Sabtu, 13 Juni 2009

MELIHAT LEBIH JAUH

Ada dua kisah nyata inspiratif yang akan saya adaptasi. Pertama tentang seorang tukang pipa (plumber). Alkisah, bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman sedang pusing karena pipa keran airnya bocor, ia takut anaknya yang masih kecil terjatuh. Setelah bertanya ke sana-kemari, ditemukan seorang tukang terbaik. Melalui pembicaraan telepon, sang tukang menjanjikan dua hari lagi untuk memperbaiki pipa keran sang bos. Esoknya, sang tukang justru menelepon sang bos dan mengucapkan terima kasih. Sang bos sedikit bingung. Sang tukang menjelaskan, ia berterima kasih sebab sang bos telah mau memakai jasanya dan bersedia menunggunya sehari lagi. Pada hari yang ditentukan, sang tukang bekerja dan bereslah tugasnya, lalu menerima upah. Dua minggu kemudian, sang tukang kembali menelepon sang bos dan menanyakan apakah keran pipa airnya beres. Namun, ia juga kembali mengucapkan terima kasih atas kesediaan sang bos memakai jasanya. Sebagai catatan, sang tukang tidak tahu bahwa kliennya itu adalah bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman. Cerita belum tamat. Sang bos demikian terkesan dengan sang tukang dan akhirnya merekrutnya. Tukang itu bernama Christopher L Jr dan kini menjabat GM Customer Satisfaction & Public Relation Mercedes Benz. Dalam sebuah wawancara, Christopher menjawab, ia melakukan semua itu bukan sekadar tuntutan after sales service atas jasanya sebagai plumber. Jauh lebih penting, ia selalu yakin tugas utamanya bukanlah memperbaiki pipa bocor, tetapi keselamatan dan kenyamanan orang yang memakai jasanya. Christopher melihat lebih jauh dari tugasnya.

Kisah lain. Ada juga kisah dari teman saya, James Gwee, tentang Mr Lim yang sudah tua dan bekerja ”hanya” sebagai door checker (memeriksa engsel pintu kamar hotel) di sebuah hotel berbintang lima di Singapura. Puluhan tahun ia jalankan pekerjaan membosankan itu dengan sungguh- sungguh, tekun, dan sebaik-baiknya. Ketika ditanya apakah ia tak bosan dengan pekerjaan menjemukan itu, Mr Lim mengatakan, yang bertanya adalah orang yang tidak mengerti tugasnya. Bagi Mr Lim, tugas utamanya bukanlah memeriksa engsel pintu, tetapi memastikan keselamatan dan menjaga nyawa para tamu. Dijelaskan, mayoritas tamu hotelnya adalah manajer senior dan top manajemen. Jika terjadi kebakaran dan ada engsel pintu yang macet, nyawa seorang manajer senior taruhannya. Jika ia meninggal, sebagai decision maker, perusahaannya akan menderita. Jika perusahaannya menderita dan misalnya bangkrut, sekian ribu karyawannya akan menderita. Belum lagi keluarganya, termasuk anak istri manajer itu.

Demikian jauh pandangan Mr Lim, dan ia bukan sekadar door checker. Beberapa pelajaran Christopher L Jr dan Mr Lim relatif manusia sejenis. Keduanya bukan kelas manusia sedang atau biasa (good people). Mereka jenis ”manusia besar atau manusia berlebih” (great people) meski jabatan atau pekerjaan formal di suatu saat demikian ”rendah dan biasa saja”. Sikap mental mereka jauh lebih tinggi dari jabatan dan pekerjaan formalnya.

Dua kisah itu memberikan beberapa pelajaran berharga. Pertama, untuk menjadi manusia besar tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan teknis seseorang mengerjakan tugasnya. Kemampuan dan kompetensi teknis (hard competence) boleh sama atau biasa saja, tetapi sikap mental atau soft competence yang lebih akan menentukan seseorang menjadi manusia besar atau tidak. Kedua, untuk bisa mempunyai soft competence dimaksud, kita perlu berontak dan bangun dari tidur panjang selama ini, keluar dari zona nyaman good. Sebagai manusia minimalis, pekerja atau pemimpin apa adanya (yang penting job description dijalankan), target kerja atau key performance indicator (KPI) tercapai, beres! Itulah tipikal manusia biasa saja. Upaya ini memerlukan pengorbanan diri sebab hanya dengan menjadi good people seperti selama ini saja, toh tak ada yang mengusik kita, tetap bisa bekerja dengan nyaman, dan seterusnya. Maka, pemberontakan untuk bebas dari kondisi good people itu harus dari diri sendiri dulu. Ingat petuah Jim Collins, good is the enemy of great. Ketiga, langkah lebih konkret selanjutnya adalah sikap mental untuk ”melihat lebih”! Christopher L Jr plumber yang ingin memastikan kliennya nyaman dan selamat. Mr Lim door checker yang ingin menjamin tamu hotelnya terjaga nyawanya dari bahaya kebakaran. Melihat lebih jauh, beyond the job! Keempat, setelah mampu melihat lebih, barulah kita mampu ”memberi lebih” (giving more). Hanya dengan melihat lebih dan memberi lebih, kita mampu menjadi manusia besar yang tidak hanya bekerja sebatas KPI. Kita akan mampu bekerja dengan memberikan key values indicator (KVI), nilai-nilai lebih, mulia, unggul, berguna bagi setiap pengguna atau penikmat hasil kerja kita. Itulah Christopher L Jr dan Mr Lim. Rindu pemimpin besar Betapa bangsa ini rindu seorang pemimpin hasil pemilu yang layak disebut pemimpin besar, great leader. Mereka yang kini sedang giat berkompetisi dan perang iklan dengan saling sorot KPI masing-masing. Perhatikan dengan saksama, maka segenap janji kampanye, termasuk realisasinya, konteksnya masih sebatas pemenuhan KPI. Ini berlaku baik bagi yang masih berkuasa maupun mantan dan juga calon yang baru. Semua bicara tentang KPI kepemimpinan, belum menyentuh KVI kepemimpinan. Para pemimpin dan bahkan kita semua demikian bangga dan terpesona sendiri saat mampu memenuhi ”KPI kehidupan” kita masing-masing, yang biasanya memang bersifat kuantitatif, materiil, dan mudah diukur. Padahal, untuk menjadi great people, great leader, great father, great manager, dan seterusnya, lebih diperlukan kemampuan mempersembahkan ”KVI kehidupan” kita, yang biasanya justru tidak mudah diukur. Bangsa ini sangat memerlukan Christoper L Jr dan Mr Lim sebanyak mungkin dan sesegera mungkin. Sebagai catatan akhir, seorang office boy yang mampu mempersembahkan KVI nilainya tak kalah dengan seorang CEO yang hanya memberikan KPI-nya. Jika kita ”mau” melihat lebih jauh, kita akan ”mampu” melangkah lebih jauh.

Selasa, 02 Juni 2009

Outlier

Ini adalah kenyataan tentang outlier, yaitu orang-orang, pria dan wanita yang melakukan hal – hal di luar kebiasaan. Mereka yang termasuk dalam jenis outlier ini adalah, orang genius, raja bisnis, musisi rock, dan pembuat program perangkat lunak.

Dalam outlier, kita akan menemukan rahasia seorang pengacara hebat, dan juga melihat apa yang memisahkan para pilot terbaik dan pilot yang pernah menabrakkan pesawatnya, dan mencoba untuk mencari tahu kenapa bangsa Asia sangat hebat dalam matematika. Dan dalam menelaah kehidupan orang – orang hebat diantara kita, orang-orang yang memiliki keahlian, bakat, dan motivasi, dalam buku outlier ini, Malcom Gladwell, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sangat salah tentang cara kita menilai sebuah kesuksesan.

Apakah pertanyaan yang selalu kita ajukan tentang orang – orang yang sukses? Kita ingin tahu, seperti apa orang yang sukses itu, kepribadian apa yang mereka miliki, atau seberapa cerdas orang – orang ini, atau gaya hidup seperti apa yang mereka jalani, atau bakat khusus apa yang mereka dapatkan sejak lahir? Dan kita berasumsi bahwa berbagai kualitas pribadi itu yang menjelaskan mengapa individu – individu ini berhasil mencapai puncak kesuksesan.

Dalam outobiografi yang diterbitkan setiap tahunnya oleh para milyuner / pengusaha / bintang rock / selebriti, benang merah ceritanya selalu sama; pahlawan kita dilahirkan dalam kehidupan yang sederhana dank arena kegigihan serta bakatnya, dia mampu meraih kesuksesan.

Pada sejumlah novel terkenal dari abad kesembilan belas karya Horatio Alger, anak – anak laki – laki dilahirkan dalam keadaaan keluarga miskin menjadi orang kaya melalui kombinasi keberanian dan inisiatif. “Kupikir secara keseluruhan, ini adalah sebuah kerugian,” ujar Jeb Bush tentang apa artinya menjadi putra Presiden Amerika Serikat, adik Presiden AS berikutnya dan cucu seorang bankir Wall Street yang kaya raya serta Senator AS terhadap karier bisnisnya. Saat ikut dalam pemilihan gubernur Florida, dia berulang kali menyebut dirinya sebagai “orang yang berhasil dengan usaha sendiri,” dan hal itu mewakili bagaimana kita menghubungkan kesuksesan dengan usaha yang dilakukan seseorang, dimana istilah ini kadang – kadang dianggap miring oleh beberpa orang.

“Angkat Kepalamu,” ujar Robert Winthrop kepada khalayak banyak saat meresmikan patung pahlawan kemerdekaan AS, Benjamin Franklin, “dan lihatlah gambaran orang yang bangkit dari nol, yang kesuksesannya bukan didapatkan dari orang tua atau dukunga orang lain, yang tidak menikmati keuntungan akan pendidikan awal yang ratusan kali terbuka bagi kita, yang khalayak melakukan pekerjaan besara dalam berbagai bisnis yang dijalananinnya, tetapi hidup untuk menentang para Raja dan gugur dengan meninggalkan nama yang tidak akan dilupakan seluruh dunia.”

Senin, 01 Juni 2009

Pancasila Sebagai Ideologi

Weltanschauung ist nicht ein Wissen, sonder sie offen sich in Wertungen, Lebengstaltung, Schiksal, in der erlebten Rangerdnung der Werte. (Karl Jaspers, Pshychologie der Weltanschauungen)

Jika kita hendak memandang pancasila sebagai ideology atau Weltanschauungen, maka pertanyaan – pertanyaan yang kita hadapi adalah sebagai berikut: bagaimana kedudukannya dalam kehidupan manusia, apa sebabnya pancasila menjadi ideology Negara Indonesia, dimana letak haknya, apa konsekuensi2 dari pancasila sebagai ideology Negara? Deretan pertanyaan2 ini belum habis. Tetapi biarlah rentetan itu saja yang kita pasang.

Istilah ideology berasal dari kata Yunani (Greek) eidos dan logos. Edos yang berasal dari kata kerja mempunyai arti melihat, memandang, berarti gambaran pandangan. Karena memikir itu juga mirip dengan memandang, maka eidos juga berarti pikiran (Idea). Logos disini berubah menjadi logia, berarti kata, pengertian, ucapan,. Kita mengerti kata biologi, fiologi, dan sebagainya; dalam hal ini logi berarti pengertian atau ilmu pengetahuan. Dalam istilah ideology, kata logi tidak menunjuk ilmu pengetahuan. Ideology adalah kesatuan idea2, kesatuan itu dimiliki dengan dan dalam logos atau pengertian. Dalam komposisi istilah itu termuat suatu renungan atau refleksi: istilah itu menyatakan bahwa ada idea –idea dan ada pengertian tentangnya, bahkan bahwa manusia telah berpikir tentang idea2 itu tidak hanya ada secara banyak, melainkan secara kesatuan. Idea2 itu bukanlah sembarangan idea, tetapi idea2 yang mendalam, yang fundamental.

Jika ilmu2 kebudayaan memandang pengertian tentang pertanian yang ada pada bangsa2 primitif, maka pengertian itu tidak akan disebut ideology. Namun disitu terdapat juga idea2 dan kesatuannya.

Sebaliknya, jika kita melihat upacara2 pesta pertanian, maka kita akan berkata pesta itu berdasarkan pada suatu ideology atau pandangan hidup. Sebab, yang menjadi dasar upacara2 itu adalah pikiran tentang hidup, tentang asal – usul rezeki, tentang kedudukan manusia dalam kosmos. Benarlah kata Jaspers bahwa dengan istilah ideology atau pandangan dunia (Weltanschauungen) kita menunjuk das Letzte und das Totale des Menschen.

Dengan ini tampaklah bahwa ideology kita pandang sebagai sesuatu yang baik, bahwa ideology, seperti nanti masih akan tampak, ialah pengertian yang fundamental tentang realitas, bahwa ideology adalah dari realitas ke realitas. Tetapi, dalam sejarah kita mengerti juga bahwa ideology dianggap sebagai khayalan yang tak berguna. Maka itu kita akan melihat lawan kita dulu, yaitu, pendapat yang menyatakan bahwa ideology itu tidak objektif, bahwa ideology itu suatu kebohongan. Demikianlah pendapat dari kalangan Marxisme. Bagi mereka filsafat mereka sendiri bukanlah ideology karena (demikianlah pikiran Marxisme) pandangan mereka itu benar. Lain – lain pandangan adalah salah, tidak menerjemahkan realitas.

Tetapi, mengapakah ideologi2 itu toh dianut? Demikianlah pendapat dari kalangan Marxisme tadi – ideologi2 itu dianut karena menguntungkan. Misalnya, karena Vested Interest. Ingatlah saja, misalnya mitos – mitos yang dikarang untuk mempertahankan kaum bangsawan. Sampai – sampai orang berani mangatakan bahwa asal – usul rajanya adalah dari kedewaan. Menurut pandangan dari kalangan Marxist tersebut banyak ideology berasal dari kaum kapitalis dan untuk kepentingan kapitalisme.

Dengan ini nyatalah bahwa dalam kalangan Marxist ideology digunakan dalam arti peyoratif (jelek). Tetapi, tidak ada alasan sedikitpun yang member arti demikian. Sebaliknya, tidak tepat juga jika istilah ideology hanya dianggap mempunyai arti baik. Sejarah member penyaksian adanya ideology yang jahat, seperti Fascisme, Nazisme, …., dan komunisme sendiri. Hematnya, ideology memiliki arti yang netral. Baik buruknya tergantung dari isinya.

Yang perlu mendapat perhatian adalah munculnya pandangan bahwa ideology dianut karena kepentingan. Menurut pendapat Marxist di atas ideology dianut justru karena hanya kepentingan. Pendapat ini salah, tidaklah benar bahwa tiap2 ideologi dianut karena kepentingan. Pancasila kita, tidak kita anut hanya karena kepentingan, tetapi juga yakin bahwa Pancaila itu benar. Aspek kebenaran dalam soal ideology tidak bisa dimungkiri. Tetapi, memang nyata bahwa dalam prakteknya aspek kebenaran itu tidak begitu disadari. Dalam prakteknya orang menganut ideology karena melihat ideology sebagai cita – cita: ideology merumuskan ideal.

Ketika sebagian dari bangsa Jerman mengorbankan ideology Nazisme, mereka bercita – cita tentang kebenaran ras.

Tiap – tiap ideology sosialistis mencita – citakan kesamaan hak, kesamaan kemakmuran dan bahagaia berdasarkan penikmatan yang sama dan bersama – sama dari kekayaan material di dunia ini.

Catatan diatas kiranya cukup untuk memperlihatkan adanya aspek ideal atau cita2 dalam ideology. Sekarang harus ditambahkan bahwa cita2 itu didasarkan atas pandangan yang asasi. Baiklah kita catat sebentar bahwa asasi disini hanya kita pandang secara relative, artinya menurut penganut ideology yang bersangkutan. Jadi, belum tentu apa yang disebut asasi itu juga betul2 asasi. Dengan ini juga masih kita kesampingan soal benar atau tidaknya pandangan dari suatu ideology.

Dalam tingkat uraian ini hanya dikemukan bahwa ideology memuat pandangan yang dianggap asasi. Menurut ideology Marx misalnya, Manusia seharusnya tidak bernegara. Negara bertentangan dengan hakikat manusia (menurut Marx). Disini pandangan asasi karena mengenal hakikat manusia. Bahwa pandangan ini salah tidak akan kita rembug sekarang. Contoh lain, kita ajukan ideology Nazisme. Menurut ideology ini suatu ras harus menjadi bangsa yang menjadi tuan besar. Lain – lainnya harus menjadi budaknya. Pandangan ini oleh para penganut dianggap asasi. Mereka tidak memandang lebih lanjut. Pandangan itu menjadi landasan politik mereka, tetapi boleh disangsikan anthropo-biologis politis dan sosiologisnya sehingga sukar dikatakan asasi secara objektif., meskipun bagi para penganutnya, yang tidak berfikir tentang hakikat manusia, pandangan itu sudah dianggap fundamental.

Jika kita melepaskan soal tentang benar atau tidanya, betul2 asasi atau tidaknya suatu pandangan (atau kompleks pandangan) yang dijadikan ideology, maka dapat kita rumuskan sebagai berikut; yang disebut ideology adalah suatu kompleks idea2 asasi tentang manusia dan dunia yang dijadikan pedoman dan cita2 hidup.

Rumusan ini berdasarkan fakta sejarah. Dalam sejarah kita menyaksikan bahwa ideology dianut karena manfaatnya, karena efisiensinya. Tetapi, penganutan itu pada prinsipnya juga berdasarkan keyakinan bahwa ideology yang dianut itu benar. Idea2 yang sebagai kompleks sistematis menjadi ideology itu kita katakana: tentang manusia dan dunia. Dalam keterangan ini termuat juga pandangan tentang Tuhan, tentang manusia sesama, tentang hidup dan mati, tentang masyarakat dan Negara, dan sebagainya.

Sesuai dengan tabiat hubungan2 yang diakui itu, suatu ideology bisa bersifat bisa bersifat hanya diesseitig atau diesseitig serta jenseitig.

Komunisme adalah suatu ideology yang hanya diesseitig sebab tidak mengakui Tuhan. Pancasila adalah ideology yang diesseitig serta jenseitig. Diesseitig karena hanya merembug hidup di dunia ini (Demokrasi, Keadilan Sosial); serta jenseitig karena mengakui Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam rumusan diatas kita akui bahwa ideology itu bukanlah hanya pengertian. Ideology adalah prinsip dinamika karena merupakan pedoman atau cita2 (ideal). Ideology berupa pedoman, artinya menajadi pola dan norma hidup, tetapi juga berupa ideal dalam cita2, artinya realisasi dari idea2 yang menjadi ideology itu dipandang sebagai kebesaran, kemuliaan manusia. Dengan melaksanakan ideology manusia juga mengejar keluhuran. Itulah sebabnya manusia juga sanggup mengorbankan hidupnya demi ideology.

Karena ideology itu menjadi pola dan norma hidup dan dikejar pelaksanaannya yang tinggi sebagai ideal, maka tak mengherankan jika ideology bisa menjadi Lebengestaltung, seperti dinyatakan oleh filsuf Jerman yang terkenal Karl Jaspers. Kita tidak perlu berpendapat bahwa dengan mudah saja ideology menjadi Lebengestaltung (bentuk hidup, levensvorm). Semoga dan Semoga Pancasila tetap menjadi Lebengestaltung, sehingga tidak akan pernah terjebak oleh segala paradoksnya.