 dalam sehari, ataupun Human Development Index nya, pembaca tentu dapat menilia – nya sendiri.

Alasan ekonomi lah membuat masyarakat Indonesia yang semakin terjepit oleh tuntutan perut terus mencari cara agar dapur mereka dapat terus berasap. Dan ketika sector perekonomian tidak lagi dapat di harapkan maka masyarakat –pun mencari solusi lain agar dapat memperoleh penghasilan yang mereka perlukan.

Seperti yang telah di singgung di atas, saat ini system politik Indonesia telah dapat memberikan kebebasan bagi setiap warga negaranya untuk berpartisipasi, menjadi salah satu alternative yang rasional memang untuk menraup penghasilan dengan duduk di kursi eksekutif dan legeslatif atau dengan kata lain inilah waktunya trend bisnis di dunia politik.

Rasional bukan bila dapat masuk ke parlemen atau memiliki kekuasaan kita dapat memperoleh apapun yang kita inginkan? Sepertinya alasan inilah yang menjadai dasar utama mengapa begitu pemiu yang demokratis di gelar pasca reformasi 1998, muncul puluhan parpol yang tidak jelas visi dan misinya. Sehingga apabila pembaca merupakan pemilih yang cerdas, tentunya akan kembali mempertimbangkan dan menilai ulang parpol yang akan di pilihnya dalam pemilu, apakah parpol tersebut memang bertujuan utuk membangun bangsa atau justru membangun kelompok atau bahkan korporasinya? Dan lihat juga individu – individu yang berada di baliknya apakah dia memang seorang negarawan atau justru seorang pebisnis, seperti yang di singgung di atas mengenai perut lapar karena dampak krisis ekonomi?

Masalah perut dalam pemilu di Indonesia terlihat semakin mencolok, ketika bangsa Indonesia untuk pertama kalinya menerapkan system pemilihan presiden dan DPR secara langsung pada tahun 2004, pada tahun tersebut ketika parpol di nilai sudah tidak relevan lagi dalam memberikan pemimpin yang di harapkan oleh masyarakat, dan pemerintah menyerahkan langsung pemilihan orang – orang penentu nasib bangsa ini kepada masyarakat, maka semakin terbuka lebarlah kesempatan untuk berbisnis dalam system politik yang keropos ini.

Individu – individu yang sebelumnya tidak pernah terlihat ataupun terdengar dalam aktivitas social dan politik tetapi memiliki uang yang lebih, berlomba – lomba masuk dalam lubang – lubang system politik tersebut tanpa visi dan misi yang jelas bagi masa depan bangsa.

Partai Politik yang sesungguhnya tercipta untuk memberikan pendidikan politik dan juga sebagai sarana kaderisasi dalam melahirkan calon – calon pemimpin bangsa sebagai negarawan murni, telah berubah menjadi kendaraan politik dari para pebisnis untuk masuk ke dalam system public policy. Fenomena ini bila di lihat secara mendalam lagi tentu kembali lagi pada masalah ekonomi, karena bila melihat parpol – parpol di Indonesia yang terjadi adalah kebanyakan Parpol hidup dari uang para pebisnis dan loyalisnya sendiri hidup dari Partai, sehingga wajar bila penulis menyebut hal ini sebagai fenomana bisnis parpol dan pemilu yang kapitalis.

Keberhasilan Pemerintah dalam menyelenggarakan pemilihan presiden langsung tahun 2004 terus di kembangkan hingga ke tingkat daerah yaitu dengan terimplementasikannya UU No 34 Tahun 2004 tentang otonomi daerah yang mana di dalamnya juga mengatur tentang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada). Dari fenomena – fenomena yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada di Indonesia inilah tampak bagaimana perilaku pemilih dalam memberikan hak pilihnya serta bagaimana strategi – strategi parpol untuk memenangkan pesta demokrasi, kejadian selama pemilu 2004, pilkada, dan juga masa – masa pemilu 2009 inilha representasi bangsa Indonesia dalam memaknai Demokrasi.

Sepanjang pelaksanaan pilkada di Indonesia dalam kurun waktu empat tahun ini, terlihat jelas bagaimana keterkenalan figure seorang calon merupakan factor kunci untuk meraih simpati public yang berujung pada kemenangan di pilkada atau pemilu. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah keterkenalan / figure dari seorang calon ini adalah jaminan untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki jiwa negarawan?

Pertanyaan di atas tentu sudah dapat di jawab oleh pembaca yang telah memiliki hak suara dalam pemilu. Selama ini keterkenalan dari figure memang telah menjadi sebuah komiditas yang sangat laku dalam pemilu. Bagaimana tidak, majunya artis – artis televise seperti Marisya Haque dan juga Adji Masaied yang duduk di kursi legeslatif pada pemilu 2004 dan juga kemenangan Si Doel (Rano Karno) dalam pilkada di Jawa Barat, telah menjadi tolak ukur bagaimana pemilih lebih mengidamkan sosok seorang actor daripada negarawan sejati. Sekali lago parpol berbondong – bonding mengikuti trend pasar ppolitik tersebut.

Kembali pada masalah perut dalam pemilu 2009 ini. Saat pesta demokrasi akan di gelar pada tahun ini, ada kecenderungan positif dalam demokratisasi di Indonesia. Ternyata tidak hanya para artis saja yagng ingin ikut meramaikan dalam pemilu 2009, tetapi juga masyarat Indonesia dari berbagai golongan. Memang partisipasi masyarakat secara aktif dengan mencalonkan diri dalam pemilu bisa jadi sebagai tolak ukur keberhasilan sebuah demokratisasi. Namun yang perlu kembali di pertanyakan adalah mengapa banyak masyarakat yang ingin mencalonkan diri sebagai caleg ataupun calon pemimpin sedangkan kecenderungan golput semakin besar?

Dan pertanyaan ini, kiranya terjawab sudah usai pesta demokrasi dalam pemilihan caleg pada pemilu 9 april 2009 silam. Lihat saja bagaimana saat ini media massa di Indonesia santer memberitakan para caleg yang stress bahkan menjadi gila karena kalah dalam pemilu. Hal ini tentu wajar bila kita berfikir secara logis, karena para caleg tersebut tentunya telah banyak mengeluarkan uang dan juga hartanya untuk berkampanye. Maka ketika mereka kalah, seperti halnya seorang pengusaha yang gagal dalam perjudian bisnis, mereka pun (caleg) merasa sangat keceewa terhadap hasil pemilu yang di dapat sedangkan uangnya tidak dapat di tarik kembali dan kebangkrutan yang membawa kemiskinan pun tengah mengancam mereka. Jadi jawabannya adalah, para caleg ini tentu tidak sepenuh hati untuk mengabdikan dirinya kepada Negara, karena ternyata mereka untuk berkorban harta benda saja belum siap, malahan mungkin yang mereka pikirkan adalah dengan modal berkampenye nantinya mereka dapat mencari keuntungan dengan duduk di kursi pemerintahan.