Sabtu, 30 Mei 2009

Tamatnya Ideologi dan Latar Belakang


ADA kecenderungan yang sangat kuat bahwa ideologi sudah tamat riwayatnya. Itulah kecenderungan yang terjadi dalam konteks mencari wakil presiden yang sedang giat-giatnya dilakukan elite partai. Proses masih terus berjalan, tetapi kecenderungan itu sudah dapat dilihat.

Pencalonan SBY menjadi presiden dari Partai Demokrat kiranya akan didukung empat partai yang berbasiskan Islam, yaitu PKB, PKS, PAN, dan PBB, serta partai berbasiskan Kristen PDS.
Sementara itu, calon presiden Megawati Soekarnoputri yang diusung PDI Perjuangan akan berkoalisi dengan Gerindra dan Hanura serta banyak disebut dengan PPP yang berlambang Kabah. Bila itu yang terjadi, itulah perkawinan paham kebangsaan dengan Islam.

Bagaimana dengan calon presiden Jusuf Kalla yang dijagokan Partai Golkar? Sampai kemarin belum jelas Golkar akan berkoalisi dengan partai apa.

JK telah bertemu dengan Megawati dan Prabowo, tetapi belum ada tanda-tanda terjadi koalisi.
Yang jelas, sulitnya mendapatkan 25% suara rakyat atau 20% kursi DPR menyebabkan koalisi untuk mencari cawapres menjadi cair dan longgar.

Gejala umum yang muncul ke permukaan adalah pengelompokan parpol-parpol dalam koalisi tidak lagi terikat kepada kesamaan ideologi. Partai-partai atau tokoh-tokoh yang berbeda secara ideologis ternyata tidak memiliki hambatan berkoalisi untuk mengusung kepentingan yang sama.
Bahkan, latar belakang sejarah yang berlawanan pun tidak menjadi perkara. Itulah yang mengundang banyak pertanyaan.

Dalam gerbong yang mengusung incumbent SBY sebagai capres misalnya, ada Partai Demokrat, PKS, dan PDS yang dalam konteks ideologis sesungguhnya terpaut jarak cukup jauh. Namun, perbedaan itu tidak menghalangi partai-partai tersebut untuk berkoalisi.

Koalisi Megawati dan Prabowo adalah koalisi dua latar belakang yang saling berseberangan. Soemitro Djojohadikusumo adalah ayah Prabowo yang merupakan 'musuh politik' Bung Karno yang adalah ayah Megawati.

Ayah keduanya berseberangan secara politik, tetapi kini pada generasi anak, ternyata dapat bertemu dan bersatu untuk mengusung kepentingan bersama. Pertanyaannya adalah mengapa partai-partai atau tokoh-tokoh yang secara ideologis dan latar belakang sejatinya ibarat air dan minyak itu dapat berkumpul dalam sebuah koalisi? Tidakkah yang sepenuhnya bekerja semata pragmatisme? Demi kepentingan sesaat, ideologi partai dapat disingkirkan.

Demi memperoleh kursi kabinet, perbedaan dapat dilupakan. Pertanyaannya adalah berapa lama kekompakan itu bisa bertahan? Kabinet Indonesia Bersatu tentu saja dapat menjadi bukti bahwa koalisi rapuh karena terlalu banyak yang diakomodasi tanpa mempersoalkan platform.

Koalisi yang sehat adalah koalisi yang didasarkan pada kesamaan platform. Bisakah kesamaan platform itu dibentuk secara mendadak? Singkatnya, pemilu presiden kali ini jelas sebuah medan persaingan yang unik. Yaitu tidak soal siapa berkoalisi dengan apa dan siapa, yang penting bisa menang menjadi presiden.

ISLAM DI TENGAH ARUS TRASNISI MENUJU DEMOKRASI

“The trantition toward democracy … contains a prolonged and incloncusive political struggle. Some individual, groups, ad class challenge the nondemocratic rules. Democracy may not be their aim; it can means to another end or a by product of struggle for other ends …” (Sorensen, 1993 ; 4)

Pembahasan tentang perkembangan politik umat islam di tengah transisi Indonesia menuju demokrasi, tak ragu lagi, merupakan hal yang amat kompleks. Masalahnya bakal menjadi lebih jauh lagi bila di kaitkan dengan tema tentang “Islam Politik” dan “Islam Kultural”, yang menandai Islam dalam masa transisi, karena kedua corak ini dalam pergumulan yang intens. Karena memang kedua corak Islam tersebut selama ini dipandang secara dikhotomis. Masa sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya, yang di gantikan oleh Habibi, dan kemudian Abdurrahman Wahid sering di pandang sebagai masa kebangkitan (kembali) Islam politik, yang terlihat dari kemunculan banyak sekali partai Islam.

Sebaliknya, Islam cultural yang mendorong “renaisans cultural” kaum muslimin dalam dasawarsa terakhir masa Soeharto, dikhawatirkan akan semakin memudar dalam masa transisi menuju demokrasi sekarang ini.

Semantara itu, kebangkitan Islam politik juga mengandung banyak masalah. Kebangkitan Islam politik menimbulkasn perdebatan politik tidak hanya islam politik versus islam cultural, tetapi juga bahkan keprihatinan. Islam politik yang muncul secara sangat fragmentaris memunculkan poliferasi skisma dan bahkan konflik yang cukup akut di antara berbagai kelompok dan elit politik Muslim.

Mengingat posisi demografis kaum Muslim sebagai warga mayoritas di Indonesia dan menghadapi fragmentasi serta skisma di kalangan umat Islam, maka wajar jika di ajukan pertanyaan; apa kebangkitan Islam politik itu terhaadap terhadap transisi Indonesia menuju demokrasi yang lebih otentik dan genuine?

Dengan kata lain, apakah parpol Islam yang begitu banyak dapat memberikan sumbangan positif kepada transisi Indonesia menuju demokrasi. Tidaklah perlu rasionalisasi atau penyederhanaan terhadap jumlah parpol islam agar mereka mampu memainkan peran lebih konstruktif dalam transisi. Sebab dengan jumlah yang demikian banyak, parpol islam bersama parpol parpol lain sebaliknya justru bisa menjadi kaontraproduktif bagi demokratisasi. Masalah – masalah seperti ini sangat tidak mudah dikaji tuntas.

Bangsa ku Tidak Untuk Berbisnis

Satu pekan yang lalu, bangsa Indonesia baru saja menyelenggarakan pesta Demokrasi. Sebagai rakyat Indonesia, kita semua telah menentukan pilihan masa depan negeri untuk lima tahun ke depan.

Pasca reformasi 1998, perilaku memilih dari pemegang hak suara memang telah banyak berubah, tentunya hal ini tidak lepas dari perubahan system demokratisasi di Indonesia. Bila dulu banyak pemilih yang menjatuhkan pilihannya karena mobilisasi dan manupilasi propaganda dari penguasa, kini pemilih telah memiliki hak suara sepenuhnya, sesuai dengan filsafat politik “vox popoli vox Dei”.

Akan tetapi demokratisasi yang berjalan di Indonesia saat ini masih tetap harus selalu di kritisi perkembangannya, agar kelak demokrasi yang telah beridiri di atas darah para mahasiswa ini tidak melenceng kea rah anarkisme ataupun chaos social politik.

Sistem demokrasi dan juga system pemilu Indoensia yang menganut system multi partai saat ini tidak hanya telah memberikan kebebasan memilih bagi rakyat Indonesia, akan tetapi juga memberikan kebebasan sebesar – besarnya bagi setiap WNI untuk ikut serta mencalonkan diri sebagai Pemimpin ataupun legislator.

Berawal dari kebebasan inilah, bangsa Indonesia yang setelah di landa krisis ekonomi 1998 ini terus mengalami keterpurukan ekonomi hingga saat ini. Walaupun pemerintah mengeklaim telah melakukan pembangunan ekonomi, namun tetap saja bangsa ini masih jauh dari cita-citanya seperti yang tertuang dalam UUD 45 untuk mewujudkan kesejahteraan umum, hal ini bisa di lihat dari tingkat pengangguran yang masih tinggi, apalagi bila di nilai dari standart tingkat pengeluaran masyarakat minimal $2 dalam sehari, ataupun Human Development Index nya, pembaca tentu dapat menilia – nya sendiri.

Alasan ekonomi lah membuat masyarakat Indonesia yang semakin terjepit oleh tuntutan perut terus mencari cara agar dapur mereka dapat terus berasap. Dan ketika sector perekonomian tidak lagi dapat di harapkan maka masyarakat –pun mencari solusi lain agar dapat memperoleh penghasilan yang mereka perlukan.

Seperti yang telah di singgung di atas, saat ini system politik Indonesia telah dapat memberikan kebebasan bagi setiap warga negaranya untuk berpartisipasi, menjadi salah satu alternative yang rasional memang untuk menraup penghasilan dengan duduk di kursi eksekutif dan legeslatif atau dengan kata lain inilah waktunya trend bisnis di dunia politik.

Rasional bukan bila dapat masuk ke parlemen atau memiliki kekuasaan kita dapat memperoleh apapun yang kita inginkan? Sepertinya alasan inilah yang menjadai dasar utama mengapa begitu pemiu yang demokratis di gelar pasca reformasi 1998, muncul puluhan parpol yang tidak jelas visi dan misinya. Sehingga apabila pembaca merupakan pemilih yang cerdas, tentunya akan kembali mempertimbangkan dan menilai ulang parpol yang akan di pilihnya dalam pemilu, apakah parpol tersebut memang bertujuan utuk membangun bangsa atau justru membangun kelompok atau bahkan korporasinya? Dan lihat juga individu – individu yang berada di baliknya apakah dia memang seorang negarawan atau justru seorang pebisnis, seperti yang di singgung di atas mengenai perut lapar karena dampak krisis ekonomi?

Masalah perut dalam pemilu di Indonesia terlihat semakin mencolok, ketika bangsa Indonesia untuk pertama kalinya menerapkan system pemilihan presiden dan DPR secara langsung pada tahun 2004, pada tahun tersebut ketika parpol di nilai sudah tidak relevan lagi dalam memberikan pemimpin yang di harapkan oleh masyarakat, dan pemerintah menyerahkan langsung pemilihan orang – orang penentu nasib bangsa ini kepada masyarakat, maka semakin terbuka lebarlah kesempatan untuk berbisnis dalam system politik yang keropos ini.

Individu – individu yang sebelumnya tidak pernah terlihat ataupun terdengar dalam aktivitas social dan politik tetapi memiliki uang yang lebih, berlomba – lomba masuk dalam lubang – lubang system politik tersebut tanpa visi dan misi yang jelas bagi masa depan bangsa.

Partai Politik yang sesungguhnya tercipta untuk memberikan pendidikan politik dan juga sebagai sarana kaderisasi dalam melahirkan calon – calon pemimpin bangsa sebagai negarawan murni, telah berubah menjadi kendaraan politik dari para pebisnis untuk masuk ke dalam system public policy. Fenomena ini bila di lihat secara mendalam lagi tentu kembali lagi pada masalah ekonomi, karena bila melihat parpol – parpol di Indonesia yang terjadi adalah kebanyakan Parpol hidup dari uang para pebisnis dan loyalisnya sendiri hidup dari Partai, sehingga wajar bila penulis menyebut hal ini sebagai fenomana bisnis parpol dan pemilu yang kapitalis.

Keberhasilan Pemerintah dalam menyelenggarakan pemilihan presiden langsung tahun 2004 terus di kembangkan hingga ke tingkat daerah yaitu dengan terimplementasikannya UU No 34 Tahun 2004 tentang otonomi daerah yang mana di dalamnya juga mengatur tentang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada). Dari fenomena – fenomena yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada di Indonesia inilah tampak bagaimana perilaku pemilih dalam memberikan hak pilihnya serta bagaimana strategi – strategi parpol untuk memenangkan pesta demokrasi, kejadian selama pemilu 2004, pilkada, dan juga masa – masa pemilu 2009 inilha representasi bangsa Indonesia dalam memaknai Demokrasi.

Sepanjang pelaksanaan pilkada di Indonesia dalam kurun waktu empat tahun ini, terlihat jelas bagaimana keterkenalan figure seorang calon merupakan factor kunci untuk meraih simpati public yang berujung pada kemenangan di pilkada atau pemilu. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah keterkenalan / figure dari seorang calon ini adalah jaminan untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki jiwa negarawan?

Pertanyaan di atas tentu sudah dapat di jawab oleh pembaca yang telah memiliki hak suara dalam pemilu. Selama ini keterkenalan dari figure memang telah menjadi sebuah komiditas yang sangat laku dalam pemilu. Bagaimana tidak, majunya artis – artis televise seperti Marisya Haque dan juga Adji Masaied yang duduk di kursi legeslatif pada pemilu 2004 dan juga kemenangan Si Doel (Rano Karno) dalam pilkada di Jawa Barat, telah menjadi tolak ukur bagaimana pemilih lebih mengidamkan sosok seorang actor daripada negarawan sejati. Sekali lago parpol berbondong – bonding mengikuti trend pasar ppolitik tersebut.

Kembali pada masalah perut dalam pemilu 2009 ini. Saat pesta demokrasi akan di gelar pada tahun ini, ada kecenderungan positif dalam demokratisasi di Indonesia. Ternyata tidak hanya para artis saja yagng ingin ikut meramaikan dalam pemilu 2009, tetapi juga masyarat Indonesia dari berbagai golongan. Memang partisipasi masyarakat secara aktif dengan mencalonkan diri dalam pemilu bisa jadi sebagai tolak ukur keberhasilan sebuah demokratisasi. Namun yang perlu kembali di pertanyakan adalah mengapa banyak masyarakat yang ingin mencalonkan diri sebagai caleg ataupun calon pemimpin sedangkan kecenderungan golput semakin besar?

Dan pertanyaan ini, kiranya terjawab sudah usai pesta demokrasi dalam pemilihan caleg pada pemilu 9 april 2009 silam. Lihat saja bagaimana saat ini media massa di Indonesia santer memberitakan para caleg yang stress bahkan menjadi gila karena kalah dalam pemilu. Hal ini tentu wajar bila kita berfikir secara logis, karena para caleg tersebut tentunya telah banyak mengeluarkan uang dan juga hartanya untuk berkampanye. Maka ketika mereka kalah, seperti halnya seorang pengusaha yang gagal dalam perjudian bisnis, mereka pun (caleg) merasa sangat keceewa terhadap hasil pemilu yang di dapat sedangkan uangnya tidak dapat di tarik kembali dan kebangkrutan yang membawa kemiskinan pun tengah mengancam mereka. Jadi jawabannya adalah, para caleg ini tentu tidak sepenuh hati untuk mengabdikan dirinya kepada Negara, karena ternyata mereka untuk berkorban harta benda saja belum siap, malahan mungkin yang mereka pikirkan adalah dengan modal berkampenye nantinya mereka dapat mencari keuntungan dengan duduk di kursi pemerintahan.

KAPITALISME TIDAK DAPAT MEMBERIKAN ALASAN UNTUK HIDUP


Kapitalisme menciptakan peluang bagi hidup yang makmur dan terbentuknya perusahaan yang makmur, tetapi ini masih belum cukup. Menurut Charles Handy, personil dan perusahaan perlu mencari suatu maksud yang lebih besar bagi keberadaan mereka.

Hidup ini lebih dari sekedar mencari uang dan membeli sesuatu. Untuk menjadi kaya, guru tidak perlu menjadi guru. Para sukarelawan mencati imbalan yang tidak ada hubungannya dengan uang.

Namun, karena system kapitalis menggunakan uang untuk mengukur keberhasilan dan nilai, maka mencari uang telah menjadi sasaran puncak bagi kebanyakan orang, lembaga, dan bahkan masyarakat. Mereka akan segera menyadari bahwa itu saja tidak cukup.

Janji utama dari seluruh pemerintah yang baru adalah menjadikan warganya lebih kaya dari keadaan mereka saat ini. Yang menjadi asumsi, yang di anut oleh para pemilih adalah bahwa kekayaan yang lebih besar dengan sendirinya akan menjadikan hidup lebih bahagia.

Negara – Negara menetapkan peringkat untuk diri mereka sesuai dengan Product Nasional (GNP) yang di dasarkan atas harga aktivitas dan produk. Produk yang tidak mencakup upaya mencari uang di abaikan, seperti membesarkan anak.

Organisasi apapun, bukan hanya perusahaan tetapi juga sekolah. Organisasi relawan, dan rumah sakit. Hanya mencari “bottom line” (keuntungan akhir).

Yang menjadi mantera baru adalah menjalani segala sesuatu, bahkan hidup kita. “sama seperti bisnis” yang artinya mencari laba. Biarkan pasar yang mengatur segala sesuatunya. Disiplin pasar yang mendorong organisasi dan lembaga untuk mencari laba lenyap sama sekali, menciptakan masyarakat yang efisien.

Namun, apakah efisiensi selalu lebih baik? Rumah sakit yang mengeluarkan pasiennya yang sudah tua dan masih dalam keadaan sakit tentu dapat meningkatkan bottom line-nya tetapi hampir tidak dapat di anggap “efisien” atau “berhasil”. Sekolah dan lembaga kesejahteraan social juga memiliki mandate yang tidak terkait dengan permintaan pasar.

Pasar seringkali mendorong kreativitas dan inovasi. Namun, disiplinnya tidak sesuai. Mencari uang tidak selalu menunjukkan kepada kita hal benar yang harus di lakukan.

Efisiensi juga menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berarti uang yang lebih banyak bagi siapa saja. Namun untuk apa uang tambahan itu harus di belanjakan?

Seringkali, pertumbuhan mendorong pertumbuhan yang tidak ada manfaatnya dan sia – sia. Konsumen saat ini membayar lebih untuk mesin cuci dengan dua belas setelan – tetapi yang di gunakan tetap hanya tiga saja.

Semakin lama konsumen membeli hanya untuk membeli. Pembelian seperti ini mungkin tidak menambah nilai pada kehidupan mereka atau bagi masyarakat, tapi siapa yang peduli? Yang penting angka – angka ekonominya kelihatan hebat.

Kapitalisme menciptakan kekayaan dan meningkatkan lehidupan lebih efektif ketimbang system ekonomi apapun lainnya.

Tetapi kapitalisme haruslah sarana, bukan tujuan. System ekonomi dari dirinya sendiri tidak dapat menetapkan maksud serta pedoman kehidupan atau masyarakat secara umum. Efisiensi ekonomi atau keuntungan ekonomi bukan merupakan alasan bagi keberadaan lembaga atau individu. Untuk itulah mereka harus memandang melampui ekonomi.

Fase – fase hidup yang lazim mulai dari perjuangan untuk bertahan hidup, hingga keakuan yang benar - dapat menyesatkan. Ralph Woldo Emerson mungkin yang terbaik yang pernah mengungkapkan impian keakuan yang benar sewaktu ia mendefinisikan keberhasilan sebagai.

“….Mendapat respek dari orang – orang yang cerdas dan mendapat kasih sayang dari anak – anak….; menghargai kecantikan, menemukan yang terbaik dalam diri orang lain, meninggalkan dunia dalam keadaan sedikit lebih baik, baik anak yang sehat, sepetak kebun, atau kondisi social yang dapat di pulihkan…”

Keakuan yang benar berlaku juga untuk perusahaan di samping bagi individu. Perusahaan membutuhkan suatu tujuan atau maksud di luar keuntungan agar dapat bertahan hidup untuk jangka panjang.

Karena jika perusahaan hanya ada untuk menghasilkan laba. Berarti perusahaan tidak lebih dari alat penghasil uang bagi pemiliknya. Perusahaan berarti tidak memiliki kepribadian yang menerap sifatnya atau tidak memiliki tujuan.

Hal ini jelas keliru. Perusahaan memiliki tujuan, menambah nilai. Perusahaan menambah nilai dengan menghasilkan sesuatu yang tidak ada di sana sebelumnya atau, jika sudah ada di sana, membuatnya lebih murah lebih baik, atau tersedia bagi lebih banyak orang.

Microsoft menjadikan Bill Gates sebagai salah seorang terkaya di dunia. Namun tujuan Microsoft bukan untuk memenuhi pundi – pundi Gates. Microsoft berhasil karena perusahaan tersebut membantu menjadikan hidup manusia lebih baik melalui piranti lunaknya. Milyaran dollar yang di dapat Gates hanyalah akibat – samping dari keberhasilan tersebut. Walaupun memang saat ini contoh Microsoft dalam memberikan manfaat kepada masyarakat di rasa telah tidak sesuai lagi dengan kehadiran Open Source (Linux) yang lebih murah,dan bermanfaat. Namun contoh keberhasilan microsoft di masa lalu masih tetap di anggap relevan.

Keberhasilan Microsoft bukan hanya di karenakan oleh tujuannya. Hal itu juga di karenakan oleh semangat kerja yang luar biasa serta kreativitas para karyawannya. Banyak dari mereka yang telah menjadi jutawan, namun tetap bekerja di Microsoft. Alasannya karena senang kepada pekerjaan mereka.

Perusahaan perlu mencapai keabadian agar tetap eksis untuk selama – lamanya. Namun perusahaan hanya bisa abadi apabila perusahaan tersebut tetap eksis, layak mendapat tempat dalam masyarakat modern.

Untuk itu, perusahaan harus mementingkan diri sendiri secara benar. Perusahaan harus memandang jauh melampui laba sebagai sasaran dan menemukan maksud atau tujuan yang lebih besar. Tujuan social ini, yang bukan tujuan ekonomi, harus di definisikan melalui orang lain – bukan hanya pelanggan, tetapi juga karyawan di dalam perusahaan dan dunia di luarnya.

MASYARAKAT YANG LEBIH BAIK; Pemerintah Harus Mengilhami Tanggung Jawab

Dalam suatu masyarakat yang layak, semua lembaga, termasuk lembaga pemerintah dan pendidikan, akan membantu orang menjalani hidup keakuan yang benar.

Pemerintah yang demokratis sudah lama menyadari peran mereka dalam membantu masyarakat yang dirugikan menjalani hidup yang lebih baik. Namun, pemerintah gagal membantu masyarakat memikul tanggung jawab atas hidup mereka sendiri.

Keakuan yang benar didasarkan atas gagasan bahwa kita memikul tanggung jawab untuk berbuat yang terbaik dari hidup kita melalui orang lain. Menunggu “uluran” tangan pemerintah sama sekali bukan keakuan yang benar.

Pemerintah harus membantu masyarakat memenuhi tanggung jawab mereka, bukan meniadakan tanggung jawab tersebut!

Peran pemerintah adalah menyediakan infrastruktur kehidupan dalam masyarakat. Infrastruktur ini terdiri dari:

Informasi – hak untuk mengetahui apa yang sedang berlangsung.

Keterlibatan – hak untuk ambil bagian dalam keputusan.

Individualitas – hak atas kebebasan dan perlindungan terntentu sebagai individu.

Di bidang perawat kesehatan misalnya, pemerintah harus menjamin masyarakat memiliki informasi dan pilihan dalam perawatan kesehatan dan bahwa hak perawatan kesehatan mereka terlindungi.

Pilihan menjadi kata kunci disini. Orang harus bertanggung jawab atas pilihan perawatan kesehatan yang mereka ambil, termasuk memilih rumah sakit dan dokter yang berbeda.

Di Negara – Negara yang memiliki perawatan kesehatan nasional, pemerintah dapat memberikan voucher kapada masyarakat – cek yang ditandatangani oleh pejabat wilayah – dan membiarkan mereka memilih penyedia mereka. System ini juga akan meningkatkan layanan karena pihak penyedia di paksa bersaing bagi pasien.

Sistem yang sama dapat diterapkan di bidang pendidikan, dimana voucher memungkinkan orang memilih sekolah atau universitas.

Propaganda Politik Melalui Media Massa

Diantara bahasan yang menonjol dalam kajian Komunikasi Politik adalah menyangkut isi pesan. Bahasan ini sama pentingnya dari bahasan komunikator, media, khalayak dan efek komunikasi politik. Dalam beberapa literatur disebutkan, inti komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh. Urgensinya dalam suatu sistem politik tidak diragukan lagi, karena komunikasi politik terjadi saat keseluruhan fungsi dari sistem politik lainnya di jalankan.
Makalah ini, berupaya mengelaborasi masalah pesan politik terutama yang ada kaitannya dengan aktivitas persuasi. Fokus bahasan berkaitan dengan propaganda sebagai salah satu pendekatan persuasi yang sangat populer dan banyak dilakukan oleh komunikator politik sejak dahulu hingga saat ini. Karena dalam perkembangannya media massa banyak digunakan sebagai medium penyampaian pesan yang sangat diminati, maka bahasan ini secara spesifik mengamati propaganda politik melalui media massa. Teori agenda setting dipergunakan sebagai pilihan kerangka analisa dengan pertimbangan relevan dengan substansi pembahasan. Untuk melengkapi bahasan, juga akan dikemukan kritik terhadap beberapa konsepsi pokok.

PROPAGANDA : Sebagai Pendekatan Persuasi Politik
Konseptualisasi

Menurut Dan Nimmo (1993), ada tiga pendekatan kepada persuasi politik, yakni propaganda, periklanan dan retorika. Semuanya serupa dalam beberapa hal yakni bertujuan (purposif), disengaja (intensional) dan melibatkan pengaruh; terdiri atas hubungan timbal balik antara orang-orang dan semuanya menghasilkan berbagai tingkat perubahan dalam persepsi, kepercayaan, nilai dan pengharapan pribadi. Tentu saja ketiganya juga memiliki kekhususan yang membedakan satu dengan lainnya.
Banyak ahli mendefinisikan persuasi, salah satunya adalah Erwin P. Bettinghaus (1973). Menurut dia, persuasi tidak lain adalah usaha yang disadari untuk mengubah sikap, kepercayaan atau prilaku orang melalui transmisi pesan. Bisa saja, banyak definisi yang dikemukakan, tapi diantara karakteristik umumnya persuasi selalu melibatkan tujuan melalui pembicaraan. Sifatnya juga dialektis dan merupakan proses timbal balik. Dalam hal ini dengan sengaja atau tidak menimbulkan perasaan responsif pada orang lain. Selain dia juga bercirikan kemungkinan.
Dari ketiga pendekatan persuasi seperti disebut diatas, propaganda memiliki catatan konseptual dan histroris yang menarik untuk diamati. Menurut Jacques Ellul (dalam Dan Nimmo, 1993), propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi.
Istilah propaganda ini dapat ditelusuri hingga masa Paus Gregorius XV yang membentuk suatu komisi para kardinal, Cengregatio de propaganda Fide, untuk menumbuhkan keimanan kristiani diantara bangsa-bangsa lain. Namun pada perkembangannya propaganda meluas ke wilayah politik, yakni diperuntukan untuk memperoleh pengaruh dan pada akhirnya kekuasaan. Praktek propaganda misalnya pernah dilakukan Partai Nazi, Hitler. Dengan manipulasi lambang, dan oratori yang penuh emosi Hitler membangkitkan rasa identifikasi, komitmen dan kesetiaan khalayak. Kata-kata yang sangat populer waktu itu “Ein Volk, ein Reich,ein Fuhrer” (satu bangsa, satu imperium, satu pemimpin).
Ellul membuat tipologi propaganda yang menarik. Menurutnya, ada tipe propaganda politik dan tipe propaganda sosiologi. Yang pertama, beroperasi melalui imbauan-imbauan khas berjangka pendek. Biasanya melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai atau golongan berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis atau taktis. Sementara yang kedua, tipenya berangsur-angsur, merembes ke dalam lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik. Melalui propaganda orang disuntik dengan suatu cara hidup atau ideologi. Hasilnya, suatu konsepsi umum tentang masyarakat yang dengan setia dipatuhi oleh setiap orang kecuali beberapa orang yang dianggap sebagai “penyimpang (deviants)”.
Berkaitan dengan konsepsi ini dikenal adanya propaganda agitasi dan propaganda integrasi. Agitasi berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanan yang besar bagi tujuan yang langsung, mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita dalam tahap-tahap yang merupakan suatu rangkaian. Sementara integrasi menggalang kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Melalui propaganda ini orang-orang mengabdikan diri kepada tujuan-tujuan yang mungkin tidak akan terwujud dalam waktu bertahun-tahun.

Propaganda Vertikal : Satu-Kepada-Banyak


Propaganda dalam realitasnya mengambil bentuk vertikal dan horizontal. Bentuk yang pertama adalah representasi propaganda satu-kepada-banyak (one-to-many). Sementara propaganda horizontal bekerja lebih di antara keanggotaan kelompok ketimbang dari pemimpin kepada kelompok. Artinya yang kedua lebih banyak menggunakan komunikasi interpersonal dan komunikasi organisasi, ketimbang melalui komunikasi massa.
Kalau dulu komunikasi satu-kepada-banyak mungkin diwakili oleh propagandis-propagandis lewat pidato-pidato keliling di depan kumpulan partisan mereka, tapi sekarang hal ini lebih sering dilakukan melalui media massa.
Ada beberapa hal pokok yang biasa dilakukan dalam propaganda. Dalam bukunya Dan Nimmo (1993) mengulas ada 7 teknik propaganda penting yang memanfaatkan kombinasi kata, tindakan dan logika untuk tujuan persuasif. Pertama, name calling, memberi label buruk kepada gagasan, orang, objek atau tujuan agar orang menolak sesuatu tanpa menguji kenyataannya. Misalnya menuduh lawan pemilihan sebagai “penjahat”. Kedua, glittering generalities, menggunakan “kata yang baik” untuk melukiskan sesuatu agar mendapat dukungan, lagi-lagi tanpa menyelidiki ketepatan asosiasi itu. Misal AS menyebut operasi mereka ke Afghanistan beberapa waktu lalu sebagai “Operasi Keadilan Tak Terhingga”, dengan misi “hukum tanpa batas” begitu juga saat merencanakan serangan ke Irak, AS menyebutnya sebagai misi kemanusiaan untuk membebaskan manusia dari teror senjata pemusnah massal.
Ketiga, transfer, yakni mengidentifikasi suatu maksud dengan lambang autoritas, misalnya “pilih kembali Mega di Pemilu 2004”. Keempat, testimonial, memperoleh ucapan orang yang dihormati atau dibenci untuk mempromosikan atau meremehkan suatu maksud. Kita mengenalnya dalam dukungan politik oleh surat kabar , tokoh terkenal dll. Kelima, plain folks, imbauan yang mengatakan bahwa pembicara berpihak kepada khalayaknya dalam usaha bersama yang kolaboratif. Misalnya, “saya salah seorang dari anda, hanya rakyat biasa”. Keenam, card stacking, memilih dengan teliti pernyataan yang akurat dan tidak akurat, logis dan tak logis dan sebagainya untuk membangun suatu kasus. Misalnya kata-kata “pembunuhan terhadap pemimpin kita, benar-benar menunjukan penghinaan terhadap partai kita !”. Ketujuh, bandwagon, usaha untuk meyakinkan khalayak akan kepopuleran dan kebenaran tujuan sehingga setiap orang akan “turut naik”.
Prinsip satu-kepada-banyak yang menjadi pegangan propaganda, semakin menemukan momentumnya seiring dengan berkembangnya media massa. Orde Baru misalnya, secara terus menerus memanfaatkan TVRI sebagai ideological state aparatus. Dengan mengusung propaganda “pembangunan”, dalam waktu yang relatif lama mampu bertahan melakukan korporasi terhadap hampir segenap lapisan masyarakat. Persuasi model ini terus dilakukan sehingga rakyat mengidentifikasikan diri menjadi bagian dari anggota Orde Baru.

MEDIA MASSA : Sebagai Saluran Propaganda Politik


Kalau merujuk kepada pendapat Blumler dan Gurevitch (1995), ada empat komponen yang perlu diperhatikan dalam mengkaji sistem komunikasi politik. Pertama institusi politik dengan aspek-aspek komunikasi politiknya. Kedua institusi media dengan aspek-aspek komunikasi politiknya. Ketiga orientasi khalayak terhadap komunikasi politik. Keempat aspek-aspek komunikasi yang relevan dengan budaya politik.
Pendapat hampir senada dikemukakan Suryadi (1993), menurutnya sistem komunikasi politik terdiri dari elit politik, media massa dan khalayak. Dari kedua pendapat tadi dapat kita temui posisi penting media dalam propaganda politik. Setiap persuasi politik yang mencoba memanipulasi psikologis khalayak sekarang ini, sangat mempertimbangkan peranan media massa.

Urgensi Media Massa
Untuk memperkuat argumen bahwa media sangat urgen dalam proses propaganda politik, baiknya kita memahami dulu karakteristik media massa. Media massa merupakan jenis media yang ditunjukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.
Perkataan “dapat” menjadi sangat rasional karena seperti dikatakan Alexis S.Tan (1981), komunikator dalam media massa ini merupakan suatu organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan mengirimkannya secara simultan kepada sejumlah besar masyarakat yang secara spasial terpisah.
Dengan daya jangkau yang relatif luas, dan dalam waktu yang serentak, mampu memainkan peran dalam propaganda. Relevan dengan pendapat Cassata dan Asante, seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat (1994), bila arus komunikasi massa ini hanya dikendalikan oleh komunikator, situasi dapat menunjang persuasi yang efektif. Sebaliknya bila khalayak dapat mengatur arus informasi, siatusi komunikasi akan mendorong belajar yang efektif.
Dalam konteks era informasi sekarang ini institusi media massa seperti Televisi dan surat kabar dipercaya memiliki kemampuan dalam menyelenggarakan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan secara signifikan. Serangkaian simbol yang memberikan meaning tentang realitas “ada” dan pengalaman dalam kehidupan bisa ditransformasikan media massa dalam lingkungan publik. Sehingga bisa diakses anggota masyarakat secara luas.
Tentu saja dalam perkembangnnya, banyak pihak yang terlibat dalam pemanfaatan media massa sebagai instrumen pemenuhan kepentingannya. Sebut saja negara (state), pasar (market), kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (preasure group) dll.
Menurut Denis McQuail (1987), terdapat ciri-ciri khusus media massa antara lain : pertama memproduksi dan mendistribusikan “pengetahuan” dalam wujud informasi, pandangan dan budaya. Upaya tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan sosial kolektif dan permintaan individu. Dalam konteks propaganda, kerja produksi dan distribusi ini akan efektif untuk wujud informasi, pandangan dan budaya sesuai dengan yang diharapkan propagandis.
Kedua, menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu dengan orang lain dari pengirim ke penerima dan dari khalayak kepada anggota khalayak lainnya. Dalam konteks propaganda sangat urgen dalam proses pengidentifikasian diri khalayak sebagai anggota kelompok, entah itu partisan partai, anggota ideologi tertentu atau dalam nasionalisme sebuah negara. Ketiga, media menyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam lingkungan publik. Ini dalam konteks propaganda merupakan suatu hal yang strategis, karena tujuan dari persuasinya ini juga adalah manipulasi psikologi khalayak.
Keempat partisipasi anggota khalayak dalam institusi pada hakekatnya bersifat sukarela, tanpa adanya keharusan atau kewajiban sosial. Ini relevan dengan sifat persuasi yang bukan berupa pembicaraan kekuasaan, bukan ancaman yang mengatakan “jika anda melakukan (tidak melakukan ) X, maka saya akan melakukan Y. Menurut Dan Nimmo mengutip Harold D. Lasswell (1993), pembicaraan kekuasaan lebih dekat kepada kekerasan dan ancaman ketimbang kepada persuasi. Persuasi juga bukan pembicaraan kewenangan atau autoritas yang memerintahkan “lakukan X”. Namun, persuasi merupakan pembicaraan pengaruh yang bercirikan kemungkinan (“jika anda melakukan X, maka anda akan melakukan Y”), diidentifikasi melalui saling memberi dan menerima diantara pihak-pihak yang terlibat, meskipun dalam kenyataannya tidak sesederhana itu.
Kelima, institusi media dikaitkan dengan industri pasar karena ketergantungannya pada imbalan kerja, teknologi dan kebutuhan pembiayaan. Ini merupakan tuntutan yang seringkali mengarahkan media massa untuk lebih menonjolkan aspek komersialnya.
Keenam meskipun media itu sendiri tidak memiliki kekuasaan, namun institusi ini selalu berkaitan dengan kekuasaan negara karena adanya kesinambungan pemakaian media. Dalam konteks propaganda, media massa menjadikan dirinya sebagai medium pesan politik sehingga kenyataannya kekuasaan dan pengaruh secara terus menerus diproduksi dan didistribusikan oleh media massa.

Pembentukan Citra Politik
Media massa yang bekerja untuk menyampaikan informasi dapat membentuk, mempertahankan atau mendefenisikan citra. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi atau sering orang mengatakannya sebagai realitas tangan kedua (second hand reality). TV maupun surat kabar memilih tokoh atau berita tertentu dengan mengesampingkan tokoh dan berita lainnya. Seringkali khalayak cenderung memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Akhirnya, kita membentuk citra tentang lingkungan sosial kita berdarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa.
Lee Loevinger mengemukakan teori komunikasi yang disebut ‘reflektive-projektive theory’. Teori ini beranggapan bahwa media massa mencerminkan suatu citra yang ambigu-menimbulkan tafsiran yang bermacam-macam-sehingga pada media massa setiap orang memproyeksikan atau melihat citranya pada penyajian media massa (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1993). Pengaruh media massa terasa lebih kuat lagi karena pada masyarakat modern orang memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa.
Mengenai masalah ini Schudson (1996) menyebutkan, news (berita) merupakan bagian dari latarbelakang melalui apa masyarakat berpikir. Dia juga menegaskan Institusi berita sebagai aktor sosial ekonomi yang memiliki pengaruh sangat besar. Media merupakan suatu “sebab” terjadinya pendistribusian informasi dengan memilih konsumen yang visible dan terukur.
Saat media memberi publik suatu item berita, dengan sendirinya mereka memberikan legitimasi publik. Media massa membawa persoalan citra ini ke dalam forum publik, dimana hal ini dapat didiskusikan oleh khalayak secara umum. Citra yang dibangun tentu saja bukan sesuatu yang alami, melainkan hasil penyeleksian media melalui political framing (politik pengemasan).
Propaganda politik melalui media massa sebenarnya, merupakan upaya mengemas isu, tujuan, pengaruh, dan kekuasaan politik dengan memanipulir psikologi khalayak. Begitu urgennya media, sehingga Cater menyebutnya sebagai institusi kekuatan keempat dalam suatu pemerintahan atau The Fourth Branch of Government (dalam Sparrow, 1999).
Dalam pelaksanaannya, propaganda di media massa juga tidak bisa mengenyampingkan beberapa hal yang dikenal dalam rumusan Pamela Shoemaker dan Stephen D. Reese (dikutip Susilo, 2000) sebagai model “hierarchy of influence”.
Kalau dideskripsikan, sekurang-kurangnya ada lima hal yang mempengaruhi berita media termasuk di dalamnya isi propaganda. Pertama pengaruh individu-individu pekerja media seperti karakteristik pekerja media, latarbelakang personal dan profesional. Kedua, pengaruh rutinitas media seperti tengat waktu (deadline), keterbatasan tempat (space) dll. Ketiga pengaruh organisasional; keempat pengaruh dari luar organisasi media seperti dari partai politik atau pemerintah yang melakukan propaganda. Kelima pengaruh ideologi yang merupakan sebuah pengaruh paling menyeluruh dari semua pengaruh yang ada. Di sini ideologi dimaknai sebagai suatu kekuatan yang mampu melakukan kohesivitas kelompok. Dengan pengaruh dari kelima faktor tadi, propaganda bisa efektif atau tidak sangat tergantung pada kemampuan untuk memanfaatkan media massa secara efektif. Tentu saja dengan pemahaman terhadap karakteristik media massa yang dipakai. Tidak semua media efektif menjadi medium propaganda dalam suatu konteks tertentu.

Prinsip Propaganda di Media Massa
Tentu saja untuk mengefektifkan propaganda politik di media massa juga sangat perlu memperhatikan beberapa prinsip-prinsip umum yang diturunkan dari riset mengeni pengaruh komunikator dalam keberhasilan usaha persuasif (Dan Nimmo, 1993) :
Pertama status komunikator. Artinya setiap peran membawa status atau prestise tersendiri. Secara umum, semakin tinggi posisi atau status seseorang di tengah masyarakat, makan akan semakin mampu dia melakukan persuasi. Dengan demikian pemilihan propagandis terutama dalam media massa yang diorientasikan mencapai khalayak yang heterogen membutuhkan mereka yang punya status kuat. Misalnya saat Orde Baru, Soeharto merupakan propagandis konsep developmentalism, sementara era Orde Lama Soekarno menjadi propagandis dari tujuan revolusi.
Kedua kredibilitas komunikator. Sasaran propaganda mempersepsi para komunikator dengan beberapa cara. Sejauh mereka mempersepsi bahwa propagandis itu memiliki keahlian, kompetisi, keandalan, dapat dipercaya dan autoritas, mereka menganggap bahwa komunikator itu kredibel. Memang pada perkembangnnya khalayak media, dalam menerima pesan juga membedakan antara apa yang dikatakan dengan kredibiltas sumbernya.
Ketiga, daya tarik komunikator, hal ini meningkatkan daya tarik persuasif. Hal ini terutama berlaku pada homofili, yakni tingkat kesamaan usia, latarbelakang dll seperti dipersepsi orang. Persuasi itu sebagian besar berhasil bila orang mempersepsi komunikator seperti dirinya sendiri secara gamblang. Karena persuasi dalam hal ini propaganda politik merupakan upaya penyebaran informasi dan pengaruh satu-kepada-banyak maka instrumen teknologi yang dapat menyebarkan pesan kepada angota kelompok merupakan hal yang tepat dilakukan. Goebbels, dalam memikirkan strategi kampanye persuasifnya membedakan haltung yang mempengaruhi prilaku, sikap dan perbuatan orang. Sementara stimmung merupakan morel mereka, penerimaan dan retensi imbauan persuasif.
Berbagi pesan propagandis berhubungan dengan keefektifannya dua hal. Pertama isi pesan, hal ini menyangkut model pilihan isi yang dikemukakan dalam propaganda di media massa. Bisa jadi isi yang mengancam orang (isi membangkitkan rasa takut) akan mempersuasi kalayak dalam kondisi tertentu. Kedua struktur pesan, bisa jadi karena ,media yang dipakai adalah media massa yang memiliki keterbatasan waktu atau tempat menyebabkan penyusunan struktur pesan yang efektif dan efesien. Namun terlepas dari segala keterbatasan waktu dan tempat, propaganda di media massa bisa dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi suatu terpaan (exposure). Misalnya, propaganda AS melawan terorisme disampaikan lewat media-media yang berpengaruh secara internasional. Misalnya CNN, CBC, VOA dll. Hal itu juga dilakukan dengan membuat agenda setting di media-media seluruh dunia, mengukuhkan (reinforcement) kalau terorisme itu memang penggeraknya adalah orang-orang timur tengah.

ANALISA : Perspektif Agenda Setting Theory


Berbicara perspektif agenda setting theory sebenarnya merupakan model efek moderat . Ini dikembangkan oleh Maxwell E. McComb dan Donald L Shaw. Menurut Jalaluddin Rakhmat (1997) Perspektif ini menghidupkan kembali model jarum hipodermik, tetapi dengan fokus penelitian yang telah bergeser. Dari efek pada sikap dan pendapat bergeser kepada efek pada kesadaran dan pengetahuan atau dari afektif ke kognitif. Prinsipnya sebenarnya “to tell what to think about” artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dengan teknik pemilihan dan penonjolan media memberikan cues tentang mana issue yang lebih penting. Karena itu, model agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media kepada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak kepada persoalan itu. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Begitu juga sebaliknya apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat.
Propaganda politik di media massa (seperti model yang kita bahas sebelumnya) tentunya tidak lepas dari pembicaraan soal efek, karena ini merupakan entry point bahasan agenda setting. Propagandis yang hendak menggunakan media massa sebagai medium penyampaian pesan politik sudah seharusnya memahami masalah efek ini. Efek terdiri dari efek langsung dan efek lanjutan (subsequent effects). Efek langsung ini berkaitan dengan issues, apakah issue itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak (pengenalan); dari semua issues, mana yang dianggap paling penting menurut khalayak (salience); bagaimana issues itu diranking oleh responden dan apakah rangkingnya itu sesuai dengan rangking media. Efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang peristiwa tertentu) atau tindakan (seperti memilih kontestan pemilu atau melakukan aksi protes). Pada kenyataannya menurut perspektif agenda setting theory, media massa menyaring artikel, berita atau acara yang disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers” seperti penyunting, redaksi bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan.
Yang menarik dicermati, karena pembicara, pemirsa dan pendengar memperoleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat (public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan dan bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang tengah menarik perhatian masyarakat (community salience).
Masyarakat tentunya memiliki hak untuk tahu (right to know) yang akhirnya menjadikan suatu isu atau peristiwa menjadi public sought (permintaan publik) akan informasi tentang isu atau peristiwa tersebut. Media dengan kepentingan teknis, idealisme dan pragmatismenya memilih, mengemas dan akhirnya mendistribusiakan kepada khalayak kalau sesuatu itu penting. Relevan dalam konteks ini, media melakukan pengemasan (framing). Membuat frame berarti menyeleksi beberapa aspek dari pemahaman atas realitas dan membuatnya lebih menonjol. Esensinya dilakukan dengan berbagai cara antaralaian, penempatan (kontekstualisasi), pengulangan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplikasi dll. Merujuk pada pendapat Gamson dan Modigliani (1983), frame merupakan cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan obyek suatu wacana. Sebuah upaya persuasif dalam kemasan propaganda politik di media massa dari perspektif agenda setting tentunya harus memperhatikan bebepara hal pokok. Pertama, struktur makro, artinya makna umum dari suatu tampilan propaganda di media yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan. Kedua, super struktur, yang merupakan struktur propaganda yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks atau acara yang dibuat dan diarahkan kepada khalayak tersusun secara utuh. Ketiga, struktur mikro, ini merupakan propaganda yang dapat diamati melalui bagian kecil dari suatu teks atau acara di media massa. Kalau dalam wujud teks misalnya kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, atau gambar, dan angel pengambilan photo suatu kejadian. Hal-hal yang diamati dalam struktur mikro misalnya meliputi semantik yaitu bagaimana bentuk susunan kalimat yang dipilih. Stilistik, yaitu bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita, dan retoris yaitu bagaimana dan dengan cara apa penekanan itu dilakukan. Propaganda dalam media massa tentu saja berbeda dengan propaganda yang dilakukan lewat model rapat akbar partai dan ceramah di lapangan. Propaganda di media sangat dibatasi dengan waktu atau space yang disediakan. Oleh karena itu kemampuan pengemasan menjadi hal yang sangat pokok.
Dari perspektif agenda setting, media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang. Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang anggap penting. Bila AS secara terus menerus memberi label Irak, Saddam Husein, Osama bin Laden sebagai biang teroris maka lambat laun khalayak internasional bisa mempengaruhi konstruk berpikir khalayak internasional mengenai teroris. Begitu juga saat pemerintah Megawati selalu mempersuasi Bangsa Indonesia kalau Abu Bakar Baasyir dan Jamah Islamiyah sebagai orang dan kelompok membahayakan, maka kemungkinan besar hal ini berpengaruh pada cara berpikir masyarakat. Sama berpengaruhnya saat media selalu menampilkan tokoh tertentu, maka orang tersebut cenderung dianggap tokoh penting.
Seperti dikemukakan diatas, bahwa agenda setting ini merupakan upaya memperbaharui kembali penelitian tentang efek media yang perkasa yang sebelumnya dibangun model jarum hipodermik. Pada model jarum hipodermik yang sering juga disebut “bullet theory”. Dalam konteks propaganda di media massa dengan model ini diasumsikan kalau komponen-komponen komunikator, pesan dan media amat perkasa dalam mempengaruhi komunikan. Pesan propaganda “disuntikan” langsung ke dalam jiwa komunikan yang dianggap pasif menerima brondongan pesan-pesan. Pada umumnya propaganda kalau menggunakan model ini bersifat linier dan stau arah.
Sementara kalau menggunakan model Uses and Gratification justru kontras dengan jarum hipodermik. Model ini tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media. Anggota khalayak diangap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan. Karena penggunaan media hanyalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan psikologis, efek media dianggap sebagai situasi ketika kebutuhan itu terpenuhi. Pendirinya antara lain Katz, Blumler dan Gurevitch. Dari perspektif teori ini berarti propaganda lewat media hanya menjadi salah satu alternatif bagi khalayak dalam memenuhi kebutuhannya. Kalau khalayak media tersebut tidak membutuhkannya maka dengan sendirinya propaganda yang dilakukan tidak akan efektif.
Agenda setting lahir secara lebih moderat, model ini mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak kepada persoalan tersebut. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula masyarakat dan apa yang dilupakan media akan dilupakan juga oleh publik. Dengan demikian propaganda melalui media massa akan efektif, kalau ada upaya mengemas pesan propaganda dalam prioritas isi pesan media. Isi pesan inilah yang menjadi tawaran dalam mempengaruhi cara berpikir kalayak.
Menganalisa propaganda melalui media massa dari perspektif agenda setting, memunculkan beberapa kritik yang perlu dikemukakan. Pertama, tipologi propaganda menjadi propaganda politik dan propaganda sosiologi terlalu menyederhanakan masalah terutama dalam tipologi waktunya. Dalam tipologi Ellul (1951) tersebut, propaganda politik melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai atau golongan berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis dan taktis. Ia beroperasi melalui imbauan-imbauan khas berjangka pendek. Padahal dalam perspektif agenda setting yang dipengaruhi oleh media massa itu adalah pengetahuan khalayak. Sesuatu dianggap penting oleh khalayak kalau secara terus menerus ditampilkan dalam media massa. Ini artinya memerlukan suatu framing waktu dan framing isu dalam suatu kurun waktu tertentu, sehingga mempengaruhi konstruk berpikir masyarakat terhadap isu tersebut.
Kedua, salah satu karaketristik propaganda seperti disebutkan Dan Nimmo (1993) terdiri atas hubungan timbal balik antar orang-orang- bukan satu mendikte yang lain –dan semuanya menghasilkan berbagai tingkat perubahan dalam persepsi, kepercayan, nilai dan pengharapan pribadi. Peruasi disebutkan sebagai proses yang dialektis, baik persuader maupun yang dipersuasi sama-sama responsif. Hanya masalahnya, bagaimana dalam konteks media massa yang memiliki karakter delayed feedback. Seringkali proses dialektis tidak bisa terwujud secara baik dalam propaganda politik di media massa. Pesan politik baik permintaan dukungan, isu atau kejadian politik yang dikemas menjadi prioritas media, memanipulasi aspek psikologis massa. Secara real dalam masyarakat yang daya kritisismenya rendah seperti di banyak kasus negara-negara berkembang, propaganda tidak banyak memberi ruang untuk dialektis.
Ketiga, kita juga perlu mengkritisi perspektif agenda setting dalam menganalisa propaganda politik dimedia massa. Agenda setting memandang media massa melakukan ”to tell what to think about” artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dalam konteks ini, perlu dipertanyakan, apakah penilaian khalayak tentang suatu isu atau pesan propaganda yang dianggap penting itu karena penonjolan yang dilakukan oleh media atau karena faktor-faktor lain. Karena dalam realitasnya, seringkali mainset pemahaman terhadap pesan politik sebelumnya sudah terbentuk melalui pengaruh interpersonal dalam organisasi, dalam norma kelompok atau melalui pemuka pendapat melalui jalinan komunikasi two-step flow-communication.

KESIMPULAN
Dari paparan diatas dapat kita simpulkan beberapa hal penting. Propaganda merupakan salah satu pendekatan dalam persuasi politik, selain retorika dan periklanan. Secara sederhana propaganda didefinisikan sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi. Karena kaitannya dengan karakteristik propaganda sebagai transmisi pesan satu-kepada-banyak, maka media massa menjadi medium pesan yang sangat efektif untuk digunakan. Melalui upaya manipulasi psikologis, propaganda berupaya menyatukan khalayak kedalam suatu organisasi atau tujuan propagandis.
Hanya saja, dalam perspektif agenda setting theory, media massa dalam mengemas propaganda politik dipandang tidak seperkasa bullet thery yang memandang khalayak sangat pasif. Media dipandang bisa menonjolkan pesan propaganda tertentu, supaya menjadi hal yang penting bagi khalayak.

DAFTAR PUSTAKA

Bettinghaus, Erwin P., Persuasive Communication, Second Edition, (New York : Reinhart and Winston, Inc., 1973)
Blumler, Jay G., and Gurevitch, Michael., The Crisis of Public Communication, London and New York : Routledge, 1995)
Dan Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993)
McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, Agus Dharma (terj.), Jakarta : Erlangga, 1987
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1994)
Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997)
Suryadi,Syamsu, Elit Politik dalam Komunikasi Politik di Indonesia, dalam Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun , Indonesia dan Komunikasi Politik, (Jakarta : Gramedia, 1993)
Schudson, Michael, The Power of News, (Massachusetts, London : Harvard University Press, 1995)
Sparrow, Bartholomew H., The News Media as A Political Institution Uncertain Guardian,(Baltimore and London : The Johns Hopkins University Press, 1999)
Tan, Alexis S., Mass Communication Theories and Research, (Ohio : Grid Publising, inc., 1981)v

Abu – Abu Media Dalam Propaganda Politik.

.

Pelaksanaan Pemilu di Indonesia hanya tinggal menghitung jari tangan saja, dan setelah itu masa depan Indonesia untuk lima tahun ke depan akan dipegang oleh sang pemenang dalam pemilu. Tak heran rasanya bila beberapa bulan ini warna – warni atribut partai ataupun caleg menyesaki ruang – ruang public.

Fenomena paling menarik dalam pemilu 2009 ini adalah trend baru dalam menarik simpatisan dengan menggunakan strategi marketing politik serta iklan politik. Ironis memang kalau saat ini kita harus mengakui bahwa politik telah menjadi komoditas bisnis. Media sebagai pusat informasai public merupakan agen utama untuk menjalankan strategi marketing politik ini, lihat saja bagaimana iklan – iklan politik kerap membanjiri acara – acara televise dan juga menghabiskan satu kolom atau lebih dalam media cetak.

Para politisi dan kendaraannya berlomba – lomba menjajakan visi – misinya kepada public di dalam media massa. Suatu kemajuan memang dalam sebuah sosialisasi politik. Namun hal ini seharusnya menjadi pertanyaan bagi insane pers, bagaimanakah pers menanggapi fenomena ini, apakah media massa di Indonesia akan tetap menjaga idealismenya, dengan meminjam istilah Jurgen Habermars media public adalah sebagai watch dog dalam pilar keempat demokrasi , ataukah akan terbawa arus kedalam kesempatan untuk ikut berbisnis? Yang pasti wartawan ataupun jurnalis lebih tahu akan jawaban dari pertanyaan ini.

Marketing dan iklan politik ini sama halnya dengan sebuah propaganda politik. Dimana melalui propaganda inilah partai – partai politik dapat mempengaruhi masa dengan menyebar informasi – informasi yang bersifat fakta maupun manipulative, dualitas antara fakta dan manipulative,tentu pembaca sudah tahu mana yang lebih sering dipakai oleh parpol dan politisi dalam membuat sebuah propaganda politiknya.

Dalam sebuah Negara yang menganut asas Demokrasi, konsep tatanan tiga pilar demokrasi ala montesqiue telah berkembang menjadi empat pilar, yaitu; eksekutif, legeslatif, yudikatif, dan juga pers yang berfungsi sebagai watch dog. Kehadiran media / pers dalam tatanan demokrasi inilah yang akan mengontrol dan menjaga jalannya pemerintah, terutama dalam memberikan kebenaran informasi politik kepada public.

Kehadiran pers sebagai watch dog dalam mengontrol jalannya pemerintah ini ternyata bertolak belakang dengan awal mula lahirnya media, terutama di Indonesia. Ketika masa – masa perjuangan media merupakan salah satu senjata paling mutakhir dalam menyalurkan propaganda politik dan perjuangan.

Sebuah tatanan Negara Demokrasi kini tak lagi hanya berdasar pada trias politica Montesqiue, tiga pilar Eksekutif, Yudikatif, dan Legeslatif tak lagi dapat memberikan kepercayaan public akan pemerintahan yang transparan dan adil. Maka lahirlah media dan kebebasan pers yang berfungsi sebagai watch dog untuk mengontrol jalannya pemerintah. Dan inilah yang saat ini disebut sebagai empat pilar demokrasi modern.

“Terbunuhnya” Kultur Tatap Muka.


Setidaknya sejak era 1980-an, tanpa sadar kita menyelenggarakan “perkabungan” kebudayaan atas “terbunuhnya” kultur tatap muka. “Kita” makin kesulitan untuk bertemu, berdialog secara intens, saling menyelami batin, mencium bau keringat, dan mengenali kemanusiaan dalam sebuah ruangan social yang kondusif. “Kita” mengalami keterasingan: kesendirianpun telah mengkristal menjadi kesunyian.

Dulu, kita bisa bareng – bareng nonton ketoprak, ludruk kelilingan, atau jenis kesenian tradisional lainnya yang manggung di desa atau di kota kita. Tap dimanakah mereka sekarang? Di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta kesenian yang mobil tinggal satu – dua atau bahkan telah punah. Sementara panggung – panggung Ramayana atau wayang orang semakin jauh dari tepuk sorak dan ingar – bingar penonton. Para pemain menggigil dibalut kemiskinan yang mencemaskan.

Begitu juga bioskop – bioskop di kota kecil maupun pinggiran. Sejak era sinepleks menguasai pasar, mereka makin ditinggalkan penontonnya dan akhirnya bernasib teragis: gulung tikar. Ada satu dua bioskop yang masih bertahan, tatapi merekapun hanya tinggal menghitung waktu hingga maut menjuputnya. Nasib yang sama juga banyak dialami banyak sineplex, kecuali yang ada di kota – kota besar, seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya,

Dulu, diberbagai kota muncul banyak lingkaran studi (diskusi) yang mampu melahirkan kesadaran kritis atau wacana – wacana yang membuat benak kita penuh sesak pengetahuan. Dari lingkar disukusi kecil ini banyak lahir tokoh muda, yang kini eksis di berbagai bidang. Kini, mungkin lingkaran diskusi ini masih ada meskipun jumlahnya menyusut tajam.

Paparan contoh di atas hanyalah sebagian (kecil) dari “matinya” seni pertunjukan, yang tentu juga terjadi di kota – kota lain di negeri ini. Kita melihat kenyataan, bukan hanya kesenian yang sepi, tapi juga forum – forum diskusi dan kegiatan sosiokultural lainnya yang di anggap tidak memiliki “nilai – guna”.

Semula kita menyangka: kematian mereka hanya karena dibunuh kapitalisme yang menghadirkan siaran televise di ruang tamu atau hal – hal lain yang member kenyamanan dan mudah dijangkau. Hal itu benar. Kapitalisme memang punya tabiat rakus dalam melipatgandakan modal untuk meraih keuntungan yang sebesar- besarnya. Ia tidak mau peduli dan berbagi dengan nasib pihak – pihak lain yang juga punya hak hidup. Prinsipnya: survival of the fittest. Hanya yang kuat dan berkuasa yang mampu bertahan.

Matinya jenis kesenian atau tontonan yang live ternyata bukan hanya disebabkan perang modal daro “kapitalis” (juragan) kecil melawan kapitlais raksasa. Begitu juga dengan “matinya” forum – forum sosiokultural. Ada hal yang lebih mendasar: “Terbunuhnya” kultur tatap muka dalam masyarakat.

Pragmatisme

Kultur tatap muka tentu tidak sesederhana “pertemuan saling menatap wajah”, melainkan sebuah budaya bercorak komunal yang menganggap penting kebersamaan untuk menciptakan solidaritas social dan merawat nilai – nilai kemanusiaan. Didalam nilai kebersamaan itu, pada hakikatnya, setiap individu memperkuat ikatan sosialnya sekaligus meneguhkan bahwa masing – masing orang merupakan bagian integral dari masyarakat atau komunitas. Di sini setiap individu melakukan pemaknaan social, baik yang terkait dengan diri sendiri maupun terkait dengan orang lain. Selain itu, setiap individu juga melakukan pemaknaan cultural: mereka melakukan dan konfirmasi dan peneguhan (istilah Umar Kayam) atas nilai – nilai ideal yang disepakati bersama.

Siapakah pembunuh kultur tatap muka? Kita bisa mengajukan pragmatimse, sebagai terdakwa. Menurut budayawan Kuntowijoyo, pragmatism berasal dari bahasa latin pragmaticus: praktis, aktif, sibuk; bahasa Yunani pragma berarti bisnis. Filsafat Pragmatisme tumbuh di Amerika Serikat; ditumbuhkan oleh William James (1842 - 1910) melalui buku pragmatism. Pokok ajaran (pragmatism) ini adalah sebuah kepercayaan itu dinilai benar jika berguna. Ukuran dari kebenaran ialah apakah suatu kepercayaan dapat mengantarkan orang kepada tujuan. Pragmatism menolak pandangan tentang kebenaran kaum rasionalis dan idealis, yang tidak berguna dalam kehidupan praktis (Kuntowijaya : 2005).

Pragmatisme menemukan ruang aktualisasi yang luas bersama dengan semakin menguatnya kapitalisme. Kata – kata kunci dalam kapitalisme adalah: praktis, pragmatis, efektif, dan efeisien. Ketika semua orang tanpa reserve mengimanai materialism, maka “nilai – guna” (yang disodorkan pragmatisme) menjadi pilihan paripurna. Kepentingan – kepentingan jangka pendek menjadi pilihan yang harus diambil untuk survive. Apapun, apapun dilakukan demi pereolehan yang dicapai secara instan itu. Segala hal yang tidak “cepat saji” atau “cepat raup” ditolak tanpa permisi dan basa – basi.

Di mata pragmatism, kultur tatap muka dianggap bukan sebagai “kebenaran” karena tidak memiliki guna (mendatangkan hasil secara langsung). Prinsip orang, kudu mikolehi (harus mendapat keuntungan secara konkret atau keuntungan secara cepat raup). Bertabrakan dengan prinsip – prinsip cultural dalam budaya tatap muka; perawatan atau pengukuhan nilai, solidaritas social dan lainnya, bagi orang pragmatis, nilai – nilai itu terlalu abstrak dan “tidak bisa dimasak menjadi nasi” (orang jawa bilang ora biso diliwet).

Kapitalis bergandengan tangan dengan pragmatism telah sukses “mengubur” idealism secara hidup – hidup. Ini terbukti, pragmatism laku dimana – mana: ya bidang politik, ya bidang agama, ya hokum, ya ekonomi, ya pendidikan, komplet. Akibatnya, terjadi humanisasi karena kekuatan modal beroperasi tanpa control, termasuk control dari Negara. Behkan Negara cenderung berposisi sebagai “panitia pasar bebas” yang diciptakan dan dibangun kapitalisme.

Kultur tatap muka, yang salah satu tujuannya, adalah merawat kemanusiaan dari bahaya robotisasi manusia yang diciptakan industrialism juga makin tenggelam ke dalam dasar degradasi manusia. Dalam setiap pertemuan yang cenderung muncul bukan manusia, melainkan actor – actor yang bernama fungsi atau guna. Manusia cenderung tereduksi menjadi sekedar fungsi di berbagai bidang kehidupan. Siapapun yang berupaya merebut kemanusiaannya, mereka akan di cap sok idealis, keras kepala, tidak realistis, jadul ( zaman dulu, kuno ) dan olok – olok lain. Mungkin masyarakat sekarang tidak lagi butuh budaya tatap muka, melainkan tatap fungsi, tatap guna, tatap hasil, tatap upah.

Gelombang Fundamentalisme


Sebuah kekhawatiran yang muncul di tengah-tengah meluasnya arus-arus demokratisasi di dalam komunitas agama-agama, baik di negara berkembang maupun di negara maju sekalipun yaitu gelombang fundamentalisme. Indonesia dan Malaysia harus diakui bahwa keduanya sedang menghadapi tumbuhnya fundamentalisme.

Setidaknya fenomena tersebut dibuktikan oleh dua hal penting: Pertama, menguatnya sayap Islam Politik, yaitu partai atau gerakan keagamaan yang ingin memasukkan Islam dalam kurikulum politik kebangsaan dan kenegaraan. Fakta tersebut sebenarnya bukanlah hal baru, karena partai-partai Islam sudah ada sejak lama. PAS di Malaysia dan Masyumi, PPP, belakangan PKS mengusung "islamisasi negara" dengan mengatasnamakan Piagam Madinah.

Kedua, menguatnya kecenderungan kelompok-kelompok radikal yang mengusung kekerasan sebagai salah satu inti gerakannya. Khususnya kekerasan dalam menyikapi perbedaan dan keragaman. Kabar tentang penutupan gereja oleh kelompok yang mengatasnamakan doktrin keagamaan tertentu merupakan fakta yang tidak bisa dihindarkan begitu saja. Cara pandang terhadap “yang lain” masih terlihat hitam dan putih, sehingga yang dikedepankan hanya perlawanan dengan menggunakan kekerasan. Bahkan tak tanggung-tanggung, ada gerakan keagamaan yang memurtadkan kelompok yang lain.

Lalu pertanyaannya, kenapa fenomena tersebut terus berkembang, padahal konstitusi kedua negara tersebut sejak awal mengakui sebagai secular democratic constitution? Apa yang mesti dilakukan kalangan muda untuk membangun demokrasi di kedua negara tersebut?

Alasan utama yang tidak bisa dimungkiri, bahwa agama dan negara dua hal yang sulit dipisahkan. Di samping, lemahnya pendidikan demokrasi atau kewarganegaraan di komunitas agama-agama. Artinya, demokrasi bisa masuk dalam ranah negara, tapi dalam ranah agama, seperti tempat-tempat ibadah, demokrasi kadangkala masih dianggap tabu, bahkan belakangan dianggap “barang haram”.

Oleh karena itu, gelombang fundamentalisme di kedua negara ini sulit dihindarkan. Karen Armstrong (2000), pakar sejarah agama-agama secara tegas mengabarkan bahwa fundamentalisme adalah warisan yang inheren dan absah dalam tradisi agama-agama, khususnya agama semitik. Yahudi, Kristen dan Islam sama-sama mempunyai pengalaman dan tradisi fundamentalisme. Karena itu, menguatnya arus fundamentalisme agama-agama di belahan dunia meruntuhkan pelbagai macam tesis dan pandangan. Kemodernan yang dianggap akan dapat menggeser posisi fundamentalisme, tapi pada akhirnya harus menerima fundamentalisme sebagai fakta sosial. Bahkan boleh dibilang, bahwa posisi fundamentalisme dan kemodernan bersifat sejajar.

Mahmood Mamdani, dalam wawancaranya dengan Asia Source, bahwa fundamentalisme adalah fenomena kultural yang melanda agama-agama. Fundamentalisme dalam tradisi Kristen di Amerika, misalnya merupakan sebuah perlawanan atas mereka yang ingin “menyimpang” dari doktrin dan teks keagamaan. Begitu pula Fundamentalisme dalam tradisi Islam juga merupakan upaya untuk mempertahankan sejarah, doktrin dan teks keagamaan. Oleh karena itu, fundamentalisme adalah fenomena historis.

Namun, satu hal yang perlu mendapat perhatian bersama, bahwa fundamentalisme sebagai fenomena historis mengalami perkembangan yang menurut Mahmood harus mendapatkan sebuah apresiasi dan sikap kritis. Dr. Muhammad Imarah (1999) melakukan kritik yang mendasar, terutama bagi mereka yang mencoba mencampuradukkan antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Kristen. Pada mulanya, fundamentalisme dalam tradisi Islam adalah upaya untuk menggali dan bahkan mengembangkan dasar-dasar keagamaan, sebagaimana terdapat dalam khazanah Ushul Fikih. Bagi mereka yang memahami khazanah Ushul Fikih dengan baik, maka Islam akan berwajah progresif. Tapi sebaliknya, bagi mereka yang mendekati teks dan doktrin keagamaan tanpa melalui media Ushul Fikih, maka kemungkinan akan menjadi fundamentalis yang radikal, bahkan teroristik.

Kenyataan ini sesungguhnya menunjukkan adanya keragaman fundamentalisme. Penulis sendiri membagi fundamentalisme dalam dua hal: Pertama, fundamentalisme positif, yaitu fundamentalisme yang menjadikan teks dan tradisi keagamaan sebagai sumber moral dan etika kemaslahatan publik. Kedua, fundamentalisme negatif, yaitu fundamentalisme yang menjadikan teks dan tradisi sebagai sumber dan justifikasi atas kekerasan.

Oleh karena itu, fundamentalisme dalam tradisi Islam sekalipun tidaklah statis dan tidaklah monolitik. Untuk melihat keragaman corak fundamentalisme dalam tradisi Islam bisa dilihat dari keragaman aliran, mazhab, institusi dan tradisinya. Dengan demikian, pandangan Muhammad Imarah dengan mudah dapat dipatahkan, karena melihat fundamentalisme Islam secara doktrinal saja tidak cukup dan cenderung menyederhanakan masalah. Apalagi hanya melihat fundamentalisme dari sisi positifnya dan tanpa melihat sisi-sisi negatif (madharrat) di balik fundamentalisme. Pandangan Muhammad Imarah bahkan bisa dianggap terlalu apologetik.

Sisi negatif yang mulai kentara dari fundamentalisme adalah pergeseran ranah fundamentalisme dari ranah privat menuju ranah publik. Artinya, bila selama ini fundamentalisme agama-agama hanya berkutat dalam kaitan umat dengan teks, maka fundamentalisme mutakhir bergulat dengan politik praktis. Fundamentalisme digunakan sebagai kendaraan untuk merengkuh panggung politik dan mengamini kekuasaan. Mahmood Mamdani (2005) menegaskan, bahwa salah satu fenomena fundamentalisme di era modern adalah kecenderungan politik. Bahkan dengan tegas, Mahmood tidak mau menggunakan istilah “fundamentalisme”. Menurut dia, mereka bukanlah fundamentalis, melainkan gerakan radikal-politis.

Jim Wallis dalam bukunya God’s Politics: A New Vision for Faith and Politics in Amerika menunjukkan wajah baru perselingkuhan antara agama dan politik di negara yang super-demokratis sekalipun. Kalangan kanan-konservatif ditengarai telah menyokong salah satu kepentingan politik tertentu.

Nah, fundamentalisme dan radikalisme merupakan fenomena yang tidak terhindarkan, apalagi di Malaysia dan Indonesia. Dalam hal ini perlu pembacaan kritis atas hal ini. Pembacaan kritis tersebut harus dilakukan dalam dua level sekaligus; Pertama pada level kalangan progresif dan kedua pada level kalangan fundamentalis. Kritik pada kalangan progresif harus dilakukan, karena tumbuhnya fundamentalisme di kedua negara ini disebabkan kurang maksimalnya gerakan progresif. Gerakan progresif di Turki dan Pakistan barangkali lebih mempunyai keberanian dan target sasaran yang jelas. Sedangkan di Malaysia dan Indonesia, menurut Farish A. Noor, tidak memiliki agenda terhadap demokratisasi. Gerakan progresif tidak lebih dari sekadar justifikasi ideologi politik dan pembangunan (2004:2)

Pada level kalangan fundamentalis setidaknya dilakukan dua hal penting: Pertama, kalangan agamawan dari pelbagai agama harus memahami betul fungsi dan posisi agama di tengah-tengah masyarakat. Artinya, kalangan agamawan harus mengembalikan agama kepada khitahnya, yaitu sebagai pembawa obor bagi keadilan dan kesejahteraan sosial. Hal-hal yang hanya menimbulkan kontroversi yang tidak efektif sebaiknya dihindarkan.

Kedua, kalangan agamawan dari pelbagai agama harus mendorong lahirnya gerakan bersama untuk kemanusiaan. Pluralitas adalah sunnatullah yang sejatinya dibingkai dalam kerangka kemaslahatan publik, tanpa harus membatasi pada kepentingan yang bersifat sektarian. Puncaknya, pluralitas harus mampu mendelegitimasi kekerasan yang mengatasnamakan agama apapun.

Kedua hal inilah setidaknya yang akan mampu menetralisir fundamentalisme agama-agama dan mengambilalih peran agama untuk tujuan kemanusiaan dan keadilan sosial. Tapi, harus diakui bahwa untuk mewujudkan hal tersebut tidak semudah membalikkan kedua belah tangan, karena fundamentalisme makin lama makin memperlihatkan kekuatannya. Munculnya sejumlah fatwa yang kontraproduktif dengan kebersamaan dan kemanusiaan setidaknya juga menjadi tanda menguatnya fundamentalisme negatif tadi. Oleh karena itu, wajah keberagamaan yang humanis perlu dikedepankan dalam rangka membangun demokratisasi yang mulai mekar dan tumbuh dengan baik.

MANAGING IN A TIME OF GREAT CHANGE


Perubahan yang tak bisa dielakan dan harus oleh para eksekutif untuk zaman ini adalah menciptakan peluang masa depan. Beberapa futurolog yang memiliki ketetapan tinggi telah mencoba menilai kemandekan ekonomi kita. Tetapi apakah prediksi dari segilintir pakar yang telah meramalkan keterpurukan ekonomi dunia di dengarkan? Ataukah karena kita terbuai oleh gebyar – gebyar kehebatan semu ekonomi kita sehingga kita menggapnya angin lalu?

Sepuluh tahun lalu tak pernah terbayangkan pertumbuhan ekonomi yang marak di daratan cina dan Asia Tenggra. Taj pernah terbayangkan munculnya 55 juta orang Cina perantuan sebagai adidaya ekonomi baru. Sepuluh tahun silam tak pernah terbayangkan betapa hebatnya teknologi informasi dapat mendukung bisnis untuk model akuntansi yang di pakai oleh para “penghitung uang”.

Kita tidak dapat membuat keputusan untuk masa depan. Tindakan keputusan selalu di lakukan sekarang. Tetapi tindakan ini merupakan satu – satunya cara untuk menciptakan masa depan.

Dimulai dari tindakan eksekutif, yaitu tugas manajemen. Apakah praktek – praktek yang telah dilakukan selama hampir empat puluh tahun ini bisa dipakai untuk zaman ini yang di tandai dengan aneka perubahan, khususnya perubahan di bidang informasi.

Pada tahun 1940-an muncul teknik – teknik manajemen baru sebanyak sekarang, yaitu downsizing, outsourcing, benchmarking, dan re-enginering. Sarana tersebut menunjukkan “cara mengerjakannya”.

Sedangkan apa yang di kerjakan semakin menjadi tantangan manajemen. Banyak perusahaan yang pada masa lalu menjadi superstar, tapi kemudian frustasi dan akhirnya stagnan. Terjadinya krisis bukan karena pengerjaan yang buruk, tapi karena yang benar di kerjakan tanpa membawa hasil.

Setiap organisasi tentu mempunyai teori bisnis. Contoh, pada tahun 1970, George Siemens pendiri dan CEO Deutsche Bank, mempunyai teori: menggunakan dana perusahaan untuk menyatukan Jerman yang masih terdiri dari banyak districk dan terpecah –pecah, melalui pengembangan industry. Kenyataannya, mereka kena terjang malaise, karena teori bisnis mereka tidak dapat di jalankan lagi.

Ketika organisasi besar mempunyai masalah, banyak penyebab yang di lontarkan. Antara lain Karena ceroboh, puas diri dan terlibat birokrasi yang Arogan.

Contohnya, kita lihat pada masa awal munculnya computer, IBM begitu yakin bahwa computer akan sejalan dengan perkembangan elektronika. Masa depan akan berada di stasiun pusat berupa mainframe yang luar biasa kekuatannya sehingga pengguna jasa bisa menghubungkan diri. Tiba – tiba muncul penemuan computer pribadi (PC). IBM segera menerima PC sebagai realita baru dan ia menjelma sebagai pencipta PC terbesar di dunia. Walaupun luwes, lincah, dan sederhana, IBM pun akhirnya berjalan dengan terseok – seok. Kasus ini sama juga di alami oleh General Motor, milik Rose Perot.

Rose Perot menangguk laba besar dari Electronik Data System. Ia juga membeli Hughes Elektronik yang semula bangkrut dan menyulapnya menjadi “mesin uang” karena ia sekaligus berkecimpung dalam bidang kontraktor pertahanan dan non pertahanan juga. Ia mau membayar lebih karena perusahaan yang di caplok sudah jenuh dan pada akhirnya mendatangkan untung kembali. Tapi di tengah keberhasilannya GM, tidak menyadari kegagalan yang terjadi pada dirinya sendiri. Kebijakan dan praktik serta perilaku yang telah di jalankan selama beberapa dasawarsa tak bisa lagi di jalankan oleh organisasinya.

Kami Seniman Jalanan


Namaku Erros. Bukan Erros Sheila on 7, tapi Erros. Hanya Erros. Aku bukan siapa-siapa. Aku terlahir sebagai seorang anak jalanan. Ibuku membuangku di jalanan ketika aku masih bayi. Aku ditemukan dan dirawat oleh sebuah keluarga miskin. Sejak itu sampai sekarang aku berumur 16 tahun, aku tidak pernah tahu siapa ibuku dan mengapa aku dibuang. Ketika usiaku 7 tahun, orangtua angkatku meninggal karena sakit dan terpaksa aku hidup sendiri. Namun nasib membawaku bertemu dengan Bedu. Beberapa lama kemudian kami bertemu dengan Ita, seorang gadis yang juga anak jalanan. Dengan latar belakang kehidupan yang sama kami pun jadi sahabat yang tidak terpisahkan. Sebagai anak jalanan kami tidak punya orang tua yang membiayai hidup kami. Kami hanya bisa bernyanyi di pinggir jalan sambil menunggu orang-orang lewat yang berbaik hati kepada kami. Kami tidak pernah mau mencuri. Meskipun lapar kami tetap bertahan menunggu keberuntungan. Melalui tulisan ini aku ingin menceritakan sepenggal kisahku bersama dengan kedua temanku ini, khususnya Bedu, sahabatku sejak aku masih kecil.

Masyarakat menyebut kami pengamen. Tidak. Kami bukan pengamen, kami adalah seniman jalanan yang tidak mendapat kesempatan seperti seniman-seniman lainnya. Hal itu selalu dikatakan oleh Bedu kepada orang-orang yang meremehkan kami. Meski hanya bermodalkan gitar murahan yang sudah kumal, drum mini yang kami kumpulkan satu persatu dari drum yang telah rusak dan dibuang, juga suara-suara yang pas-pasan, kami tetap melantunkan lirik-lirik indah ciptaan kami dengan penuh penghayatan. Itulah mengapa Bedu menyebut diri kami seniman jalanan. Bedu seorang yang ceria dan tak pernah merasa putus asa. Ia yang selalu membangkitkan semangat kami ketika kami kelaparan dan tidak punya uang. Ia juga yang mengajari aku dan Ita bermusik. Kalau bukan karena dia, mungkin kami sudah menjadi pengamen yang harus setor kesana kemari. Namun, kenangan indah kami bersama Bedu hanya dapat kami ukir sampai saat itu. Ya, hanya sampai saat itu.

Malam itu dingin dan kelam. Bulan purnama memantulkan sinarnya dengan indah menambah indahnya malam. Begitu sunyi sampai hanya suara kucing liar dan nyanyian jangkrik yang terdengar di telinga kami. Kami bertiga tidur bersama hanya dengan beralaskan sarung bekas yang telah usang di sebuah rumah kecil yang beratapkan seng. Rumah kecil itu kumuh namun menyimpan begitu banyak kenangan selama 9 tahun hidup kami bersama. Di salah satu sudut dinding kayu, terpajang sebuah gambar buatanku menggambarkan tiga orang anak sedang bergandengan dan bernyanyi riang. Mereka adalah kami. Di tengah keheningan malam Bedu membuka pembicaraan.

“Ros, Ta, apakah kau berdua masih tidur?” tanya Bedu pelan.

“Eng… kenapa kamu Du?” tanya Ita balik, ternyata ia belum tidur.

“Ros.”

“Ros!” panggil Ita sambil mengguncangkan tubuhku.

“Uuh… ada apa Ta? Gue lagi tidur nih!” gerutuku kesal.

“Itu… Bedu.”

“Eh… kenapa Du?”

“Mm… begini. Aku cuma ingin tanya pada kau berdua,” kata Bedu.

Wajah Bedu terlihat agak pucat. Perkataannya terdengar seperti ia ingin berbicara mengenai hal serius. Jarang sekali aku dan Ita melihat wajah Bedu seperti itu. Kami berdua pun bangun untuk mendengarkan lebih serius. Bedu juga bangun dan kami duduk membentuk sebuah lingkaran kecil.

“Kita sahabat kan? Kita akan terus bersama bukan?” tanya Bedu sambil melihat wajahku dan Ita bergantian seakan menuntut jawaban secepatnya.

“Tentu saja Du. Sudah 9 tahun kita bersama, bertiga di bawah atap seng ini tentu kita sahabat dan akan selalu bersama,” jawab Ita lembut.

“Ita benar. Kita sahabat dan akan selalu bersama. Gue, elo, Ita. Kita ini tiga sahabat. Nggak akan ada yang bisa misahin kita,” kataku.

“Aku sayang kau berdua, Ros, Ta,” kata Bedu. Ia lalu memeluk kami berdua.

“Kita juga sayang kamu kok Du.”

“Iya, gue sayang elo semua.”

Di tengah sunyinya malam, angin bertiup cukup keras mengguncang rumah kecil kami. Perlahan gambar lukisanku terlepas dari dinding dan terjatuh.

Keesokan harinya kami bertiga bernyanyi di sebuah perempatan jalan. Saat itu jalanan ramai dengan pejalan kaki, tidak seperti biasanya. Hatiku serasa ada yang mengganjal. Apalagi sejak perbincangan malam sebelumnya. Sambil bermain gitar aku melihat ke sekitarku. Kulihat beberapa anak jalanan yang memang dari dulu sangat memusuhi kami. Mereka tidak menyukai kami karena kami tidak ingin bergabung dengan mereka. Tentu kami tidak mau, karena kegiatan mereka sehari-harinya adalah mencuri. Terkesan naif sekali bagi anak-anak seperti kami, tapi inilah pilihan yang kami jalani. Kuputuskan untuk menghiraukan mereka. Sepertinya hari ini mereka tidak akan mengganggu kami. Begitu pikirku saat itu. Ternyata dugaanku salah.

Tidak lama kemudian, diantara pejalan kaki yang baru saja memberikan sumbangannya kepada kami berteriak histeris.

“Kyaaa!! Dompet saya hilang!!!” teriaknya sampai seluruh pejalan kaki mengarahkan pandangannya ke arah asal suara ibu tersebut.

Saat itu Ita sedang memungut sebuah dompet yang tergeletak dekat dengan topi yang sengaja ia letakkan untuk menaruh uang saweran. Ibu itu celingukan mencari dompetnya. Saat itulah malapetaka itu terjadi. Seorang anak jalanan yang bernama Obet berteriak lantang.

“EH!! COPET!!” teriaknya sambil menunjuk ke arah Ita.

Orang-orang yang berada di perempatan kali ini mengarahkan pandangannya kepada kami.

“Ah! ITU DOMPET SAYAA!!” teriak ibu itu.

“Eh, copet. Copet!” teriak orang-orang di sekitarnya.

“Bukan!! Aku bukan copet!! Ini saya temukan di dekat topi saya,” jelas Ita sambil sedikit terisak.

“Masih berani bohong!”

Beberapa orang mulai mengerumuni kami dan mencoba untuk menghakimi Ita. Dengan sigap Bedu menarik Ita menjauh dari kerumunan sedangkan aku mengambil dompet dari tangan Ita dan melemparkannya ke arah kerumunan orang-orang.

“LARI!!!” teriakku dan Bedu bersamaan.

Kami bertiga berlari meninggalkan perempatan. Drum dan topi saweran kami tinggalkan dan hanya gitar murahanku yang bisa kami bawa. Dari kejauhan kulihat anak jalanan itu mengambil uang saweran dan menyimpannya dalam saku celanannya. Ia lalu tersenyum ke arah kami, senyum licik penuh kemenangan palsu. Dengan tatapan penuh dendam rasanya ingin sekali saat itu aku menusuknya dengan belati berkarat. Kuurungkan niatku dan terus berlari. Saat itu aku menabrak seorang bapak-bapak dan aku terjatuh. Gitarku terpental jauh ke belakang. Bedu yang melihat itu reflek segera berbalik dan mengambil gitar tersebut, namun orang-orang yang mengejar kami sudah sangat dekat. Ia melemparkan gitar itu kepadaku.

“ERROS!!! AMBIL GITARNYA! LARII!” teriak Bedu.

Aku segera mengambil gitar itu dan berlari. Kulihat Bedu telah terkepung oleh orang-orang yang mengejar kami. Bersamaan mereka memukul Bedu yang hanya mampu berlindung sambil menerima dengan pasrah pukulan-pukulan yang menghujam tubuhnya. Saat itu aku melihat salah satu kawanan Obet membawa sebuah pisau berkarat dan di tengah hiruk pikuk itu ia menghujamkan pisau ke arah jantung Bedu. Darah pun muncrat berceceran. Sedangkan kawanan Obet itu telah keluar dari kerumunan orang-orang dan segera melarikan diri. Aku segera mengejar salah satu kawanan Obet itu sementara orang-orang berhenti memukuli Bedu dan satu per satu mereka pergi meninggalkan Bedu seakan-akan tak terjadi apa-apa. Ita yang sudah berada jauh dari kami segera berlari menuju tubuh Bedu yang tergeletak tidak berdaya. Sementara itu aku terus mengejar kawanan Obet itu yang setelah kuamati ternyata bernama Sogi. Gerakannya sangat lincah, mungkin kebiasaannya mencuri yang membuatnya seperti itu. Di tengah kerumunan orang-orang ia terus meliuk-liuk melewati banyak orang. Aku tak sanggup lagi mengejarnya. Aku sudah tertinggal jauh. Dengan kesal aku berteriak lantang.

“BERENGSEK KAU SOGI!!!!!!!!” teriakku.

Dalam keadaan kesal aku berlari kembali menuju Bedu dan Ita. Ita terlihat sedang menangis sambil memeluk tubuh Obet. Orang-orang terlihat tidak peduli dan berjalan seakan Bedu hanyalah seekor kucing yang mati terlindas mobil. Aku segera mencoba untuk menelepon ambulans. Aku lalu meminta bantuan kepada orang-orang disekitar, namun mereka tampak tidak ingin telibat dalam masalah ini. Dalam hati aku memaki mereka. Seperti inilah wajah masyarakat kita, mereka tega membiarkan orang menderita karena tidak ingin terlibat masalah. Aku tak lagi mengharapkan bantuan dari orang-orang picik seperti mereka, aku hanya bisa berharap dan berdoa supaya ambulans cepat datang. Sementara itu Ita sedang mencoba memberikan pertolongan pertama. Aku hanya mampu melihat mereka. Tak lama kemudian ambulans datang dan segera memberi pertolongan pertama. Ia segera dibawa ke rumah sakit, aku dan Ita mendampinginya. Selama perjalanan Ita terus menangis sambil menggenggam tangan Bedu. Perlahan Bedu sadar dan di sela-sela penderitaan Bedu, Bedu menyampaikan pesan terakhirnya pada kami. Ia melepaskan genggaman Ita. Ia lalu menunjuk dirinya, membentuk sebuah lambang cinta dengan kedua tangannya dan menunjuk kepadaku dan Ita. Namun memang nasib tak berpihak pada kami. Sesaat setelah Bedu menyampaikan pesannya itu, Bedu menghembuskan nafas terakhirnya di mobil ambulans.

Jenasah Bedu telah dibersihkan dan dikembalikan kepada kami. Kami yang memang tidak memilki apa-apa hanya bisa menguburkan Bedu secara sederhana di samping rumah kami. Yang dapat kami lakukan hanyalah membuat nisan seindah mungkin dengan potongan kayu dan tripleks bekas. Ke dalam kuburnya kutinggalkan kalung salib milikku dan kitab suci juga gambar yang kulukis. Sedangkan Ita meninggalkan sebuah Rosario miliknya. Ita tidak lagi menangis, namun matanya masih sembab akibat menangis semalaman. Wajahnya masih menunjukkan kesedihan yang sangat mendalam. Begitu pula aku. Kesedihanku memang tidak terlihat dari wajah, tapi aku merasakan rasa sesak yang tak biasa di hatiku. Ini bukan rasa kesal, ini adalah rasa sesal dihatiku karena aku telah membiarkan sahabatku meninggal didepan mataku. Seandainya saja aku lebih hati-hati terhadap kawanan Obet, Bedu pasti masih ada disini bercanda dan bernyanyi bersama.

Lima tahun telah berlalu sejak kematian Bedu. Aku dan Ita sudah lama sekali bisa membiasakan diri tanpa keberadaan Bedu. Kami tidak melupakannya. Bedu tetap ada di hati kami, melindungi kami. Sekarang aku dan Ita masih tinggal di rumah yang sama, namun rumah itu telah kami perbesar karena saat ini bukan hanya aku dan Ita yang tinggal di sana. Beberapa anak yang terbuang seperti kami, kami ajak tinggal bersama. Beruntunglah ada orang baik yang memberikan bantuan kepada kami sehingga kami bisa membangun sebuah rumah yang cukup layak untuk kami tinggali. Yang aku tahu, ia adalah seorang aktifis sosial. Ia tidak pernah memberitahukan namanya, ia hanya meminta kami menyebutnya Pak De.

Aku bersama Ita dan beberapa anak jalanan yang telah tinggal bersama kami, masih terus bernyanyi di perempatan jalan, namun di kota yang berbeda. Aku dan Ita memutuskan untuk pindah tempat kerja kami karena di tempat kami yang dulu telah direbut oleh kawanan Obet. Kami tidak ingin mencari masalah dengan mereka. Meski Bedu telah pergi, semangatnya telah tertanam pada diri kami. Aku selalu meneriakkan kata-katanya sebelum mulai bernyanyi.

“Selamat siang semua! Kami disini bukan untuk mengamen karena kami bukanlah pengamen. Kami adalah seniman jalanan yang akan terus mempersembahkan lagu ciptaan kami untuk semua. Terimakasih!!”