Selasa, 20 Mei 2008

Halau Korupsi Dengan E-Procurement

Bicara mengenai korupsi di Indonesia, tentu bukan menjadi hal yang baru di Indonesia. Karena masyarakat Indonesiapun kini juga sudah mulai bosan mendengar kasus-kasus korupsi para birokrat, bahkan ironisnya lagi korupsi dianggap sudah menjadi kultur yang tidak dapat dipangkas lagi. Walaupun kini sudah ada KPK yang menjadi lembaga control jalannya pemerintahan agar terlepas dari lingkaran setan korupsi. Tapi mungkinkah KPK dapat selalu mengungkap dan mencegah praktik-prkatik korupsi, apalagi mewujudkan yang namanya good governance? Tentunya KPK bukanlah Tuhan yang dapat melihat dan mendengar setiap tindak-tanduk makhluknya.

Menurut laporan KPK, proses pengadaan barang dan jasa institusi pemerintah merupakan lahan subur terciptanya praktik-praktik KKN. Sepanjang tahun 2006 kasus korupsi yang ditangani KPK 77% nya adalah terkait dalam hal pengadaan barang dan jasa, dan di tahun 2007 kasus pengadaan barang dan jasa masih tetap mendominasi kasus korupsi yang ditangani KPK. “Pada tahun 2008 ini pun di indikasikan kebocoran pengadaan barang dan jasa adalah sekitar 30 – 50 %, dengan total sekitar 240 triliun”, ujar Ronni Ihram Maulana (Direktur Monitoring KPK) dalam Seminar dan Workshop: Era Baru E-Procurement di Indonesia. Tapi apakah bangsa Indonesia harus berputus asa akan hal ini? Tentunya ini bukanlah deadlock untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari praktik-praktik korupsi.

Kemajuan teknologi computer dan informasi membuka sedikit jalan terang untuk menanggulangi praktik – praktik korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Salah satunya adalah system E-Procurement dalam pengadaan barang dan jasa oleh instansi pemerintah yang dapat memberikan aksepbilitas, transparansi, dan terbuka bagi umum. Implementasi E-Procurement merupakan respon dari Inpres No. 03 Tahun 2003 tanggal 9 Juni 2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E –Government. Sedangkan, E-Procurement adalah dengan tujuan agar pelaksanaan proses pemilihan penyedia barang dan jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai APBN dilakukan secara lebih efisien, efektif, terbuka, bersaing, transparan, adil (tidak diskriminatif) dan akuntabel.

E-Procurement adalah penggunaan teknologi informasi dan telekomunikasi(ICT) dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah untuk meningkatkan transparansi, karena asas transparansi dan ankuntabilitas inilah yang merupakan kompenen penting dalam menekan terjadinya praktik-praktik korupsi”. Lanjut, Ronni Ihram. Selain itu, “dengan adanya system E-Procurement ini juga dapat menghemat APBN sebesar 60 triliun atau sekitar 10 – 15 % dari 400 triliun total proses pengadaan barang dan jasa pemerintah pada APBN-P 2008 ini” tutur Syahrial Luthan (Sekertaris Menteri Negara Bappenas) yang juga hadir sebagai nara sumber dalam Seminar danWorkshop: Era Baru E-Procurement Indonesia, 14 mei 2008 di Hotel Aryaduta Jakarta.

Hanya saja E-Procurement ini bukanlah suatu system yang sempurna dengan tanpa kelemahan. Kelemahan utama dalam pengimplementasian E-Procurement ini adalah kualitas SDM yang kurang faham tentang IT. Walaupun dengan adanya system E-Procurement ini telah mampu menjaga intensitas pertemuan antara institusi pemerintah dengan vendor penyedia barang dan jasa, sehingga dapat mempersimpit terjadinya praktik “kongkalikong” dalam pemberian tender pemerinta. Namun disini pula terjadi letak kelemahannya, karena institusi pemerintahpun hanya memiliki sedikit informasi tentang kualitas vendor yang akan diajak bekerjasama, sehingga ketidaktepatan sasaran sering kali jadi masalah utama.

Kemajuan teknologi computer dan informasi yang terintegrasikan pada proses pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam e-procurement inilah yang seharusnya jadi momentum bagi pemerintah untuk merevolusi birokrasinya sehingga terwujudnya good government dan good governance.

Sabtu, 10 Mei 2008

ANALISIS KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS BAGI PAPUA

UU NOMOR 21 TAHUN 2001

A. Pendahuluan

Berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, Propinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD) dan Propinsi Papua, setelah serkitar tiga dasawarsa diatur secara sentralistik oleh pemerintahan orde baru, sejak tahun 2001 kedua daerah ini diberi status otonomi khusus oleh “Jakarta” masing-masing melalui UU No 18 Tahun 2001 dan UU No 21 Tahun 2001 dengan kewewnangan khusus mengurus pemerintahan daerahnya.

Dalam UU Nomor 18 Tahun 2001 itu Pemerintahan Propinsi NAD antara lain dapat membentuk lembaga peradilan sendiri yang bernama Mahkamah Syariah, dan mendirikan lembaga adapt Tuha Nangroe dan Wali Nangroe. Selain itu, bentuk dan susunan pemerintah asli masyarakat Aceh di pedesaaan yang disebut gompong mukmin boleh dihidipkan kembali. Bahkan, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam memperoleh bagi hasil sumber daya alam yang lebih besar ketimbang yang diambil pemerintah pusat, dan diizinkan menyelenggarakan pemilihan kepala daerahnya secara langsung.

Sementara itu, sesuai UU Nomor 21 Tahun 2001, Pemerintah Propinsi Papua boleh memiliki lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai suatu representasi cultural orang asli Papua, dan menamai DPRD-nya menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Penduduk Papua diberi peluang membentuk partai politik. Begitu pula, istilah kecamatan diganti dengan “Distric”. Di samping itu, pemerintah propinsi deberi keewenangan khusus dibidang perekonomian, pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, kependudukan dan ketenagakerjaan, lingkungan hidup, dan social. Untuk mengongkosi kewenangan khusus tersebut, Pemerintah Propinsi Papua diberi pule dana bagi hasil sumber daya alam yang lebih besar daripada yang diterima oleh propinsi-propinsi lain.

Pembuatan kebijakan otonomi khusus bagi kedua propinsi tersebut melewati jalan panjang, penuh rintangan, memakan waktu yang lama, menguras energi, dan sangat melelahkan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tidak hanya itu, kebijakan otonomi khusus (special autonomy) atau kerap disebut asymmetric decentralization, dimana pemerintah pusat memberikan kewenangan yang besar di bidang politik, ekonomi, dan social budaya kepada pemerintah daerah; merupakan barang baru dalam sejarah kebijakan otonomy daerah di Indonesia. Malahan, bukan tidak mungkin konsep otonomi khusus ini bisa melengkapi konsep otonomy riil, otonomy materiil, serta otonomy nyata yang bertanggungjawab yang selama ini kita kenal dalam penyelenggaraan pemerintahan local di Indonesia. Karena itu, bagaimana seluk-beluk pembuatan kebijakan otonomi khusus bagi propinsi NAD dan propinsi papau penting untuk dikaji, termasuk kendala-kendala dalam implementasinya, dampak dari kebijakan tersebut dan juga pelajaran yang dapat dipetik dari kehadirannya.

Dalam makalah ini penulis mencoba mengkaji kebijakan otonomi khusus di Indonesia (Propinsi Papua), maka dari itu kajian dalam pembahasan makalah ini adalah, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Papua. Kajian dalam makalah ini meliputi sub-bab tentang tujuan, sasaran, pelaksanaan dan dampak dari kebijakan otonomi khusus, yang diselenggarakan di Papua.

B. Pembahasan

Lahirnya Kebijakan Otonomi Khusus Propinsi Papua ibaratnya berenang melawan arus (Sumule, 2002 : 6). Arus yang dilawan itu adalah tuntutan meerdeka. Namun, berkat perjuangan yang tidak kenal lelah dari banyak pihak, jalan tengah berupa otonomi khusus Propinsi Papua dapat dihasilkan. Untuk mengetahui bagaimana proses pembuatan kebijakan otonomi khusus Papua, lebih dahulu akan dibentangkan sekelumit sejarah pemerintahan Papua, baru kemudian disusul dengan uraian tentang penetapan masalah, tujuan kebijakan, sasaran kebijakan, implementasi kebijakan, serta kendala dan dampak dari kebijakan otonomi khusus Papua.

B.1. Sejarah Pemerintahan

Hubungan papua dengan kepulauan Nusantara telah terjalin sejak lama. Harsya W. Bachtiar dalam (Koentjoronongrat, 1994: 44-45) menulis bahwa pada awal abad VIII sudah ada hubungan antara daerah ini dengan negara Stiwijaya, terbkti dari adanya burung-burung yang berasal dari papua. Nmajapahit dizaman Raja Hayam Wuruk dengan Maha Patih Gadjah Mada (pada abad ke XIII) mensyaratkan sebagian Papua merupakan bagian dari wilayah Nusantara. Sultan Tidore di Maluku (pada abad XV) telah memungut pajak yang berbentuk hasil hutan dari penduduk di daerah pantai Papua.

Sekitar abad XVI, orang Eropa mulai masuk ketanah Papua, bahkan sebutan Papua bagi penduduk asli diberikan oleh Jorge de Menezes, Gubernur Portugis di Ternate, yang mendarat di Pulau Waigeo dan tinggal selama beberapa bulan di warsai, Kepala Burung, sekitar tahun 1526 – 1527. Ia menyebut wilayah ini dengan sebutan ”Ilhas dos Papuas”. Kata Papua sendiri menurut Stirling berasal dari kata melayu ”pua-pua” yang berarti ”keriting” dalam (Koentjoroningrat, 1994 : 4).

Pada Tahun 1898 Belanda mulai sungguh-sungguh memerintah Papua dengan membagi daerah papua menjadi dua bagian, yaitu bagian utara dinamakan Afdeeling Noord Niew-Guinea, dan bagian barat dan selatan dinamakan Afdeeling West-enzuid Niew-Guinea, yang masing-masing dipimpin oleh seorang kontroler Belanda dengan tempat kedudukan di manokwari dan fakfak. Kedua daerah itu merupakan subbagian dari karisidenan Maluku. Tahun 1901 wilayah Zuid Nieuw-Guinea dipisah menjadi satu Afdeeling tersendiri yang berkedudukan di Merauke. Hal ini dikarenakan Afdeeling Western Zuid Nieuw-Guinea daerahnya terlalu luas dan ciri-ciri kebudayaan penduduk pribuminya di West dan Zuid berbeda (Koentjoroningrat, 1994: 53).

Ketika Indonesia Merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Papua dimasukkan dalam wilayah NKRI. Daerah ini merupakan salah satu karisidenan yang berada dalam propinsi Maluku. Residennya berkedudukan di Ambon, karena Belanda masih menguasai wilayah ini. Nama Papua diganti Irian oleh Pemerintah RI, karena nama Papua dianggap merendahkan penduduk probumi (Koentjoroningrat, 1994: 72 – 76).

Indonesia mencoba mengembalikan Irian ke pangkuan Ibu Pertiwi dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 1956 Papua dibentuk menjadi Propinsi Irian Barat, meskipun Ibu Kotanya diletakkan di Soasiu, Pulau Tidore. Berdasarkan penetapan Presiden No.1 Tahun 1962, Propinsi Irian Barat menurut UU No.15 Tahun 1956 dihapuskan dan dibentuk Propinsi Irian Barat bentuk baru dengan wilayah meliputi seluruh residentie Nieuw Guinea dengan Ibu Kota Baru (Hollandia) yang masih berada di wilayah kekuasaan Belanda. Lebih jauh lagi pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta Presiden Soekarno mencetuskan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang menyerukan tiga tuntutan kepada segenap rakyat Indonesia. Pertama, gagalkan pembuatan negara Papua buatan Belanda, Kedua, Kibarkan sang merah-putih ditanah Irian Barat Tanah Air Indonesia. Ketiga, bersiaplah untuk mobilsasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa (Djopari, 1993: 37). Dampaknya pemerintahan di Papua mengalami perkembangan baru, dimana dengan resolusi majelis umum PBB No. 1752 tanggal 21 september 1962, Belanda menyerahkan pemerintahan di Irian Barat kepada United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA). Sejak 1 oktober 1962 Pemerintah UNTEA berlangsung di Irian Barat, sebagai suatu pemerintah peralihan. Pada tanggal 1 mei 1963 UNTEA menyerahkan kekuasaan pemerintahan sepenuhnya atas Papua kepada Pemerintah RI (Djopari, 1993: 55 – 58).

Berdasarkan Penetapan Presiden No.1 Tahun 1963, Gubernur Irian Barat dapat membentuk kabupaten-kabupaten adminstratif baru. Lalu pada masa orde baru, dengan Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 1973 Presiden Soeharto merubah nama propinsi Irian Barat dengan Irian Jaya, wilayah propinsi Irian jaya kemudian mengalami perkembangan menjadi 9 wilayah pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II, 1 Kotamadya Jayapura, dan 1 Kota Aministratif Sorong yang dibentuk tahun 1994. berdasarkan UU no. 22 Tahun 1999, Kabupaten Adminstratif dan Kota Admisntratif ditingkatkan statusnya menjadi Kabupaten/Kota Otonom, sehingga Propinsi di Irian Jaya terdapat 12 Kabupaten dan 12 Kota (lihat BPS, 2001: 39).

Selain itu, dengan UU Nomor 45 Tahun 1999 Propinsi Irian Jaya dimekarkan menjadi tiga, yaitu, Propinsi Irian Jaya Barat, Propinsi Irian Jaya Tengah, dan Propinsi Irian Jaya. Tetapi pemekaran ini ditolak rakyat Papua lewat Keputusan DPRD Tk.I Irian Jaya Nomor 11 tanggal 16 Oktober 1999. pemerintah Pusat tetap memaksakan dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2003 yang memerintah memerintahkan percepatan pelaksanaan pemekaran tersebut (Institute for Local Development, 2005: 589).

Ketika terjadi reformasi pemerintahan, tuntutan Papua Merdeka semakin Gencar, bendera OPM Bintang Kejora Berkibar diseluruh pelosok Papua. Bahkan tuntutan itu disampaikan langsung oleh 100 orang tokoh Papua dalam dialog dengan presiden Bj. Habibie tanggal 26 february 1999 di Istana Merdeka Jakarta (Maniagasi, 2001 : 33). Habibie tidak menyetujuinya.

Menanggapi tuntutan Papua Merdeka, pada bulan Oktober 1999 pemerintah baru hasil pemilu lewt wakil-wakil rakyat di MPR menetapkan pemberian kebijakan otonomi khusus bagi propinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam GBHN 1999 Bab IV huruf (g) point 2. Respon Jakarta ini kurang disambut oleh rakyat Papua. Disamping itu, MPR sendiri dalam sidang tahunannya bulan agustus 2000 mengeluarkan Tap, yaitu Tap No. IV Tahun 200, yang merekomendasikan kepada Pemrintah dan DPR agar menyelsaikan pembuatan UU tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua dengan memperhatikan aspirasi masyarakat Daerah. Akhirnya setelah melewati pembahasan yang cukup sengit dan berlarut-larut di DPR, tanggal 20 Okrober RUU ini disetujui DPR, dan tanggal 21 November 2001 ditandatangani Presiden Megawati Soekarno Putri serta dimuat dalam lembaran negara RI Tahun 2001 Nomor 135.

B.2. Penetapan Masalah dan Sasaran Kebijakan

Masalah yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan otonomi khusus bagi Propinsi Papua menurut Tim Asistensi Otsus Papua (Sumule, 2002: 39-40) berawal dari belum berhasilnya pemerintah Jakarta memberikan Kesejahteraan, Kemakmuran, dan pengakuan terhadap hak-hak dasar rakyat Papua. Kondisi masyarakat Papua dalam bidang pendidikan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik masih memprihatinka. Malahan, sebagian di antara mereka masih hidup seperti di zaman batu. Selain itu, persoalan-persoalan mendasar seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia dan pengingkaran terhadap hak kesejahteraan rakyat papua masih juga belum diselsaikan secara adil dan bermartabat (lihat Maniagasi, 2001: 65). Keadaan ini telah mengakibatkan munculnya berbagai ketidakpuasan yang tersebar di seluruh tanah Papua dan diekspresikan dalam bermacam bentuk. Banyak diantara ekspresi-ekspresi tersebut dihadapi pemerintah pusat dengan cara-cara kekerasan bahkan tidak jarang menggunakan kekuatan militer secara berlebihan. Puncaknya adalah semakin banyaknya rakyat Papua ingin melepaskan diri dari NKRI sebagai suatu alternatif memperbaiki kesejahteraan.

Dilihat dari penetapan masalah dalam kebijakan Otonomi Khusus Papua No. 21 Tahun 2001, seperti yang telah dipaparkan diatas. Maka sasaran kebijakan in tak jauh dari permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat papua dan keinginan rakyat Papua, yang antara lain adalah, peningkatan kesejahteraan rakyat papua, penghormatan terhadap hak-hak sipil dan hak asasi/dasar rakyat papua, kebebasan untuk mengatur rumah tangganya sendiri, serta pembagian hasil alam yang adil bagi rakyat Papua.

Dengan demikian jelaslah bahwa otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama dan kaum perempuan.

Secara garis besar terdapat 4 (empat) hal mendasar di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yakni:

  1. Pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan.
  2. Pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar.
  3. Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan bercirikan:

a. Partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama dan kaum perempuan.

b. Pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya.

c. Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggung jawab kepada masyarakat.

4. Pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.

Dari prinsip tersebut dapat kita ketahui bersama bahwa secara ideal pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain.

B.3. Tujuan Kebijakan Otonomi Khusus Papua

Tawaran kebijakan otonomi khusus yang diberikan Jakarta terhadap tuntutan tinggi kemerdekaan teritorial (high call) yang didesakkan Papua dengan cepat menggelinding ke dalam agenda wakil rakyat hasil pemilu 1999. MPR dalam Tap-nya No. IV Tahun 1999 tentang GBHN menyatakan bahwa: ”Dalam rangka mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah NKRI dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penerapan daerah Propinsi Irian Jaya sebagai daerah otonomi khusus yang diatur dengan Undang-Undang”.

Dari substansi, Tap MPR No. IV Tahun 1999 tentang GBHN, seperti yang dipaparkan diatas, dapat ditarik benang merah bahwa, tujuan dari kebijakan otonomi khusus Papua adalah untuk menjaga keutuhan NKRI dan juga untuk memenuhi tuntutan masyarakat Papua agar dapat melaksanakan sendiri Pemerintahan Daerahnya. Serta untuk lebih menghargai kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh, dan juga mensejahterakan rakyat Papua.

Kebijakan desentralisasi yang diterapkan di Provinsi Papua merupakan refleksi dari pendekatan desentralisasi yang "asymetric". Artinya kebijakan desentralisasi yang diterapkan di Provinsi tersebut tidaklah simetris dengan desentralisasi di Provinsi lainnya di Indonesia. Pendekatan tersebut banyak dilakukan di berbagai negara di dunia, bahkan dalam skala yang lebih besar seperti Monaco di Perancis, Roma di Italia, Kurdi di Irak, Skotlandia dan Irlandia Utara di Inggris dan lain-lain. Pendekatan asymetric dilakukan untuk mengakomodasikan perbedaan yang tajam yang terjadi di daerah-daerah khusus tersebut dengan yang berlaku umum di bagian lain dari negara yang bersangkutan. Dengan penerapan kebijakan tersebut kekhususan daerah dapat diakomodasikan tanpa harus menciptakan separatisme dalam bentuk pemisahan diri dari negara induknya. Dengan demikian pendekatan desentralisasi di Provinsi Papua pada hakekatnya tetap dimaksudkan untuk mencapai tujuan pelaksanaan desentralisasi dan Otonomi Daerah itu sendiri. Sebagaimana disebutkan oleh Musa’ad dkk (2000) bahwa tujuan otonomi Daerah dan desentralisasi dibedakan berdasarkan 2 (dua) sudut pandang, yaitu sudut pandang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dari sudut pandang Pemerintah Pusat, sedikitnya ada 4 (empat) tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan otonomi Daerah dan Desentralisasi, yaitu: (i) pendidikan politik; (ii) pelatihan kepemimpinan; (iii) menciptakan stabilitas politik; serta (iv) mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan di Daerah. Sementara itu, bila dilihat dari sisi kepentingan Pemerintah Daerah, tujuan yang ingin dicapai, yaitu:

  1. Kebijakan otonomi Daerah dan Desentralisasi adalah untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai political equality. Maksudnya melalui pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat Daerah (lokal).
  2. Kebijakan otonomi Daerah dan Desentralisasi adalah untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai local accountability. Maksudnya, melalui pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi diharapkan ada tuntutan kewajiban untuk memberikan pertangungjawaban atau menjawab dan menerangkan berbagai tindakan yang telah dilakukan oleh seorang Kepala Daerah maupun lembaga daerah kepada pihak yang memiliki hak atau wewenang untuk meminta pertangungjawaban, terutama yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat di Daerah.
  3. Kebijakan otonomi Daerah dan Desentralisasi adalah untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai local responsiveness. Maksudnya melalui pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, pemerintah Daerah diharapkan akan tanggap terhadap berbagai permasalahan yang terjadi dan yang dihadapi oleh masyarakat.

B.4. Perumusan Kebijakan

Perumusan kebijakan otonomi khusus Propinsi Papua adalah rangkian kegiatan penyusunan usulan-usulan kegiatan untuk memecahkan masalah yang dihadapi Propinsi Papua. Sebagaimana yang diungkapkan Dunn (2003: 26), Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda. Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan merancang peluang kebijakan yang baru. Masalah utama pemerintahan Propinsi Papua bukanlah terletak pada kurangnya jumlah Propinsi. Terbukti dari gagalnya jalan pemecahan lewat UU No. 45 Tahun 1999 yang memekarkan Propinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, dan Irian Jaya Timr. Masalah pokoknya adalah tidak adanya ruang bagi rakyat papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, tidak adanya kebebasan bagi rakyat papua untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alamnya untuk kemakmuran rakyat, dan tidak adanya kebebasan untuk memutuskan sendiri strategi pembangunan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sesuai dengan karakteristik dan kekhasan sumber daya manusia serta kondisi dan kebudayaan orang Papua (lihat Sumule, 2002 : 41). Hal ini disebabkan karena kebijakan orde lama dan orde baru cenderung sangat bersifat sangat sentralistik. Untuk itulah perlu dirumuskan kebijakan otonomi yang sesuai dengan kondisi masyarakat Papua. Otonomi tersebut disebut otonomi khusus.

Karena kekhususannya itu kebijakan bagi otonomi Propinsi Papua perlu dibedakan dengan propinsi-propinsi lainnya. Ada hal – hal mendasar yang berlaku di papua saja, atau sebaliknya ada pula hal-hal yang berlaku di daerah lain di Indonesia namun tidak bisa diterapkan di Papua. Karena yang tahu persis tentang kekhususan itu adalah orang papua, maka perumusan kebijakan otonomui khusus papua perlu memperhatikan aspirasi masyarakat sebagaimana diamanahkan oleh TAP MPR No. IV Tahun 2000.

B.5. Pengesahan Kebijakan Otonomi Khusus Papua.

Bila ditilik dari segi isi, cukup banyak hal-hal krusial dalam RUU versi Papua diakomodasi dalam UU No.21 Tahun 2001. misalnya, soal nama Papua, bendera dan lagu, bentuk pemerintahan distrik dan kampung, Lembaga MPR dengan kewenangan yang besar, sumber-sumber penerimaan daerah yang lebih besar, sumber-sumber penerimaan daerah yang lebih besar, peralihan adat, tambahan jumlah anggota DPRD, Kepolisian Daerah, dan kewenangan – kewenangan khusus di bidang perekonomian, ketenagakerjaan, lingkungan hidup, kesehatan, kependudukan dan sosial. Pendek kata, UU ini cukup memperhatikan aspirasi masyarakat Papua, dan memasukkan unsur budaya lokal. Kehadiran UU ini merupakan langkah pertama untuk mengatasi masalah-masalah di Papua. Judul yang ditetapkan untuk UU No.21 Tahun 2001 adalah Otonomi Khusus Papua. Dalamketentuan umum UU ini dijelaskan bahwa arti otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang diberikan kepada Propinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Agar bisa dipahami lebih baik, berikut ini dikemukakan secara sederhana isi dan pengimplementasian UU No. 21 Tahun 2001 yang memiliki tidak kurang dari 24 bab dan 79 pasal.

a) Bendera dan Lagu (Pasal 2)

Propinsi Papua dapat memiliki bendera daerah dan lagu daerah sebagai simbol kultural tetapi tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.

b) Pembagian Daerah (Pasal 3)

Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah distrik, dan distrik terdiri atas sejumlah kampung atau yang disebut dengan nama lain.

c) Kewenangan Daerah (Pasal 4)

Propinsi Papua mendapat Kewenangan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang meliputi kewenangan di bidang perekonomian, pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, kependudukan dan ketenagakerjaan, lingkungan hidup, dan sosial. Selain itu, semua perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah hanya terkait dengan kepentingan Propinsi Papua, dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan guberbur. Propinsi Papua juga dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri.

d) Lembaga MRP (Pasal 5, 19 – 25)

MRP merupakan representasi kultural orang asli papua yang meiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak asli orang papua, dengan berdasarkan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

e) Lembaga Legeslatif (Pasal 6 – 10)

DPRP adalah pemegang kekuasaan legeslatif yang jumlah anggotanya 1 ¼ kali dari jumlah yang ditetapkan Undang-Undang. Dalam menjalankan tugasnya DPRP bekerja sama dengan MRP.

f) Badan Eksekutif (Pasal 11 – 18)

Gubernur adalah kepala eksekutif yang dibantu oleh seorang wakil gubernur. Syarat utama untuk dipilh menjadi gubernur dan wakil gubernur adalah orang asli papua. Gubernur dan wakil Gubernur bertanggung jawab kepada DPRP. Dalam posisinya sebagai wakil pemerintah, gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.

g) Partai Politik (Pasal 28)

Penduduk Propinsi Papua dapat membentuk partai politik, rekruitmen politik oleh partai politik di propinsi papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli papua. Partai politik wajib memeinta pertimbangan NRP dalam melakukan seleksi rekruitmen politik partainya.

h) Keuangan (Pasal 33 – 37)

Pajak penghasilan orang pribadi sebesar 20% dibagi kepada Propinsi Papua. Untuk hasil pertambangan minyak bumi jatah Papua dinaikkan 15% menjadi 70%, dan pertambangan gas alam dari 30% menjadi 70% yang berlaku selama 25 Tahun. Tetapi mulai tahun ke 26 porsi Papua tersebut diturunkan menjadi 50% baik untuk pertambangan minyak bumi maupun pertambangan gas alam , atau sama besar dengan porsi pemerintah pusat. Sedangkan pembagian antara propinsi dengan kabupaten / kota diatur secara adil dan berimbang dengan Perdasus, dengan memperhatikan daerah-daerah yang tertinggal. Penggunaan dana tersebut sekurang-kurangnya 30%d dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% untuk kesehatan, dan perbaikan gizi. Pemrintah Propinsi dapat melakukan penyertaan modal pada BUMN dan Perusahaan swasta yang berdomisili di propinsi Papua.

i) Hak Asasi Manusia (Pasal 45 – 47)

Dalam rangka penegakan HAM, pemerintah membentuk perwakilan komnas HAM, pengadilan HAM, dan Komisi kebenaran dan rekonsiliasi di Propinsi Papua.

j) Kepolisian Daerah (Pasal 48 – Pasal 49)

Dalam melaksanakan kebijakan mengenai keamanan, Polda di Propinsi Papua berkoordinasi dengan Gubernur yang mencakup aspek ketertiban dan ketentraman masyarakat. Tugas ketertiban dan ketentraman msyarakat itu diatur dengan Perdasi, termasuk pembiayaan yang diakibatkannya, dan pelaksanaannya dipertanggungjawabkan Kapolda kepada Gubernur. Begitu pula pengangkatan Kapolda dilakukan dengan persetujuan Gubernur. Sedangkan untuk pemberhentiannya, dalam hal-hal tertentu Gubernur dapat memberi pertimbangan kepada Kapolri. Disamping itu, seleksi pendidikan dasar dan pelatihan umum, serta penempatan polisi wajib memperhatikan sistem hukum, budaya dan adat –istiadat yang berlaku di Propinsi Papua.

k) Kekuasaan Peradilan (Pasal 50 – 52)

Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Badan Peradilan. Di samping kekuasan kahakiman itu, diakui adanya peradilan adat sebagai peradilan perdamian yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadilli sengketa perdata atas perkara pidana diantara warga masyarakat hukum adat. Tetapi, pengadilan adat tersebut tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurangan, dan pihak yang berkeberatan terhadap putusan atau peradilan adat berhak meminta pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan untuk memeriksa dan mangadili ulang sengketa atau perkara yang bersangkutan.

B.6 Sosialisasi dan Pemhaman Masyarakat Papua Terhadap UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Papua

Otonomi Khusus bagi Papua harus diartikan secara benar, jelas, dan tegas sejak awal karena telah terbentuk berbagai pemahaman/persepsi yang berbeda-beda bahkan negatif mengenai Otonomi Khusus di kalangan rakyat Papua. Pengalaman pahit yang dialami oleh rakyat Papua dalam masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, yang juga memperlakukan daerah Papua sebagai suatu daerah otonomi, telah membuat rakyat Papua sudah tidak percaya lagi terhadap Otonomi Khusus yang ditawarkan oleh Pemerintah RI.

Yang lebih ironis lagi adalah bahwa pemahaman/persepsi yang berbeda-beda bahkan negatif mengenai Otonomi Khusus di Papua juga terjadi di kalangan pejabat pemerintah dan anggota lembaga legislatif, baik di pusat maupun di daerah. Hal-hal tersebut adalah beberapa di antara hambatan-hambatan untuk menyosialisasikan UU tentang Otonomi Khusus di Papua.

Istilah Otonomi Khusus terdiri dari dua kata yaitu kata "otonomi" dan "khusus." Istilah "otonomi" dalam Otonomi Khusus haruslah diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri atau rumah tangganya sendiri. Hal itu berarti pula bahwa rakyat Papua telah mendapatkan kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar untuk berpemerintahan sendiri, mengatur penegakan hukum dan ketertiban masyarakat, mengatur dan mengelola segenap sumber daya yang dimilikinya, termasuk sumber daya alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua, tetapi dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta memberikan kontribusinya kepada kepentingan nasional.

Demikian juga kebebasan dan kearifan untuk menentukan kebijakan, strategi dan program-program pembangunan daerah, antara lain pembangunan infrastruktur, pembangunan sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum dan ketertiban, yang sesuai dengan keunikan dan karakteristik alam serta masyarakat dan budaya Papua. Hal lain yang tidak kalah penting adalah pengembangan jati diri serta harga diri dan martabat orang Papua sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Istilah "khusus" hendaknya diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada Papua karena kekhususan-kekhususan yang dimilikinya, kekhususan tersebut mencakup hal-hal seperti tingkat sosial ekonomi masyarakat, budaya dan sejarah politik. Dalam pengertian praktisnya kekhususan otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Papua dan tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada hal-hal yang berlaku di daerah lain di Indonesia yang tidak diterapkan di Papua.

Menurut Barnabas (mantan Gubernur Papua) dalam surat kabar harian Suara Pembaruan (8 september 2003), permsalahan yang seringkali dihadapi dalam melakukan sosialisasi UU No. 21 Tahun 2001, adalah;

”masalah ketidaksamaan dalam pemahaman dan persepsi tentang Otonomi Khusus di Papua. Sejak awal telah terbentuk persepsi, pemahaman dan pengertian yang berbeda-beda tentang Otonomi Khusus di kalangan masyarakat Papua itu sendiri. Bertolak dari pemahaman dan persepsi yang berbeda-beda, respons yang diberikan oleh masyarakat Papua juga berbeda-beda. Ada sebagian yang memberikan respons yang positif, ada pula yang memberikan respons yang negatif dan ada yang bersikap netral. Mereka yang memberikan respons secara positif, melihat status Otonomi Khusus sebagai suatu jalan keluar yang bersifat Win-Win yang dapat mencegah konflik bahkan mencegah jatuhnya korban yang lebih banyak lagi. Ada pula sebagian masyarakat yang secara tegas menolak status Otonomi Khusus, karena yang mereka inginkan adalah kemerdekaan penuh dalam arti lepas dari NKRI”.

Hal lain seperti dikemukakan di atas, bahwa yang lebih ironis lagi adalah bahwa pemahaman/persepsi yang berbeda-beda, bahkan negatif tentang Otonomi Khusus di Papua, juga terjadi di kalangan pejabat Pemerintah dan anggota-anggota lembaga legislatif, baik di pusat maupun di daerah. Padahal mereka mempunyai tanggung jawab untuk menjelaskan tentang Otonomi Khusus secara benar, jelas dan tegas. Hal seperti itu akan sangat menghambat upaya sosialisasi tentang Otonomi Khusus ke tengah-tengah masyarakat Papua.

Masalah saling tidak percaya (distrust) merupakan salah satu penyebab yang krusial dalam pemahaman masyarakat akan UU Otonomi khusus bagi Papua tersebut. Segala penderitaan yang dialami oleh masyarakat Papua, pelanggaran HAM, pembunuhan, penindasan, intimidasi, ketidakadilan, dan diskriminasi telah membawa sebagian masyarakat Papua kepada suatu kekecewaan yang sangat dalam. Kekecewaan demi kekecewaan telah membawa mereka untuk tidak percaya lagi kepada NKRI. Mereka tidak percaya bahwa masih ada ruang bagi perbaikan dan karena itu mereka memilih alternatif untuk berpisah dari NKRI.

Pengalaman pahit yang dialami oleh rakyat Papua dalam masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru yang juga memberikan otonomi kepada Provinsi Papua, telah membuat sebagian rakyat Papua sudah tidak percaya lagi terhadap Otonomi Khusus yang ditawarkan oleh pemerintah RI. Mereka beranggapan bahwa untuk keluar dari penderitaan seperti itu, adalah hak mereka untuk menentukan nasib masa depannya sendiri.

B.7. Implementasi UU No.21 Tahun 2001

Undang- undang Otonomi Khusus Papua adalah sebuah aturan atau kebijakan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dalam upaya meningkatkan pembangunan dalam berbagai aspek dengan empat prioritas utama yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur - secara filosofis UU Otsus ini dibuat sebagai langkah untuk mensejajarkan Papua dengan wilayah lainnya di Indonesia serta juga sebagai langkah proteksi bagi hak-hak dasar Orang asli Papua yang sejak berintegrasi dengan NKRI hak-hak dasar mereka terabaikan dan termarginalkan. Singkatnya kemakmuran dan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi orang asli Papua.

Akan tetapi Perjalanan Otsus hingga kini belum berjalan optimal, sekelumit permasalahan menghinggapi perjalanannya diantaranya distrubusi kewenangan dan aliran dana yang tidak jelas, inkonsistensi pemerintah Pusat dan Pemda Papua hingga konflik kepentingan dan kekuasaan inter-elit lokal di Papua, akibatnya masyarakat Papua sudah tidak memiliki trust akan kebijakan ini, yang sedari awal telah digembor-gemborkan oleh berbagai pihak sebagai "senjata pamungkas" menyelesaikan persoalan yang selama ini terjadi di Tanah Papua.Berikut ini beberapa catatan kilas - balik permasalahan yang mengemuka dalam implementasi Otsus di Papua.

§ Konflik pemekaran Propinsi Irian Jaya Barat; Penerbitan Inpres Nomor 1/2003

Pada tanggal 27 Januari 2003 Presiden Megawati Soekarino Putri mengeluarkan Inpres No 1 Tahun 2003 tentang percepatan pelaksanaan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 yaitu pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.

Penerbitan Inpres ini langsung memicu reaksi keras dari berbagai kalangan baik itu di Papua maupun di tingkat nasional. Terlebih lagi Abraham Otururi bersama dengan beberapa pejabat Pemerintahan Daerah Kabupaten Manokwari mendeklarasikan terbentuknya propinsi Irian Jaya Barat pada tanggal 5 Februari 2003. sedangkan deklarasi pembentukan Irian Jaya tengah pada bulan Agustus tahun 2003 di Kabupaten Mimika akhirnya dibatalkan karena implikasi deklarasi tersebut terjadinya konflik berdarah antar kelompok pro dan kontra pemekaran. Berbagai kelompok yang ada di Papua dan di tingkat nasional menanggapinya dengan berbagai argumentasi yang beragam, Kelompok yang pro pemekaran berpendapat bahwa pemekaran propinsi -propinsi melalui Inpres Nomor 1/2003 dianggap terobosan dan cara jitu untuk mendekatkan pelayanan Pemerintah kepada masyarakat dengan demikian akan meningkatkan kesejahteran dan keadilan bagi masyarakat Papua Tetapi bagi yang kontra berpendapat bahwa penerbitan Inpres Nomor 1/2003 melecehkan UU No 21/200 tentang otonomi Khusus Papua karena di dalam UU No 21/2001 pasal 76 menyebutkan bahwa untuk membentuk propinsi baru terlebih dahulu harus diperoleh persetujuan dari MRP dan DPRP, padahal MRP pada saat itu belum terbentuk karena Pemerintah pusat belum mengeluarkan Peraturan pemerintah, walaupun pemerintah Propinsi Papua sudah memasukkan Draft PP tersebut kepada pemerintah Pusat sejak Bulan Juli 2002 (lihat Kompas, 29 Agustus 2003) .

Konflik inter elit lokal Papua (Pemda IJB vs Pemda Papua) dan elit Jakarta berlanjut hingga ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengajukan judicial revieuw masing-masing pihak mempertahankan argumentasinya. Akhirnya pada tanggal 04 November 2004 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa UU No 45/1999 batal demi hukum dan secara implisit mengakui keberadaan Propinsi Irian Jaya Barat. Keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi inipun mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan terutama dari elit Propinsi Papua yaitu DPRD dan Pemda Propinsi Papua karena dianggap justru keputusan ini tidak menyelesaikan persoalan dan bersifat ambivalen. Terakhir Majelis Rakyat Papua membentuk sebuah Tim kosultasi Publik dengan tujuan untuk mendapatkan jawaban Publik Irian Jaya Barat tentang setuju atau tidak pemekaran Propinsi Papua. Tim konsltasi Publik inipun mendapat reaksi yang cukup keras dari kalangan di Irian Jaya Barat. Mereka menilai bahwa langkah yang dilakukan oleh MRP telah memasuki "wilayah haram". Tudingan ini semakin kuat manakala MRP dalam konsultasi publiknya keluar dari kesepakatan. Di mana telah disepakati bahwa dalam melakukan konsultasi Publik, MRP harus didampingi pihak Irian Jaya Barat (Yuwono, 2007: 4).

Tak mau ketinggalan Pihak Irian Jaya Barat melalui DPRD Propinsi Irian Jaya Barat juga melakukan konsultasi Publik dan hasilnya sudah jelas bahwa masyarakat Irian Jaya Barat mendukung pemekaran. Di sisi lain hasil konsultasi publik yang dilakukan oleh MRP di Propinsi Irian Jaya Barat menghasilkan keputusan yaitu (1) Pemekaran Propinsi Papua menjadi propinsi-propinsi baru seperti propinsi Irian Jaya Barat atau dengan nama lainnya belum saatnya dilakukan; (2) Pemekaran Propinsi Papua menjadi propinsi-propinsi baru seperti propinsi Irian Jaya Barat atau dengan nama lainnya dilakukan berdasarkan pasal 76 UU No 21/2001.

Selanjutnya masih Berkaitan dengan Pemekaran Propinsi Irian Jaya Barat, hasil ketetapan yang dilakukan oleh DPRP Propinsi Papua adalah (1) Pemekaran Propinsi Papua menjadi Propinsi IJB atau nama lain belum saatnya dilakukan dan apabila pemekaran dilakukan di Propinsi Papua harus berdasarkan pasal 76 UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua; (2) Apabila Pemerintah Pusat tetap melaksanakan pemekaran Propinsi IJB atau nama lain diluar ketentuan pasal 76 UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, Maka DPRP atas nama rakyat Papua akan mengelar rapat paripurna untuk mengembalikan UU RI No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua (Yuwono, 2007: 5).

§ Lambatnya Penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No 54 Tahun 2004 tentang Pembentukan Majelis Rakyat Papua

Secara Filosofis Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua memuat sejumlah pengakuan dan komitmen. Salah satu bentuk pengakuan dan komitmen tersebut adalah memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua.

Sebagai langkah untuk mengimplementasikan komitemen tersebut maka di perlukan untuk membentuk sebuah institusi yang merupakan wadah partispasi politik dan representasi kultural orang asli Papua yaitu Majelis Rakyat Papua (MRP). Hal ini dipertegas di dalam Pasal 5 UU No 21/2001 ayat 2 disebutkan: "dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Propinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan repersentasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama ".

Seiring dengan perkembangannya sejak Pemerintah Propinsi Papua memasukkan Draft PP tentang pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) Tahun 2002, implementasi pembentukan Majelis Rakyat Papua baru dilaksanakan pada Bulan November 2005 padahal berdasarkan aturan yang ada lembaga ini harus dibentuk paling lambat satu tahun setelah UU Otsus diberlakukan, salah satu alasan kekhawatiran dari pemerintah Pusat lebih bersifat politis dengan mengatakan bahwa lembaga ini "superbody" sehingga perlu ditinjau kembali selain itu di khawatirkan MRP menjadi basis politik bagi orang asli Papua yang akan mengancam disintegrasi dan keutuhan NKRI.

Menyadari akan semakin banyaknya kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh Pemerintah Pusat jika Majelis Rakyat Papua belum dibentuk dan juga sesuai dengan janji presiden SBY pada saat melakukan kampanye Pilpres di Papua bahwa apabila kelak ia terpilih maka akan menjalankan Otsus Papua secara komprehensif maka pada tanggal 26 Desember 2004, Presiden SBY memberikan kado Natal Bagi Masyarakat Papua berupa Penyerahan simbolis PP No 54 Tahun 2004 kepada pemerintah Propinsi Papua (Institute for Local Development, 2005: 612).

Meskipun proses pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) menuai pro-kontra diberbagai kalangan karena dinilai proses rekruitmen anggota MRP tidak mencerminkan asas demokrasi dan keterwakilan dari unsur masyarakat di Papua selain itu proses rekruitmen anggota MRP di duga hanyalah untuk kepentingan politik segelintir elit lokal Papua menjelang Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur. Pemerintah Propinsi Papua dalam hal ini Badan Kesatuan Bangsa Propinsi tetap melakukan proses pemilihan di seluruh wilayah Kabupaten yang ada di Propinsi Papua, dan akhirnya pada Bulan November 2005 Mendagri M. Ma'ruf melantik secara resmi 42 orang anggota MRP yang mewakili tiga unsur/komponen masyarakat di Papua yaitu Unsur agama, adat dan perempuan.

UU Otonomi Khusus Papua yang disahkan setelah UU Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam oleh sejumlah kalangan memang dipandang terlalu “radikal”. Rakyat Papua dimungkinkan memiliki Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan perwakilan dari eksponen masyarakat adat di Papua.
MRP bukan merupakan bentuk “MPR mini” di Papua karena lembaga ini lebih menekankan pada pemberian pertimbangan pada penyelenggara pemerintahan agar kebijakan yang diambil sesuai dengan rakyat asli Papua. Konsep MRP ini tampaknya tidak dipahami betul oleh Pemerintah Pusat. Barnabas mengatakan salah satu penyebab belum mulusnya pemberlakuan UU Otonomi Khusus Papua merupakan merupakan bentuk ketakutan pemerintah pusat pada bayangannya sendiri. Ia menyebut MRP yang sebelumnya sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Pemerintah Pusat (Sinar Harapan, 3 Mei 2003) .

Kekhawatiran Pusat terhadap terbentuknya MRP sebenarnya tidak beralasan sama sekali. Sekalipun UU Otonomi Khusus Papua memungkinkan terbentuknya MRP, pemerintah masih memiliki intervensi yang sangat kuat melalui Peraturan Pemerintah yang harus dikeluarkan sebagai tindak lanjut dari UU Otonomi Khusus. Untuk menyusun keanggotaan MRP pun tangan Pusat masih sangat kuat melalui PP tersebut. Dominasi peran Pusat terhadap pelaksanaan Otonomi Khusus Papua bukan hanya terlihat dalam pembentukan MRP.

Kalau meneliti pasal demi pasal UU Otonomi Khusus Papua, senantiasa dilengkapi dengan satu ayat yang menyebut perlunya dibentuk Peraturan Pemerintah sebagai penjabaran dari pasal dan ayat yang dimaksud. Jadi, bisa dipahami kalau pelaksanaan Otonomi Khusus Papua akan memakan banyak waktu karena untuk setiap ketentuan, harus ada PP yang dikeluarkan.

Di sinilah sebenarnya peran pemerintah bisa dimaksimalkan.
Dalam hal MRP, misalnya, terlalu berlebihan kalau Pusat mengkhawatirkan terbentuknya lembaga tersebut. UU Otonomi Khusus menyebut MRP merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Jadi, MRP bukan representasi politik, melainkan representasi kultural rakyat Papua yang memang memiliki kekhasan.Soal kekhawatiran bahwa UU Otonomi Khusus Papua merupakan cikal bakal kemerdekaan Papua juga tidak tepat karena kewajiban pertama MRP seperti tertuang dalam Pasal 23 Ayat (1) disebutkan bahwa MRP berkewajiban mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua.
Kalau Pemerintah memiliki komitmen kuat untuk menyejahterakan rakyat Papua, implementasi UU Otonomi Khusus Papua merupakan prioritas yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. UU ini padahal disusun melibatkan segenap komponen bangsa, yaitu DPR, Pemerintah diwakili Departemen Dalam Negeri, dan perwakilan masyarakat Papua.

§ Minimnya Aturan Pelaksanaan Dalam Bentuk PERDASI dan PERDASUS

Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun Implementasi UU Otsus bagi Propinsi Papua khususnya penyusunan peraturan pelaksanaan dalam bentuk Perdasi dan Perdasus belum berjalan optimal padahal untuk mengejawantahkan UU No 21 Tahun 2001 diperlukan adanya perdasi dan Perdasus sebagai instrumen operasionalisasi dalam mewujudkan cita-cita pembangunan yang berorientasi pada perlindungan dan penegakan hak-hak dasar orang asli Papua. Hal ini dipertegas dalam pasal 75 UU No 21/2001 bahwa "peraturan pelaksanaan yang dimaksud dalam Undang-undang Otonomi Khusus ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak di undangkan".

Lambatnya penyusunan Perdasi dan Perdasus melahirkan sejumlah persoalan salah satunya antara lain masih belum jelasnya koordinasi diantara tiga pelaksana Otsus: DPRP, MRP dan Pemda Propinsi Papua, selain itu didalam Undang-undang Otonomi Khusus Papua di sebutkan bahwa ada 4 bidang yang menjadi prioritas pembangunan di Papua yaitu Pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infrastruktur. Dari 4 (empat) bidang tersebut Perdasi pendidikan, kesehatan, Perdasi tentang tata cara pemilihan anggota MRP dan Perdasus pengelolaan dan pembagian dana Otsus yang baru saja disahkan di DPRP. belum lagi sejumlah aspek lain yang tersirat dan termaktub dalam UU tersebut yang membutuhkan Perdasi dan Perdasus tertentu. Jika proses penyusunan Perdasi dan Perdasus tidak dikerjakan secara serius maka bisa dipastikan peluang untuk menjadikan Otsus sebagai "tuan" di tanah sendiri bagi orang asli Papua tidak akan menjadi sebuah kenyataan karena Perdasi dan perdasus merupakan gambaran atau ekspresi pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan yang sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat asli Papua., disisi lain keunikan UU Otsus Papua adalah Proses pembangunan di Papua yang diperuntukkan bagi masyarakat asli Papua cukup dalam bentuk Perdasi dan Perdasus tanpa harus membutuhkan Peraturan Pemerintah Pusat.

Pada sisi yang lain, dari pihak pemerintah pusat, ada kalangan atau pejabat tertentu yang curiga atau khawatir bahwa Undang-Undang Otonomi Khusus akan lebih mendorong perjuangan rakyat Papua untuk merdeka (dalam arti memisahkan diri dari NKRI). Lebih ironis lagi bahwa sejumlah pejabat orang asli Papua yang selama ini justru berperan sebagai penengah, juga dicurigai tanpa bukti dan data yang akurat (Suara Pembaruan, 9 september 2003).

Dengan demikian, salah satu masalah utama dalam implementasi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus di Papua adalah masalah saling tidak percaya antara satu sama lain. Sangat lambannya proses penyusunan peraturan-peraturan pelaksanaan (PP, Perdasi, Perdasus). Hingga Juni 2003, sudah lebih dari satu setengah tahun sejak ditetapkannya undang-undang tersebut, belum ada satupun peraturan pelaksanaan (Peraturan Pemerintah, Perdasi, dan Perdasus) yang ditetapkan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Salah satu penyebab utama dari kelambatan tersebut adalah bahwa Tim Inti yang terdiri dari para intelektual Papua yang menyusun Konsep Rancangan Undang-Undang tersebut tidak dilibatkan secara utuh dan penuh dalam penyusunan draft rancangan peraturan-peraturan pelaksanaan tersebut. Tanpa keterlibatan Tim Inti (Tim Asistensi) tersebut tidak saja menyebabkan proses itu menjadi lambat, tetapi bisa terjadi missing link antara nilai-nilai dasar dan norma-norma dasar yang diatur dalam undang-undang tersebut untuk kemudian diterjemahkan/dijabarkan ke dalam peraturan-peraturan pelaksanaannya.

§ Konflik inter-elit Lokal; tidak berfumgsinya penyelenggaraan Pemerintahan di beberapa Daerah di Papua

Sebagaimana tersirat di dalam Undang-undang Otonomi Khusus Papua yang menegaskan bahwa keberhasilan pelaksanaan Undang-undang Otonomi Khusus sangat tergantung sejauh mana tata pemerintahan yang baik (good governance) berjalan dengan efektif dan efisien dalam kerangka melayani kepentingan publik yang lebih adil, demokratis dan acountabilty.

Uraian tersebut diatas adalah upaya merespon sejumlah peristiwa yang berkaitan dengan penyelenggaran Pemerintahan di Papua yang selama kurun waktu 5 (lima) Tahun pelaksanaan Otsus dirasakan kurang berjalan optimal baik dalam aspek Distribusi dana Otsus, pelayanan Publik, koordinasi dan kompetensi institusi Pemerintahan lokal hingga tidak berjalannya penyelenggaraan Pemerintahan di beberapa daerah. intinya bahwa akumulasi sejumlah persoalan diatas tidak terlepas adanya berbagai kepentingan politik dari segelintir elit pusat dan daerah (lokal) yang pada gilirannya berujung terjadinya konflik kepentingan inter - elit lokal.

Berkaitan dengan konflik inter-elit lokal di Papua terdapat sejumlah peristiwa yang mewarnai peta interaksi elit lokal tersebut, diantaranya: Pasca hasil Pemilu Tahun 2004 d Kabupaten Mimika melahirkan 2 (dua) keputusan tentang pengesahan anggota DPRD Kabupaten Mimika yang terpilih hasil dari proses Pemilu anggota Legislatif, yaitu keputusan versi KPUD Propinsi Papua dan keputusan versi Bupati Mimika. Gubernur Propinsi Papua pada saat itu (Alm) J. P Solossa berpegang pada hasil keputusan KPUD Propinsi Papua. Meskipun Persoalan ini telah dibawa kedalam proses hukum yang akhirrnya dimenangkan oleh KPUD Propinsi Papua tetap tidak bisa menyelesaikaan persoalan. Di sisi lain Pemerintah Pusat menyerahkan sepenuhnya persoalan ini kepada Pemda Propinsi Papua. Implikasinya selama kurang lebih 2 (dua) tahun DPRD Kabupaten Mimika mengalami ke-vakuman atau tidak melakukan aktivitas sama sekali. Berbagai solusi dan pendekatan persuasif dilakukan oleh berbagai pihak agar persoalan ini harus secepat mungkin di selesaikan dengan melakukan dialog/komunikasi intensif. Gubernur Papua Barnabas Suebu yang baru saja terpilih dari proses pilkada Papua berjanji dan mencoba untuk mengfasilitasi kedua belah pihak yang bertikai dalam mengatasi ke-vakuman DPRD Kabupaten Mimika. Akhirnya pada Bulan Desember 2006 Gubernur propinsi Papua secara resmi melantik Anggota DPRD Kabupaten Mimika dan rencananya sekitar pada Bulan Februari tahun 2007 sudah ada Ketua dan Wakil ketua DPRD definitif (Http : www.fokerlsmpapua.org).

Semenjak Kabupaten Mappi dimekarkan pada Tahun 2004 melalui UU No 12 Tahun 2004, pelantikan Bupati dan Wakil Bupati definitif mengalami penundaan berulang kali (Http : www.fokerlsmpapua.org). Dimana sebelumnya telah terjadi 2 (dua) kali pelantikan pejabat careteker Bupati. Tertundanya proses pelantikan Bupati dan wakil Bupati definitif karena adanya pihak calon Bupati dan wakil Bupati yang mengikuti proses pilkada Kabupaten Mappi pada Tahun 2005 merasa tidak puas atas hasil pemilihan tersebut. Sengketa atas hasil pilkada Kabupaten Mappi pun di bawa sampai kepada proses Hukum. Walaupun telah ada hasil keputusan hukum yang dimenangkan oleh salah satu pihak peserta calon Pilkada tetap saja tidak menuai hasil yang optimal untuk dapat menyelesaikan persoalan ini. Hingga pada akhirnya Gubernur Barnabas Suebu yang baru saja terpilih mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengundang kedua belah pihak dalam mencari solusi sebagai upaya dalam rangka mengefektifkan kembali proses penyelenggaraan Pemerintahan di Kabupaten Mappi yang kurang lebih 2 (dua) tahun selalu di landa kemelut Politik khususnya persoalan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati.

Pilkada langsung merupakan salah satu langkah maju dalam mewujudkan demokrasi di tingkat lokal. Bahkan Tip O’Neil dalam Agustino (2005: 139) menyatakan bahwa ”all political is local” yang dapat dimaknai tumbuh dan berkembangya demokrasi di tingkat nasional akan tumbuh berkembang dengan mapan dan dewasa apabila ditingkat lokal nilai-nilai demokrasi berakar dengan baik terlebih dahulu. Akan tetapi nilai-nilai demokrasi lokal tersebut tidak hanya terbentuk begitu saja dalam kehidupan di masyarakat, karena dalam penguatan demokrasi di aras lokal ini diperlukan segudang persyaratan, yang antara lain adalah dengan tatanan, intrumen dan konfigurasi keraifan serta kesantunan politik lebih dahulu terbentuk. Dengan melihat potensi konflik yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada di Kabupaten Mappi seperti yang telah dipaparkan diatas, dan juga dengan mempertimbangkan adat istiadat dan tingkat pendidikan masyarakat papua. Konflik dalam pilkada di papua sangat berpotensi kearah konflik yang bersifat primordial. Konflik primordial sebagaimana yang diungkapkan Geertz (1998), bahwa konflik primordial yang dihubungkan dengan ikatan adat istiadat. Suatu komunitas dapat juga diikat berdasarkan persamaan kebiasaan dan norma-norma, dan adat istiadat yang dianut. Konflik primordial seperti ini akan semakin bertambah ”panas” apabila sudah bercampur dengan urusan politik, karena masyarakat sperti ini selalu memiliki loyalitas yang tinggi kepada pemimpinnya.

Pemekaran Propinsi Papua

Persoalan pemekaran Propinsi di Papua kembali menguat, kali ini sekelompok elit lokal di Papua yang di lakukan oleh Decky Asmuruf Cs, pada Bulan Januari 2007 mendeklarasikan Pembentukan Propinsi Papua Barat Daya (PBD) di Gedung DPRP Propinsi Papua, Propinsi Papua Barat Daya meliputi Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Teluk Bintuni dan Kota Sorong (webmas...@prakarsa-rakyat.org).

Beberapa hal yang mendasari pembentukan Propinsi Barat Daya (PBD) diantaranya adalah kondisi geografis Papua yang luasnya 3,5 Kali Pulau Jawa, pelayanan Publik khususnya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Tanah Papua dirasakan tidak berjalan optimal, selain itu juga mempercepat proses pertumbuhan dan memperpendek rentang kendali bagi pelayan publik, terutama pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan, melakukan pemerataan dan mempercepat pembangunan infrastruktur, mempercepat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan dan menghakekatkan SDM yang ada menjadi lebih berdaya guna dan sekaligus untuk menegakkan wibawa dan kedaulatan pemerintah NKRI di tanah Papua serta menjunjung tinggi nilai luhur, serta martabat rakyat Papua (Lihat Cepos, 16 Januari 2007).

Sementara itu menanggapi pernyataan dari ketua Tim Pemekaran Propinsi Barat Daya (PBD) Decky Asmuruf, Sekretaris Komisi A DPRP Ny Yanni mengungkapkan bahwa komisi A DPRP akan mendorong aspirasi pemekaran Propinsi Papua Barat Daya ini, sesuai prosedur dan mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang (UU). Dan untuk memperlancar tugas-tugas komisi A DPRP ke depan, maka diharapkan kepada seluruh masyarakat yang mempunyai aspirasi yang sama untuk pemekaran kabupaten/Provisni hendaknya segera menyampaikan aspirasi tersebut agar prosesnya dapat berjalan sekaligus (Lihat Cepos, 16 Januari 2007).

Selanjutnya Gubernur Papua Barnabas Suebu dan Ketua MRP Agus Alua menegaskankan bahwa pembentukan Propinsi Papua Barat Daya tidak dilaksanakan secara terburu-buru dan tetap harus mengacu kepada Undang-undang yang ada yaitu UU Otsus, dengan pertimbangan bahwa harus menunggu payung hukum propinsi Irian Jaya Barat dan semua kelengkapan atau perangkat Perdasi dan Perdasus yang mengatur Pemekaran di Propinsi Papua (Lihat Cepos, 17 Januari 2007).

Belum selesai dengan masalah deklarasi Propinsi Papua Barat Daya, perjuangan Pembentukan propinsi Irian Jaya Tengah yang kemudian diubah menjadi Propinsi Papua Tengah sudah mulai digencarkan dan diupayakan segera terealisasi.Konsep ini tengah lagi di diskusikan oleh DPRP dan MRP. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bupati Nabire Drs Anselmus Petrus Youw "bahwa Soal pemekaran Irian Jaya Timur yang mengacu kepada kedua undang - undang tersebut semestinya didukung dengan Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Gubernur Papua. Karena berbicara soal pemekaran propinsi Papua Tengah ini lahir berdasarkan UU nomor 45 tahun 1999 dan diperkuat lagi dengan semangat UU Otsus,"( Lihat cepos, 17 Januari 2007). Tidak lama kemudian Jhon Gluba Gebze Bupati Merauke juga mendeklarasikan berdirinya Propinsi Papua Selatan, deklarasinya sendiri telah berlangsung pada tanggal 12 Februari 2007 bertepatan dengan hari Ulang Tahun kota Merauke.

Menyikapi persoalan pemekaran di berbagai wilayah Papua yang terus berkembang sejak a wal tahun ini, akhirnya Pemerintah Pusat melalui Mendagri M. Ma'ruf menyatakan bahwa untuk melakukan Pemekaran propinsi diperlukan adanya prosedur dan mekanisme lewat perundang-undangan yang berlaku, tetapi disisi lain Mendagri juga seakan memberikan harapan akan adanya pemekaran dengan menyatakan bahwa aspirasi dari beberapa wilayah yang ingin segera ada pemekaran propinsi akan di kaji oleh Pemerintah Pusat dari berbagai faktor dan aspek.

Di sisi lain hasil pertemuan Sidang Kabinet Paripurna tanggal 14 Februari 2007 yang dihadiri oleh Gubernur Papua dan Gubernur Irian Jaya Barat dihasilkan sebuah keputusan bahwa Pemekaran Propinsi di Papua dihentikan dan untuk mempercepat laju pembangunan di Papua maka Pemerintah Pusat menerbitkan Inpres Percepatan kesejahteraan dan kemakmuran

Kekhawatiran sejumlah pihak bahwa Inpres ini akan mengerogoti eksistensi Otsus Papua dibantah oleh pernyataan Mendagri dan Gubernur Papua Barnabas Suebu yang menyatakan "bahwa Inpres ini akan mendukung implementasi Otsus" (Lihat Cepos, 20 Februari 2007. Inpres Percepat Pelaksanaan Otsus).

Ada pun tujuan utama dari pemekaran wilayah adalah untuk percepatan dan pemerataan pembangunan di wilayah Irian Jaya yang rentang kendali pemerintahannya jauh sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat yang bebas dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan kesehatan yang buruk (4K). Kemudian di akhir tahun 2001 lahirlah UU nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. UU ini merupakan perwujudan dari Ketetapan MPR nomor IV Tahun 2000. UU itu juga merupakan hasil konsep Tim khusus yang dibentuk oleh pemerintah provinsi Papua yang juga bertujuan untuk percepatan dan pemerataan pembangunan di Irian Jaya sehingga dapat taraf hidup masyarakatnya

Setelah situasi di Papua kondusif, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 dikeluarkan pada 27 Februari untuk melaksanakan UU No. 45 Tahun 1999. Instruksi tersebut masih juga ditolak oleh berbagai pihak, terutama dimulai dengan mereka yang bukan orang Papua dan kurang memahami masalah di Papua dengan baik dan benar; selanjutnya ditolak juga oleh orang Papua. Selanjutnya ditolak juga oleh orang Papua yang kurang memahami dengan baik makna dari pembagian Papua dalam tiga provinsi.

Amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua seharusnya sudah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua, namun pada kenyataannya masih belum dirasakan oleh masyarakat Papua secara optimal. Secara empiris di lapangan masih ditemukan beberapa permasalahan yang cukup krusial seperti masih terdapatnya masalah kemiskinan, kesehatan, dan keterbelakangan dalam bidang pendidikan. Selain itu masih juga ditemukan tumpang tindih antara persoalan ekonomi, politik, hukum, sosial budaya yang pada gilirannya tidak mustahil akan bermuara pada persoalan stabilitas keamanan wilayah yang berdampak nasional.

Adanya berbagai permasalahan tersebut secara garis besar disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut (Dedagri, 2006: 4);

  1. Belum harmonisnya perangkat hukum yang mengatur pelaksanaan otonomi khusus di Papua. Apabila hanya UU No. 21 Tahun 2001 yang dijadikan acuan pelaksanaan otonomi khusus maka upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua hanya akan berjalan parsial. Sebab upaya optimalisasi peningkatan kesejahteraan hanya menyentuh masyarakat di Provinsi Papua saja sebagai objek hukum dari UU No. 21 Tahun 2001 tidak masyarakat di daerah Papua secara menyeluruh seperti di Irjabar.
  2. Belum optimalnya pemanfaatan kekayaan alam seperti dari hutan dan perikanan, untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Hal ini disebabkan oleh faktor belum lengkapnya infrastruktur yang menunjang kegiatan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di Papua serta masih kurangnya SDM dari masyarakat Papua yang memiliki kompetensi dalam mengolah kekayaan alam Papua.
  3. Belum kondusifnya kondisi keamanan dikarenakan masih munculnya gangguan keamanan oleh kelompok-kelompok separatis bersenjata dan juga masih sering terjadinya konflik horisontal di kalangan masyarakat Papua. Gangguan keamanan ini tentunya menghambat aktivitas pembangunan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

B.6. Kendala Dalam Implementasi dan dan Dampak dari Kebijakan Otonomi Khusus Papua

Dari mengamati proses pelaksanaan otonomi khusus bagi propinsi Papua, dapat dikemukakan kendala-kendala yang telah mengganggu kelancaran jalannya implementasi UU Otonomi Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001. Kendala tersebut berasal dari pihak pemerintah pusat, pihak pemerintah propinsi papua, dan pihak pendukung separatisme. Berikut ini dijelaskan bagaimana persisnya kendala itu masing-masing.

a) Pihak Pemerintah Pusat

Pemerintah Pusat merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab melaksanakan otonomi khusus Papua. Di tangan Pemerintah Pusat, tombol eksekusi kebijakan terletak, naik menyangkut penyiapan peraturan pelaksanaan maupun pengucuran anggaran. Tetapi tombol tersebut bisa saja tidak dipencet, karena pemerintah pusat tidak senang dengan kebijakan sesuai kewenangan dan kekuatan yang dimilikinya. Situasi probelematik seperti itu ternyata terjadi dalam pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Papua.

Contohnya yang paling penting ada tiga. Pertam, terbunuhnya Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua (PDP), oleh oknum anggota kopasus, pada bulan november 2001 hanya beberapa hari sesudah Otonomi Khusus Papua disetujui DPR. Peristiwa ini menyebabkan gagalnya kunjungan Presiden Megawati Soekarno Putri akhir desember 2001 ke Papua, karena memanasnya situasi politik di Pulau Cendrawasih ini. Lebih jauh lagi, kejadian itu telah mengacaukan seluruh upaya yang dibangun dengan susuah payah untuk menimbulkan kepercayaan rakyat Papua terhadap kebijakan otonomi khusus (http//kabar_papua.com.html...).

Kedua, sangat terlambatnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Majelis Rakyat Papua (MRP) oleh pemerintah pusat, walaupun rancangannya telah diserahkan pemerintah Propinsi Papua sejak Juli 2002 (Lihat Institute for Local Development, 2005: 612). Padahal PP MRP itu merupakan PP kunci bagi pelaksanaan otonomi khusus Papua. Tanpa PP itu segenap proses pelaksanaan otonomi khusus akan terkendala, gubernur tidak akan bisa dipilih, Perdasus tidak akan dapat diterapkan, pembagian dana otonomi khusus tidak memiliki dasar hukum yang kuat, pemekaran propinsi tidak dapat dilakukan, dan yang paling penting hak-hak dasar orang asli Papua tidak akan terjamin. Persoalannya, lembaga MRP ini tidak sepenuh hati disetujui oleh pemerintah, karena dianggap lembaga superbody.Dalam draf RUU versi Depdagri sendiri tidak terdapat materi tentang MRP. Karena itu, Pemerintah Pusat berusaha menahannya, meskipun dalam pasal 72 ayat (1) UU No. 21 pemerintah wajib menyelsaikan PP tersebut selambat-lambatnya 1 bulan setelah usulan diterima dari pemerintah propinsi Papua. Namun sayangnya UU itu tidak mengatur lebih jauh jika pemerintah tidak mampu memenuhi jadwal waktu tersebut.

Ketiga, diterbitkannya Indtruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 2003 tanggal 27 januari 2003 yang memerintahkan dilakukannya percepatan pelaksanaan pemekaran Papua menjadi tiga propinsi, yaitu; Propinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, disamping Propinsi Irian Jaya sendiri. Instruksi Presiden ini didasarkan pada UU No.45 Tahun 1999 yang notabane telah ditolak rakyat Papua lewat keputusan DPRD Tk. I Irian Jaya No. 11 tanggal 16 oktober 1999. lagi pula, UU pembentukan kedua propinsi baru yang dikeluarkan 4 oktober 1999 itu merupakan produk pemerintahan Presiden B.J. Habibie bersama DPR hasil pemilu 1997 yang rendah kadar legimitasinya. Bahkan, Mahkamah Konstitusi lewat Keputusannya terhadap perkara nomor 1/PUU-I/2003 telah membatalkan Undang-undang No. 45 Tahun 1999 dan menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (lihat Sidin, 2005: 64). Ditambah lagi, ketentuan Pasal 76 UU Otonomi Khusus telah menggariskan bahwa pemekaran Propinsi Papua menjadi propinsi-propinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP. Kehadiran Inpres tersebut telah menimbulkan kontroversi, bahkan jatuhnya korban dikalangan masyarakat Papua. Penerbitan Inpres itu telah mengganggu jalannya implementasi UU No. 21 Tahun 2001.

Munculnya kasus-kasus diatas adalah dampak dari konflik dalam proses pembuatan kebijakan Otonomi Khusus Papua. Didepaknya RUU yang diajukan Pemerintah Pusat dari DPR telah menimbulkan “kekecewaan” terhadap UU yang ditetapkan. Karena itu, ada kesan Pemerintah Pusat tampaknyaberusaha menahan implementasinya. Dengan kekuasaan dan kekuatan yang dimilikinya, proyek jalan tengah Otonomi Khusus Papua ini akan merana. Sehingga tidak salah bila tanggal 12 Agustus 2005 masyarakat Papua yang tergabung dalam forum Dewan Adat Papua mengembalikan Otonomi Khusus Kepada Pemerintah.

b) Pihak Pemerintah Propinsi Papua

Kendala utama dari pihak Pemerintah Propinsi Papua, termasuk kelompok masyarakat pendukung otonomi khusus, bersumber dari perbedaan materi draf RUU yang mereka ajukan dengan UU yang telah ditetapkan. Cukup banyak usulan mereka yang ditolak atau dimodifikasi “Jakarta”. Umpanya yang krusial tentang bendera dan lagu, kewenangan bidang keamanan dan peradilan tingkat pertama oleh tingkat banding, parlemen Papua yang terdiri atas dua kamar (MRP dan DPRP), parta politik lokal, sumber penerimaan dari seluruh pajak disetor ke kas daerah dan seluruhnya menjadi hak pemerintah propinsi sementara pemerintah pusat hanya diberi bagian setinggi-tingginya 20%, kompensasi bagi koraban/keluarga korban/ahli waris korban pelanggaran HAM sejak 1 Mei 1963, kepolisian daerah, larangan pemekaran wilayah propinsi papua, penyelenggaraan referendum jika selama lima tahun UU otonomi khusus papua tidak dapat dilaksanakan secara efektif, dan segala ketentuan perundang-undangan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan UU otonomi khusus dinyatakan tidak berlaku (lihat Institue for Local Development. 2006: 614).

Perubahan atau pengahapusan materi-materi diatas telah menimbulkan kekecewaan pada pihak pemerintah propinsi Papua beserta kelompok masyarakat pendukung otonomi khusus, terutama para sesepuh masyarakat dan intelektual yang terlibat dalam proses pembuatan RUU Otonomi Khusus. Mereka menyatakan “UU Otonomi Khusus bagi Papua berbeda jauh dari draf RUU yang dimasukkan” (lihat Institute for Local Development, 2005: 614). Itu berarti di hati kecil mereka terdapat bibit ketidakpuasan terhadap UU No. 21 Tahun 2001. Perasaan kecewa dan tidak puas ini pada gilirannya bisa membawa pengaruh terhadap pelaksanaan UU otonomi khusus Papua. Mereka bisa tidak sepenuh hati mengimplementasikan UU ini. Dikhawatirkan birokrasi dan politisi Propinsi Papua terjebak kedalam sikap pragmatis, yang berorientasi jangka pendek yaitu; “laksanakan saja dulu UU otonomi khusus ini apa adanya. Angkat pejabat dari orang Papua asli, pakai saja dana otonomi khusus sesuka hati, toh pemerintah pusat tidak perduli”. Kalau sekiranya ini yang terjadi, kebijakan otonomi khusus bakal macet, korupsi akan merajalela, dan tuntutan Papua merdeka kembali membahana.

c) Pihak Pendukung Separatisme

Pendukung paham separatisme secara fisik bersenjata adalah OPM, dan secara politik lembaga PDP. Ketika UU Otonomi Khusus Papua ini disusun kedua kelompok pendukung Papua merdeka itu terang-terangan menolak Otonomi Khusus bagi Papua. Menurut They Hiyo Elluay, ketua PDP, otonomi luas seperti otonomi khusus itu hanyalah ”gula-gula” politik yang diberikan pemerintah Indonesia, Jakarta hanya ”tipu-tipu” orang Papua (lihat Institue for Local Development, 2005: 615). Selanjutnya, penolakan tersebut mereka ekspresikan secara lunak dan keras. Bentuk lunak adalah dengan membawa 100 tokoh ke Jakarta 26 Februari 1999 menemui Presiden B.J. Habibie menuntut Papua Merdeka, dan mengibarkan bendera bintang kejora di bumi Cendrawasih 31 desember 1999. Penolakan mencapai puncaknya dengan doselenggarakanya kongres rakyat Papua 29 mei – 4 juni 2000 yang menyatakan ”Masyarakat dan Wilayah Irian Jaya (Papua) keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Adapun bentuk kerasnya dilakukan dengan membubarkan berbagai acara konsultasi publik draf RUU Otonomi Khusus, sehingga di Jayapura sempat menelan korban.

Dari uraian diatas, jelas bahwa UU Otonomi khusus Papua tidak didukung sedikit pun oleh kelompok separatisme. Mereka tidak terlibat sama sekali dalam penyususnan UU itu. Mereka malah menentang keras dibuatnya kebijakan Otonomi Khusus bagi Papua. Karena itu, mereka akan berusaha terus menghadang jalannya UU No.21 Tahun 2001 ini, atau paling tidak mendeskreditkannya. Selain itu efeknya akan dapat melemahkan mental para pendukung otonomi khusus. Akibat lebih jauh, implementasi UU No. 21 Tahun 2001 akan terus terganggu pelaksanaannya.

C. PENUTUP

Dari diungkapkannya seluk-beluk pembuatan dan kendala hingga dampak dari pelaksanaan kebijakan otonomi khusus bagi Papua diatas, sesungguhnya kita dapat memperoleh berbagai pelajaran berharga untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang lebih baik lagi di negeri ini pada masa mendatang. Kehadiran kebijakan otonomi aerah berbentuk Otonomi Khusus bagi Papua telah membawa perubahan mendasar pada pembuatan kebijakan otonomi daerah di Indonesia, baik isi kebijakannya yang lebih akomosatif terhadap aspirasi dan budaya lokal maupun proses pembuatannya yang lebih partisipatif dengan melibatkan tidak saja pemerintah daerah tetapi juga masyarakat setempat. Dengan kata lain, dalam pembauatan otonomi khusus itu, Negara mengikutsertakan daerah dan masyarakat setempat besrta kebhinekaan budyanya. Model pembuatan kebijakan serupa seerupa itu dapat dinamai dengan model pembuatan kebijakan otonomi daerah yang progreseif-kreatif. Ibaratnya, tukang jahit masih dipercaya menjahit baju, namun ukurannya disesuaikan dengan kondisi pelanngan, sehingga pelanggan senang dan tukang jahit tidak ditinggalkan (Evans, 2002: 6). Manfaat lainnya adalah, dapat mempercepat persatuan dalam NKRI dan mengurangi sentimen disintegrasi, dapat mengurangi konflik antara pusat-daerah, lebih mampu menghasilkan struktur lokal, dan dapat melahirkan pemerintahan lokal yang sehat (Evans, 2002: 6 – 11). Bahkan, secara teoritikal, kehadiran konsep otonomi khusus telah memperkaya konsep otonomi riil, konsep otonomi materiil, dan konsep otonomi bertanggungjawab.

Pembuatan kebijakan otonomi daerah berbentuk Otonomi Khusus boleh dibilang merupakan upaya pengembangan otonomi daerah secara lebih bermakna dalam bingkai konstitusi yang dijamin oleh pasal 18 ayat (1) UUD 1945, utamanya di satuan-satuan pemerintah yang bersifat khusus atau istimewa. Karena itu, kebijakan otonomi khusus ini dapat dikembangkan di daerah-daerah yang memenuhi syarat sesuai amanat UUD 1945 tersebut.

Pembuatan kebijakan otonomi khusus seperti di NAD dan Papua bukan merupakan hadiah dari pembuat kebijakan di Jakarta, tetapi dituntut dengan tekanan keras baik secara fisik bersenjata (GAM dan OPM) maupun secara Politk (SIRA dan PDP) oelh masyarakat setempat. Sebaiknya pada masa mendatang, pemerintah pusat tidak perlu menunggu perlawanan dari daerah melahirkan kebijakan otonomi khusus, tetapi mengambil sendiri prakarsa dengan ikhlas demi integrasi NKRI. Jangan harus ada senjata yang diangkat dan darah yang tumpah dulu, baru kebijakan otonomi khusus dikeluarkan pemerintah pusat.

Isi kebijakan otonomi daerah yang terdapat dalam Otonomi khusus bagi Papua tampak sarat dengan ajaran adat. Implementasi UU Otonomi Khusus bisa terganggu bila peraturan pelaksanaannya tidak kunjung keluar. Karena itu, sebaiknya muatan UU otonomi khusus, kedepannya harus rinci dan tuntas, dan hindari semaksimal janji – janji untuk mengaturnya dalam bermacam – mcam peraturan pelaksanaan.

Untuk meredam berbagai ketidakpuasan terhadap isi kebijakan otonomi khusus yang berpotensi mengganggu kelancaran jalannya implemntasi kebijakan, seperti pihak separatis yang tidak mau menerima UU, pihak pemerintah propinsi yang kecewa karena isi UU berbeda jauh dengan usulan mereka, dan pihak pemerintah pusat sendiri yang keberatan karena kewenangan mereka banyak berkurang, maka perundingan dan kompromi yang melibatkan ketiga pihak itu secara intensif perlu ditempuh. Jangan sampai UU otonomi Khusus jadi, lalu dusta dibuat.

DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo. (2005). Politik dan Otonomi Daera. Jakarta: Untirta Press

Djohan, Djoharmansyah. (2003). Kebijakan Otonomi Daerah 1999. Jakarta: Yarsif Watampone.

Djopari, John RG. (1993). Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka. Jakarta: Grasindo.

Dunn, William. (2003). Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: UGM Press

Evans, Kevin. (2002). Pemilu Lokal: Mengembalikan Hak Masyarakat Melalui Reprenstasi Keterwakilan Optimal. Jurnal PSPK Edisi 3

Geertz, Clifford. (1983). Local Knowledge. London: Fontana Press.

Institute for Local Development. (2005). Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100 Tahun. Jakarta: Yayasan TIFA

Kasiepo, Manuel. (1987). Pmebangunan Masyarakat Pedalaman Irian Jaya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Koentjoroningrat. (1994). Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Djambaran.

Kahoo, Josef Riwu. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: Grafindo

Liddle, R William. (2005). Revolusi Dari Luar: Demokratisasi di Indonesi. Jakarta: Nalar.

Maniagasi, Frans. (2001). Masa Depan Papua: Merdeka, Otonomi Khusus dan Dialog. Jakarta: Milinium Publisher

Sumule, Agus. (2002). Mencari Jalan Tengah: Otonomi Khusus Provinsi Papua. Jayapura: Uncen.

Daftar Dokumen

BPS dan BP3D Provinsi Papua. (2001). Irian Jaya dalam Agenda 2000.

CSIS. (2004). Membangun Kapasitas Untuk Implementasi Otonomi Khusus di Papua.

DPR-RI. (2001). Draf Akhir Pansus RUU Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua

Departemen Dalam Negeri. (2002). Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan NAD

-------------------------------. (2004). UU Otonomi Daerah 2004.

Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Percepatan Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 45 Tahun 1999. Tentang Pembentukan Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Pania, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.

Pemerintah Provinsi Papua. (2002). Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Majelis Rakyat Papua.

Pemerintah Propinsi Irian Jaya. (2001). Draf RUU Otonomi Khusus bagi Papua dalam Bentuk Wilayah Berpemerintahan Sendiri.

UU Otonomi Khusus bagi Papua Nomor 21 Tahun 2001.

UU Otonomi Daerah 1999. Jakarta: Sinar Grafika.

Surat Kabar dan Majalah

Kompas, 29 Agustus 2003.

---------, 2 mei 2003

Sinar Harapan, 3 Mei 2003

Suara Pmebaruan, 8 Spetember 2003

--------------------, 9 September 2003

Sinar Harapan, 3 Mei 2003.

sinar harapan 13 mei 2003

Cendrawasih Pos, 16 Januari 2007

---------------------, 17 Januari 2007

--------------------, 20 February 2007

Website

http://dte.gn.apc.org/65iam.htm

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=149752

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0305/13/opi03.html

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0305/13/opi03.html

http://www.papuapos.com/new/index.php?main=fullberita&id=3770

www.prakarsa-rakyat.org

webmas...@prakarsa-rakyat.org

Http : www.fokerlsmpapua.org

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/02/daerah/290056.htm

http://72.14.235.104/search?q=cache:y-bH34vQa_sJ:www.hampapua.org/skp/skp03/op-28i.rtf+implementasi+otonomi+khusus+papua&hl=id&ct=clnk&cd=7&gl=id

http://www.kabarpapua.com/online/modules.php?name=News&file=print&sid=46

http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/uu/2001/18-01.pdf

http://www.dpr.go.id/artikel/terkini/artikel_cetak.php?aid=3088