Jumat, 03 Juli 2009

Toxic Employee

Dalam ilmu biologi, toxic atau racun merupakan suatu zat yang dapat menyebabkan luka, sakit, maupun kematian organisme. Namun ternyata istilah toxic atau racun ini tidak hanya menjangkiti pada tubuh makhluk hidup atau organisme saja, tapi juga bisa menjangkit pada sebuah organisasi atau perusahaan, dan dampak yang timbulkannya pun juga dapat mengakibatkan organisasi tersebut menjadi sakit bahkan mati.

Lalu apakah toxic atau racun yang terdapat dalam organisasi atau di perusahaan ini? Seperti di ketahui bersama, bahwa organisasi atau perusahaan merupakan sebuah lingkungan social yang terbentuk dan terdiri dari para anggota maupun karyawannya yang memiliki tujuan bersama. Oleh karena itu, toxic yang terdapat dalam sebuah organisasi ini, sudah tentu dibawa oleh individu-individu dalam organisasi itu sendiri, atau karyawan dalam sebuah perusahaan. Karyawan semacam inilah yang disebut sebagai Toxic employee oleh Antonio Dio Martin dalam buku terbarunya. Garis polisi ‘dilarang melintas’ berwarna kuning melintang di cover buku tersebut memberikan pemahaman semiotika tentang cara untuk mengenali dan menghadapi karyawan yang telah menjadi toxic dalam perusahaan.

Toxic employee alias karyawan beracun sepertinya terdengar menakutkan bagi pembaca. Anthony terkesan sengaja membangun image menakutkan agar pembaca tertarik membaca buku ini dari awal. Pasalnya, terlambat sedikit saja menangani para toxic employee memang bisa berdampak menakutkan bagi perusahaan. Seperti halnya membiarkan residu kanker berkembang dalam tubuh manusia.

Seperti halnya sifat racun. Racun itu membunuh pelan-pelan tapi pasti. Begitu pula karakter karyawan yang beracun bisa membunuh organisasi secara perlahan-lahan. Toxic employee bisa menjangkit pada siapa-pun orangnya. Karena karayawan yang paling berprestasi pun bisa termasuk kategoti toxic employee, dan sebaliknya seorang karyawan yang bodoh dan pemalas pun belum tentu menjadi seorang toxic employe. Bahkan, bukan tak mungkin seorang pemimpin atau manajer sekalipun juga menjadi seorang toxic leader.

Sesungguhnya, siapa saja karyawan disebut beracun tersebut? Lalu, racun apa saja inidkasinya dan seberapa bahayanya? Dalam bukunya, Anthony membagi cirri-ciri karyawan beracun tersebut menjadi tujuh cirri. Cirri – ciri tersebut adalah: Negaholic dan Pesimis; Menyedot Energi Tim; Menjadi Masalah, bukan solusi; Self Centered; Emosional; Suka Menggosip; dan tidak bisa bersyukur.

Sebagai salah satu contohnya adalah Toxic employee nagaholic dapat diilustrasikan dengan tokoh kartun yang cukup dikenal dengan karakter pesimisnya, Eeyore, si keledai pesimis sahabat winie and the pooh. Saking pesimis dan negative, dengarlah komentar Eeyore terhadap pantulan mukannya sendiri, “Menyedihkan, lihat mukamu.” Menurut Anthony, orang negaholic dan pesimis adalah orang yang selalu mementahkan ide baru tanpa mau memecahkannya terlebih dahulu. Bagi mereka (toxic employee negaholic), bekerja tidak lengkap rasanya tanpa berpikir negative.

Dan salah satu pertanyaan menarik dalam pembahasan masalah toxic employee ini adalah mengenai asal usul si Toxic employee? Oleh Anthonio, asal-usul si Toxic employee ini datang dari ilmu Psikologi yang berdasarkan pada empat theory, yaitu, Theory pertama adalah Theory Nature mengatakan bahwa “kebiasaan buruk” toxic employee ini adalah bagian dari karakter yang sudah terbentuk sejak kecil.

Theory Kedua, teori Nurture mengatakan bahwa toxic employee ini terbentuk dari lingkungannya. Theory ketiga, yakni teori ember kosong, teori ini mengatakan bahwa biasanya mereka- mereka ini adalah orang yang mempunyai pengalaman buruk sehingga outputnya pun menjadi buruk.

Theory Keempat, mengatakan asal-muasal toxic employee adalah dari kondisi yang mendapatkan penguatan (reinforcement). Dengan perilakunya mereka, justru mereka mendapatkan tempat dan perhatian. Itulah sebabnya mereka mempertahankan sikap toxic mereka. Apalagi, jika sikap mereka bisa membuat mereka dipromosikan.

Seperti yang telah disebutkan diatas, efek yang sangat mematikan bisa dihasilkan oleh para toxic employee ini. Sesungguhnya ada banyak hal yang bisa dimatikan oleh mereka. Terutama jika mereka berada diposisi sebagai pimpinan. Mereka bisa mematikan kreativitas, antusiasme kerja juga mematikan etos kerja yang positif. Sebuah pepatah yang bagus mengatakan, “Nothing dies faster than a new idea in a close mind”. Begitulah yang akan terjadi jika ide-ide baru dihadapkan kepada para toxic employee. Mereka mudah mengatakan “tidak mungkin,” “Tidak ada gunanya,” ataupun “Mustahil”. Karena itulah ada pepatah cina lain yang mengatakan, “Jangan menuangkan teh panas ke dalam cangkir dengan teh dingin”, si Toxic employee ini dapat diibaratkan cangkir teh dingin yang sudah tidak memiliki lagi ‘uap’ semangat dan gairah untuk menerima ide yang baru dan inovatif.

Sabtu, 13 Juni 2009

MELIHAT LEBIH JAUH

Ada dua kisah nyata inspiratif yang akan saya adaptasi. Pertama tentang seorang tukang pipa (plumber). Alkisah, bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman sedang pusing karena pipa keran airnya bocor, ia takut anaknya yang masih kecil terjatuh. Setelah bertanya ke sana-kemari, ditemukan seorang tukang terbaik. Melalui pembicaraan telepon, sang tukang menjanjikan dua hari lagi untuk memperbaiki pipa keran sang bos. Esoknya, sang tukang justru menelepon sang bos dan mengucapkan terima kasih. Sang bos sedikit bingung. Sang tukang menjelaskan, ia berterima kasih sebab sang bos telah mau memakai jasanya dan bersedia menunggunya sehari lagi. Pada hari yang ditentukan, sang tukang bekerja dan bereslah tugasnya, lalu menerima upah. Dua minggu kemudian, sang tukang kembali menelepon sang bos dan menanyakan apakah keran pipa airnya beres. Namun, ia juga kembali mengucapkan terima kasih atas kesediaan sang bos memakai jasanya. Sebagai catatan, sang tukang tidak tahu bahwa kliennya itu adalah bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman. Cerita belum tamat. Sang bos demikian terkesan dengan sang tukang dan akhirnya merekrutnya. Tukang itu bernama Christopher L Jr dan kini menjabat GM Customer Satisfaction & Public Relation Mercedes Benz. Dalam sebuah wawancara, Christopher menjawab, ia melakukan semua itu bukan sekadar tuntutan after sales service atas jasanya sebagai plumber. Jauh lebih penting, ia selalu yakin tugas utamanya bukanlah memperbaiki pipa bocor, tetapi keselamatan dan kenyamanan orang yang memakai jasanya. Christopher melihat lebih jauh dari tugasnya.

Kisah lain. Ada juga kisah dari teman saya, James Gwee, tentang Mr Lim yang sudah tua dan bekerja ”hanya” sebagai door checker (memeriksa engsel pintu kamar hotel) di sebuah hotel berbintang lima di Singapura. Puluhan tahun ia jalankan pekerjaan membosankan itu dengan sungguh- sungguh, tekun, dan sebaik-baiknya. Ketika ditanya apakah ia tak bosan dengan pekerjaan menjemukan itu, Mr Lim mengatakan, yang bertanya adalah orang yang tidak mengerti tugasnya. Bagi Mr Lim, tugas utamanya bukanlah memeriksa engsel pintu, tetapi memastikan keselamatan dan menjaga nyawa para tamu. Dijelaskan, mayoritas tamu hotelnya adalah manajer senior dan top manajemen. Jika terjadi kebakaran dan ada engsel pintu yang macet, nyawa seorang manajer senior taruhannya. Jika ia meninggal, sebagai decision maker, perusahaannya akan menderita. Jika perusahaannya menderita dan misalnya bangkrut, sekian ribu karyawannya akan menderita. Belum lagi keluarganya, termasuk anak istri manajer itu.

Demikian jauh pandangan Mr Lim, dan ia bukan sekadar door checker. Beberapa pelajaran Christopher L Jr dan Mr Lim relatif manusia sejenis. Keduanya bukan kelas manusia sedang atau biasa (good people). Mereka jenis ”manusia besar atau manusia berlebih” (great people) meski jabatan atau pekerjaan formal di suatu saat demikian ”rendah dan biasa saja”. Sikap mental mereka jauh lebih tinggi dari jabatan dan pekerjaan formalnya.

Dua kisah itu memberikan beberapa pelajaran berharga. Pertama, untuk menjadi manusia besar tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan teknis seseorang mengerjakan tugasnya. Kemampuan dan kompetensi teknis (hard competence) boleh sama atau biasa saja, tetapi sikap mental atau soft competence yang lebih akan menentukan seseorang menjadi manusia besar atau tidak. Kedua, untuk bisa mempunyai soft competence dimaksud, kita perlu berontak dan bangun dari tidur panjang selama ini, keluar dari zona nyaman good. Sebagai manusia minimalis, pekerja atau pemimpin apa adanya (yang penting job description dijalankan), target kerja atau key performance indicator (KPI) tercapai, beres! Itulah tipikal manusia biasa saja. Upaya ini memerlukan pengorbanan diri sebab hanya dengan menjadi good people seperti selama ini saja, toh tak ada yang mengusik kita, tetap bisa bekerja dengan nyaman, dan seterusnya. Maka, pemberontakan untuk bebas dari kondisi good people itu harus dari diri sendiri dulu. Ingat petuah Jim Collins, good is the enemy of great. Ketiga, langkah lebih konkret selanjutnya adalah sikap mental untuk ”melihat lebih”! Christopher L Jr plumber yang ingin memastikan kliennya nyaman dan selamat. Mr Lim door checker yang ingin menjamin tamu hotelnya terjaga nyawanya dari bahaya kebakaran. Melihat lebih jauh, beyond the job! Keempat, setelah mampu melihat lebih, barulah kita mampu ”memberi lebih” (giving more). Hanya dengan melihat lebih dan memberi lebih, kita mampu menjadi manusia besar yang tidak hanya bekerja sebatas KPI. Kita akan mampu bekerja dengan memberikan key values indicator (KVI), nilai-nilai lebih, mulia, unggul, berguna bagi setiap pengguna atau penikmat hasil kerja kita. Itulah Christopher L Jr dan Mr Lim. Rindu pemimpin besar Betapa bangsa ini rindu seorang pemimpin hasil pemilu yang layak disebut pemimpin besar, great leader. Mereka yang kini sedang giat berkompetisi dan perang iklan dengan saling sorot KPI masing-masing. Perhatikan dengan saksama, maka segenap janji kampanye, termasuk realisasinya, konteksnya masih sebatas pemenuhan KPI. Ini berlaku baik bagi yang masih berkuasa maupun mantan dan juga calon yang baru. Semua bicara tentang KPI kepemimpinan, belum menyentuh KVI kepemimpinan. Para pemimpin dan bahkan kita semua demikian bangga dan terpesona sendiri saat mampu memenuhi ”KPI kehidupan” kita masing-masing, yang biasanya memang bersifat kuantitatif, materiil, dan mudah diukur. Padahal, untuk menjadi great people, great leader, great father, great manager, dan seterusnya, lebih diperlukan kemampuan mempersembahkan ”KVI kehidupan” kita, yang biasanya justru tidak mudah diukur. Bangsa ini sangat memerlukan Christoper L Jr dan Mr Lim sebanyak mungkin dan sesegera mungkin. Sebagai catatan akhir, seorang office boy yang mampu mempersembahkan KVI nilainya tak kalah dengan seorang CEO yang hanya memberikan KPI-nya. Jika kita ”mau” melihat lebih jauh, kita akan ”mampu” melangkah lebih jauh.

Selasa, 02 Juni 2009

Outlier

Ini adalah kenyataan tentang outlier, yaitu orang-orang, pria dan wanita yang melakukan hal – hal di luar kebiasaan. Mereka yang termasuk dalam jenis outlier ini adalah, orang genius, raja bisnis, musisi rock, dan pembuat program perangkat lunak.

Dalam outlier, kita akan menemukan rahasia seorang pengacara hebat, dan juga melihat apa yang memisahkan para pilot terbaik dan pilot yang pernah menabrakkan pesawatnya, dan mencoba untuk mencari tahu kenapa bangsa Asia sangat hebat dalam matematika. Dan dalam menelaah kehidupan orang – orang hebat diantara kita, orang-orang yang memiliki keahlian, bakat, dan motivasi, dalam buku outlier ini, Malcom Gladwell, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sangat salah tentang cara kita menilai sebuah kesuksesan.

Apakah pertanyaan yang selalu kita ajukan tentang orang – orang yang sukses? Kita ingin tahu, seperti apa orang yang sukses itu, kepribadian apa yang mereka miliki, atau seberapa cerdas orang – orang ini, atau gaya hidup seperti apa yang mereka jalani, atau bakat khusus apa yang mereka dapatkan sejak lahir? Dan kita berasumsi bahwa berbagai kualitas pribadi itu yang menjelaskan mengapa individu – individu ini berhasil mencapai puncak kesuksesan.

Dalam outobiografi yang diterbitkan setiap tahunnya oleh para milyuner / pengusaha / bintang rock / selebriti, benang merah ceritanya selalu sama; pahlawan kita dilahirkan dalam kehidupan yang sederhana dank arena kegigihan serta bakatnya, dia mampu meraih kesuksesan.

Pada sejumlah novel terkenal dari abad kesembilan belas karya Horatio Alger, anak – anak laki – laki dilahirkan dalam keadaaan keluarga miskin menjadi orang kaya melalui kombinasi keberanian dan inisiatif. “Kupikir secara keseluruhan, ini adalah sebuah kerugian,” ujar Jeb Bush tentang apa artinya menjadi putra Presiden Amerika Serikat, adik Presiden AS berikutnya dan cucu seorang bankir Wall Street yang kaya raya serta Senator AS terhadap karier bisnisnya. Saat ikut dalam pemilihan gubernur Florida, dia berulang kali menyebut dirinya sebagai “orang yang berhasil dengan usaha sendiri,” dan hal itu mewakili bagaimana kita menghubungkan kesuksesan dengan usaha yang dilakukan seseorang, dimana istilah ini kadang – kadang dianggap miring oleh beberpa orang.

“Angkat Kepalamu,” ujar Robert Winthrop kepada khalayak banyak saat meresmikan patung pahlawan kemerdekaan AS, Benjamin Franklin, “dan lihatlah gambaran orang yang bangkit dari nol, yang kesuksesannya bukan didapatkan dari orang tua atau dukunga orang lain, yang tidak menikmati keuntungan akan pendidikan awal yang ratusan kali terbuka bagi kita, yang khalayak melakukan pekerjaan besara dalam berbagai bisnis yang dijalananinnya, tetapi hidup untuk menentang para Raja dan gugur dengan meninggalkan nama yang tidak akan dilupakan seluruh dunia.”

Senin, 01 Juni 2009

Pancasila Sebagai Ideologi

Weltanschauung ist nicht ein Wissen, sonder sie offen sich in Wertungen, Lebengstaltung, Schiksal, in der erlebten Rangerdnung der Werte. (Karl Jaspers, Pshychologie der Weltanschauungen)

Jika kita hendak memandang pancasila sebagai ideology atau Weltanschauungen, maka pertanyaan – pertanyaan yang kita hadapi adalah sebagai berikut: bagaimana kedudukannya dalam kehidupan manusia, apa sebabnya pancasila menjadi ideology Negara Indonesia, dimana letak haknya, apa konsekuensi2 dari pancasila sebagai ideology Negara? Deretan pertanyaan2 ini belum habis. Tetapi biarlah rentetan itu saja yang kita pasang.

Istilah ideology berasal dari kata Yunani (Greek) eidos dan logos. Edos yang berasal dari kata kerja mempunyai arti melihat, memandang, berarti gambaran pandangan. Karena memikir itu juga mirip dengan memandang, maka eidos juga berarti pikiran (Idea). Logos disini berubah menjadi logia, berarti kata, pengertian, ucapan,. Kita mengerti kata biologi, fiologi, dan sebagainya; dalam hal ini logi berarti pengertian atau ilmu pengetahuan. Dalam istilah ideology, kata logi tidak menunjuk ilmu pengetahuan. Ideology adalah kesatuan idea2, kesatuan itu dimiliki dengan dan dalam logos atau pengertian. Dalam komposisi istilah itu termuat suatu renungan atau refleksi: istilah itu menyatakan bahwa ada idea –idea dan ada pengertian tentangnya, bahkan bahwa manusia telah berpikir tentang idea2 itu tidak hanya ada secara banyak, melainkan secara kesatuan. Idea2 itu bukanlah sembarangan idea, tetapi idea2 yang mendalam, yang fundamental.

Jika ilmu2 kebudayaan memandang pengertian tentang pertanian yang ada pada bangsa2 primitif, maka pengertian itu tidak akan disebut ideology. Namun disitu terdapat juga idea2 dan kesatuannya.

Sebaliknya, jika kita melihat upacara2 pesta pertanian, maka kita akan berkata pesta itu berdasarkan pada suatu ideology atau pandangan hidup. Sebab, yang menjadi dasar upacara2 itu adalah pikiran tentang hidup, tentang asal – usul rezeki, tentang kedudukan manusia dalam kosmos. Benarlah kata Jaspers bahwa dengan istilah ideology atau pandangan dunia (Weltanschauungen) kita menunjuk das Letzte und das Totale des Menschen.

Dengan ini tampaklah bahwa ideology kita pandang sebagai sesuatu yang baik, bahwa ideology, seperti nanti masih akan tampak, ialah pengertian yang fundamental tentang realitas, bahwa ideology adalah dari realitas ke realitas. Tetapi, dalam sejarah kita mengerti juga bahwa ideology dianggap sebagai khayalan yang tak berguna. Maka itu kita akan melihat lawan kita dulu, yaitu, pendapat yang menyatakan bahwa ideology itu tidak objektif, bahwa ideology itu suatu kebohongan. Demikianlah pendapat dari kalangan Marxisme. Bagi mereka filsafat mereka sendiri bukanlah ideology karena (demikianlah pikiran Marxisme) pandangan mereka itu benar. Lain – lain pandangan adalah salah, tidak menerjemahkan realitas.

Tetapi, mengapakah ideologi2 itu toh dianut? Demikianlah pendapat dari kalangan Marxisme tadi – ideologi2 itu dianut karena menguntungkan. Misalnya, karena Vested Interest. Ingatlah saja, misalnya mitos – mitos yang dikarang untuk mempertahankan kaum bangsawan. Sampai – sampai orang berani mangatakan bahwa asal – usul rajanya adalah dari kedewaan. Menurut pandangan dari kalangan Marxist tersebut banyak ideology berasal dari kaum kapitalis dan untuk kepentingan kapitalisme.

Dengan ini nyatalah bahwa dalam kalangan Marxist ideology digunakan dalam arti peyoratif (jelek). Tetapi, tidak ada alasan sedikitpun yang member arti demikian. Sebaliknya, tidak tepat juga jika istilah ideology hanya dianggap mempunyai arti baik. Sejarah member penyaksian adanya ideology yang jahat, seperti Fascisme, Nazisme, …., dan komunisme sendiri. Hematnya, ideology memiliki arti yang netral. Baik buruknya tergantung dari isinya.

Yang perlu mendapat perhatian adalah munculnya pandangan bahwa ideology dianut karena kepentingan. Menurut pendapat Marxist di atas ideology dianut justru karena hanya kepentingan. Pendapat ini salah, tidaklah benar bahwa tiap2 ideologi dianut karena kepentingan. Pancasila kita, tidak kita anut hanya karena kepentingan, tetapi juga yakin bahwa Pancaila itu benar. Aspek kebenaran dalam soal ideology tidak bisa dimungkiri. Tetapi, memang nyata bahwa dalam prakteknya aspek kebenaran itu tidak begitu disadari. Dalam prakteknya orang menganut ideology karena melihat ideology sebagai cita – cita: ideology merumuskan ideal.

Ketika sebagian dari bangsa Jerman mengorbankan ideology Nazisme, mereka bercita – cita tentang kebenaran ras.

Tiap – tiap ideology sosialistis mencita – citakan kesamaan hak, kesamaan kemakmuran dan bahagaia berdasarkan penikmatan yang sama dan bersama – sama dari kekayaan material di dunia ini.

Catatan diatas kiranya cukup untuk memperlihatkan adanya aspek ideal atau cita2 dalam ideology. Sekarang harus ditambahkan bahwa cita2 itu didasarkan atas pandangan yang asasi. Baiklah kita catat sebentar bahwa asasi disini hanya kita pandang secara relative, artinya menurut penganut ideology yang bersangkutan. Jadi, belum tentu apa yang disebut asasi itu juga betul2 asasi. Dengan ini juga masih kita kesampingan soal benar atau tidaknya pandangan dari suatu ideology.

Dalam tingkat uraian ini hanya dikemukan bahwa ideology memuat pandangan yang dianggap asasi. Menurut ideology Marx misalnya, Manusia seharusnya tidak bernegara. Negara bertentangan dengan hakikat manusia (menurut Marx). Disini pandangan asasi karena mengenal hakikat manusia. Bahwa pandangan ini salah tidak akan kita rembug sekarang. Contoh lain, kita ajukan ideology Nazisme. Menurut ideology ini suatu ras harus menjadi bangsa yang menjadi tuan besar. Lain – lainnya harus menjadi budaknya. Pandangan ini oleh para penganut dianggap asasi. Mereka tidak memandang lebih lanjut. Pandangan itu menjadi landasan politik mereka, tetapi boleh disangsikan anthropo-biologis politis dan sosiologisnya sehingga sukar dikatakan asasi secara objektif., meskipun bagi para penganutnya, yang tidak berfikir tentang hakikat manusia, pandangan itu sudah dianggap fundamental.

Jika kita melepaskan soal tentang benar atau tidanya, betul2 asasi atau tidaknya suatu pandangan (atau kompleks pandangan) yang dijadikan ideology, maka dapat kita rumuskan sebagai berikut; yang disebut ideology adalah suatu kompleks idea2 asasi tentang manusia dan dunia yang dijadikan pedoman dan cita2 hidup.

Rumusan ini berdasarkan fakta sejarah. Dalam sejarah kita menyaksikan bahwa ideology dianut karena manfaatnya, karena efisiensinya. Tetapi, penganutan itu pada prinsipnya juga berdasarkan keyakinan bahwa ideology yang dianut itu benar. Idea2 yang sebagai kompleks sistematis menjadi ideology itu kita katakana: tentang manusia dan dunia. Dalam keterangan ini termuat juga pandangan tentang Tuhan, tentang manusia sesama, tentang hidup dan mati, tentang masyarakat dan Negara, dan sebagainya.

Sesuai dengan tabiat hubungan2 yang diakui itu, suatu ideology bisa bersifat bisa bersifat hanya diesseitig atau diesseitig serta jenseitig.

Komunisme adalah suatu ideology yang hanya diesseitig sebab tidak mengakui Tuhan. Pancasila adalah ideology yang diesseitig serta jenseitig. Diesseitig karena hanya merembug hidup di dunia ini (Demokrasi, Keadilan Sosial); serta jenseitig karena mengakui Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam rumusan diatas kita akui bahwa ideology itu bukanlah hanya pengertian. Ideology adalah prinsip dinamika karena merupakan pedoman atau cita2 (ideal). Ideology berupa pedoman, artinya menajadi pola dan norma hidup, tetapi juga berupa ideal dalam cita2, artinya realisasi dari idea2 yang menjadi ideology itu dipandang sebagai kebesaran, kemuliaan manusia. Dengan melaksanakan ideology manusia juga mengejar keluhuran. Itulah sebabnya manusia juga sanggup mengorbankan hidupnya demi ideology.

Karena ideology itu menjadi pola dan norma hidup dan dikejar pelaksanaannya yang tinggi sebagai ideal, maka tak mengherankan jika ideology bisa menjadi Lebengestaltung, seperti dinyatakan oleh filsuf Jerman yang terkenal Karl Jaspers. Kita tidak perlu berpendapat bahwa dengan mudah saja ideology menjadi Lebengestaltung (bentuk hidup, levensvorm). Semoga dan Semoga Pancasila tetap menjadi Lebengestaltung, sehingga tidak akan pernah terjebak oleh segala paradoksnya.

Sabtu, 30 Mei 2009

Tamatnya Ideologi dan Latar Belakang


ADA kecenderungan yang sangat kuat bahwa ideologi sudah tamat riwayatnya. Itulah kecenderungan yang terjadi dalam konteks mencari wakil presiden yang sedang giat-giatnya dilakukan elite partai. Proses masih terus berjalan, tetapi kecenderungan itu sudah dapat dilihat.

Pencalonan SBY menjadi presiden dari Partai Demokrat kiranya akan didukung empat partai yang berbasiskan Islam, yaitu PKB, PKS, PAN, dan PBB, serta partai berbasiskan Kristen PDS.
Sementara itu, calon presiden Megawati Soekarnoputri yang diusung PDI Perjuangan akan berkoalisi dengan Gerindra dan Hanura serta banyak disebut dengan PPP yang berlambang Kabah. Bila itu yang terjadi, itulah perkawinan paham kebangsaan dengan Islam.

Bagaimana dengan calon presiden Jusuf Kalla yang dijagokan Partai Golkar? Sampai kemarin belum jelas Golkar akan berkoalisi dengan partai apa.

JK telah bertemu dengan Megawati dan Prabowo, tetapi belum ada tanda-tanda terjadi koalisi.
Yang jelas, sulitnya mendapatkan 25% suara rakyat atau 20% kursi DPR menyebabkan koalisi untuk mencari cawapres menjadi cair dan longgar.

Gejala umum yang muncul ke permukaan adalah pengelompokan parpol-parpol dalam koalisi tidak lagi terikat kepada kesamaan ideologi. Partai-partai atau tokoh-tokoh yang berbeda secara ideologis ternyata tidak memiliki hambatan berkoalisi untuk mengusung kepentingan yang sama.
Bahkan, latar belakang sejarah yang berlawanan pun tidak menjadi perkara. Itulah yang mengundang banyak pertanyaan.

Dalam gerbong yang mengusung incumbent SBY sebagai capres misalnya, ada Partai Demokrat, PKS, dan PDS yang dalam konteks ideologis sesungguhnya terpaut jarak cukup jauh. Namun, perbedaan itu tidak menghalangi partai-partai tersebut untuk berkoalisi.

Koalisi Megawati dan Prabowo adalah koalisi dua latar belakang yang saling berseberangan. Soemitro Djojohadikusumo adalah ayah Prabowo yang merupakan 'musuh politik' Bung Karno yang adalah ayah Megawati.

Ayah keduanya berseberangan secara politik, tetapi kini pada generasi anak, ternyata dapat bertemu dan bersatu untuk mengusung kepentingan bersama. Pertanyaannya adalah mengapa partai-partai atau tokoh-tokoh yang secara ideologis dan latar belakang sejatinya ibarat air dan minyak itu dapat berkumpul dalam sebuah koalisi? Tidakkah yang sepenuhnya bekerja semata pragmatisme? Demi kepentingan sesaat, ideologi partai dapat disingkirkan.

Demi memperoleh kursi kabinet, perbedaan dapat dilupakan. Pertanyaannya adalah berapa lama kekompakan itu bisa bertahan? Kabinet Indonesia Bersatu tentu saja dapat menjadi bukti bahwa koalisi rapuh karena terlalu banyak yang diakomodasi tanpa mempersoalkan platform.

Koalisi yang sehat adalah koalisi yang didasarkan pada kesamaan platform. Bisakah kesamaan platform itu dibentuk secara mendadak? Singkatnya, pemilu presiden kali ini jelas sebuah medan persaingan yang unik. Yaitu tidak soal siapa berkoalisi dengan apa dan siapa, yang penting bisa menang menjadi presiden.

ISLAM DI TENGAH ARUS TRASNISI MENUJU DEMOKRASI

“The trantition toward democracy … contains a prolonged and incloncusive political struggle. Some individual, groups, ad class challenge the nondemocratic rules. Democracy may not be their aim; it can means to another end or a by product of struggle for other ends …” (Sorensen, 1993 ; 4)

Pembahasan tentang perkembangan politik umat islam di tengah transisi Indonesia menuju demokrasi, tak ragu lagi, merupakan hal yang amat kompleks. Masalahnya bakal menjadi lebih jauh lagi bila di kaitkan dengan tema tentang “Islam Politik” dan “Islam Kultural”, yang menandai Islam dalam masa transisi, karena kedua corak ini dalam pergumulan yang intens. Karena memang kedua corak Islam tersebut selama ini dipandang secara dikhotomis. Masa sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya, yang di gantikan oleh Habibi, dan kemudian Abdurrahman Wahid sering di pandang sebagai masa kebangkitan (kembali) Islam politik, yang terlihat dari kemunculan banyak sekali partai Islam.

Sebaliknya, Islam cultural yang mendorong “renaisans cultural” kaum muslimin dalam dasawarsa terakhir masa Soeharto, dikhawatirkan akan semakin memudar dalam masa transisi menuju demokrasi sekarang ini.

Semantara itu, kebangkitan Islam politik juga mengandung banyak masalah. Kebangkitan Islam politik menimbulkasn perdebatan politik tidak hanya islam politik versus islam cultural, tetapi juga bahkan keprihatinan. Islam politik yang muncul secara sangat fragmentaris memunculkan poliferasi skisma dan bahkan konflik yang cukup akut di antara berbagai kelompok dan elit politik Muslim.

Mengingat posisi demografis kaum Muslim sebagai warga mayoritas di Indonesia dan menghadapi fragmentasi serta skisma di kalangan umat Islam, maka wajar jika di ajukan pertanyaan; apa kebangkitan Islam politik itu terhaadap terhadap transisi Indonesia menuju demokrasi yang lebih otentik dan genuine?

Dengan kata lain, apakah parpol Islam yang begitu banyak dapat memberikan sumbangan positif kepada transisi Indonesia menuju demokrasi. Tidaklah perlu rasionalisasi atau penyederhanaan terhadap jumlah parpol islam agar mereka mampu memainkan peran lebih konstruktif dalam transisi. Sebab dengan jumlah yang demikian banyak, parpol islam bersama parpol parpol lain sebaliknya justru bisa menjadi kaontraproduktif bagi demokratisasi. Masalah – masalah seperti ini sangat tidak mudah dikaji tuntas.

Bangsa ku Tidak Untuk Berbisnis

Satu pekan yang lalu, bangsa Indonesia baru saja menyelenggarakan pesta Demokrasi. Sebagai rakyat Indonesia, kita semua telah menentukan pilihan masa depan negeri untuk lima tahun ke depan.

Pasca reformasi 1998, perilaku memilih dari pemegang hak suara memang telah banyak berubah, tentunya hal ini tidak lepas dari perubahan system demokratisasi di Indonesia. Bila dulu banyak pemilih yang menjatuhkan pilihannya karena mobilisasi dan manupilasi propaganda dari penguasa, kini pemilih telah memiliki hak suara sepenuhnya, sesuai dengan filsafat politik “vox popoli vox Dei”.

Akan tetapi demokratisasi yang berjalan di Indonesia saat ini masih tetap harus selalu di kritisi perkembangannya, agar kelak demokrasi yang telah beridiri di atas darah para mahasiswa ini tidak melenceng kea rah anarkisme ataupun chaos social politik.

Sistem demokrasi dan juga system pemilu Indoensia yang menganut system multi partai saat ini tidak hanya telah memberikan kebebasan memilih bagi rakyat Indonesia, akan tetapi juga memberikan kebebasan sebesar – besarnya bagi setiap WNI untuk ikut serta mencalonkan diri sebagai Pemimpin ataupun legislator.

Berawal dari kebebasan inilah, bangsa Indonesia yang setelah di landa krisis ekonomi 1998 ini terus mengalami keterpurukan ekonomi hingga saat ini. Walaupun pemerintah mengeklaim telah melakukan pembangunan ekonomi, namun tetap saja bangsa ini masih jauh dari cita-citanya seperti yang tertuang dalam UUD 45 untuk mewujudkan kesejahteraan umum, hal ini bisa di lihat dari tingkat pengangguran yang masih tinggi, apalagi bila di nilai dari standart tingkat pengeluaran masyarakat minimal $2 dalam sehari, ataupun Human Development Index nya, pembaca tentu dapat menilia – nya sendiri.

Alasan ekonomi lah membuat masyarakat Indonesia yang semakin terjepit oleh tuntutan perut terus mencari cara agar dapur mereka dapat terus berasap. Dan ketika sector perekonomian tidak lagi dapat di harapkan maka masyarakat –pun mencari solusi lain agar dapat memperoleh penghasilan yang mereka perlukan.

Seperti yang telah di singgung di atas, saat ini system politik Indonesia telah dapat memberikan kebebasan bagi setiap warga negaranya untuk berpartisipasi, menjadi salah satu alternative yang rasional memang untuk menraup penghasilan dengan duduk di kursi eksekutif dan legeslatif atau dengan kata lain inilah waktunya trend bisnis di dunia politik.

Rasional bukan bila dapat masuk ke parlemen atau memiliki kekuasaan kita dapat memperoleh apapun yang kita inginkan? Sepertinya alasan inilah yang menjadai dasar utama mengapa begitu pemiu yang demokratis di gelar pasca reformasi 1998, muncul puluhan parpol yang tidak jelas visi dan misinya. Sehingga apabila pembaca merupakan pemilih yang cerdas, tentunya akan kembali mempertimbangkan dan menilai ulang parpol yang akan di pilihnya dalam pemilu, apakah parpol tersebut memang bertujuan utuk membangun bangsa atau justru membangun kelompok atau bahkan korporasinya? Dan lihat juga individu – individu yang berada di baliknya apakah dia memang seorang negarawan atau justru seorang pebisnis, seperti yang di singgung di atas mengenai perut lapar karena dampak krisis ekonomi?

Masalah perut dalam pemilu di Indonesia terlihat semakin mencolok, ketika bangsa Indonesia untuk pertama kalinya menerapkan system pemilihan presiden dan DPR secara langsung pada tahun 2004, pada tahun tersebut ketika parpol di nilai sudah tidak relevan lagi dalam memberikan pemimpin yang di harapkan oleh masyarakat, dan pemerintah menyerahkan langsung pemilihan orang – orang penentu nasib bangsa ini kepada masyarakat, maka semakin terbuka lebarlah kesempatan untuk berbisnis dalam system politik yang keropos ini.

Individu – individu yang sebelumnya tidak pernah terlihat ataupun terdengar dalam aktivitas social dan politik tetapi memiliki uang yang lebih, berlomba – lomba masuk dalam lubang – lubang system politik tersebut tanpa visi dan misi yang jelas bagi masa depan bangsa.

Partai Politik yang sesungguhnya tercipta untuk memberikan pendidikan politik dan juga sebagai sarana kaderisasi dalam melahirkan calon – calon pemimpin bangsa sebagai negarawan murni, telah berubah menjadi kendaraan politik dari para pebisnis untuk masuk ke dalam system public policy. Fenomena ini bila di lihat secara mendalam lagi tentu kembali lagi pada masalah ekonomi, karena bila melihat parpol – parpol di Indonesia yang terjadi adalah kebanyakan Parpol hidup dari uang para pebisnis dan loyalisnya sendiri hidup dari Partai, sehingga wajar bila penulis menyebut hal ini sebagai fenomana bisnis parpol dan pemilu yang kapitalis.

Keberhasilan Pemerintah dalam menyelenggarakan pemilihan presiden langsung tahun 2004 terus di kembangkan hingga ke tingkat daerah yaitu dengan terimplementasikannya UU No 34 Tahun 2004 tentang otonomi daerah yang mana di dalamnya juga mengatur tentang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada). Dari fenomena – fenomena yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada di Indonesia inilah tampak bagaimana perilaku pemilih dalam memberikan hak pilihnya serta bagaimana strategi – strategi parpol untuk memenangkan pesta demokrasi, kejadian selama pemilu 2004, pilkada, dan juga masa – masa pemilu 2009 inilha representasi bangsa Indonesia dalam memaknai Demokrasi.

Sepanjang pelaksanaan pilkada di Indonesia dalam kurun waktu empat tahun ini, terlihat jelas bagaimana keterkenalan figure seorang calon merupakan factor kunci untuk meraih simpati public yang berujung pada kemenangan di pilkada atau pemilu. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah keterkenalan / figure dari seorang calon ini adalah jaminan untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki jiwa negarawan?

Pertanyaan di atas tentu sudah dapat di jawab oleh pembaca yang telah memiliki hak suara dalam pemilu. Selama ini keterkenalan dari figure memang telah menjadi sebuah komiditas yang sangat laku dalam pemilu. Bagaimana tidak, majunya artis – artis televise seperti Marisya Haque dan juga Adji Masaied yang duduk di kursi legeslatif pada pemilu 2004 dan juga kemenangan Si Doel (Rano Karno) dalam pilkada di Jawa Barat, telah menjadi tolak ukur bagaimana pemilih lebih mengidamkan sosok seorang actor daripada negarawan sejati. Sekali lago parpol berbondong – bonding mengikuti trend pasar ppolitik tersebut.

Kembali pada masalah perut dalam pemilu 2009 ini. Saat pesta demokrasi akan di gelar pada tahun ini, ada kecenderungan positif dalam demokratisasi di Indonesia. Ternyata tidak hanya para artis saja yagng ingin ikut meramaikan dalam pemilu 2009, tetapi juga masyarat Indonesia dari berbagai golongan. Memang partisipasi masyarakat secara aktif dengan mencalonkan diri dalam pemilu bisa jadi sebagai tolak ukur keberhasilan sebuah demokratisasi. Namun yang perlu kembali di pertanyakan adalah mengapa banyak masyarakat yang ingin mencalonkan diri sebagai caleg ataupun calon pemimpin sedangkan kecenderungan golput semakin besar?

Dan pertanyaan ini, kiranya terjawab sudah usai pesta demokrasi dalam pemilihan caleg pada pemilu 9 april 2009 silam. Lihat saja bagaimana saat ini media massa di Indonesia santer memberitakan para caleg yang stress bahkan menjadi gila karena kalah dalam pemilu. Hal ini tentu wajar bila kita berfikir secara logis, karena para caleg tersebut tentunya telah banyak mengeluarkan uang dan juga hartanya untuk berkampanye. Maka ketika mereka kalah, seperti halnya seorang pengusaha yang gagal dalam perjudian bisnis, mereka pun (caleg) merasa sangat keceewa terhadap hasil pemilu yang di dapat sedangkan uangnya tidak dapat di tarik kembali dan kebangkrutan yang membawa kemiskinan pun tengah mengancam mereka. Jadi jawabannya adalah, para caleg ini tentu tidak sepenuh hati untuk mengabdikan dirinya kepada Negara, karena ternyata mereka untuk berkorban harta benda saja belum siap, malahan mungkin yang mereka pikirkan adalah dengan modal berkampenye nantinya mereka dapat mencari keuntungan dengan duduk di kursi pemerintahan.

KAPITALISME TIDAK DAPAT MEMBERIKAN ALASAN UNTUK HIDUP


Kapitalisme menciptakan peluang bagi hidup yang makmur dan terbentuknya perusahaan yang makmur, tetapi ini masih belum cukup. Menurut Charles Handy, personil dan perusahaan perlu mencari suatu maksud yang lebih besar bagi keberadaan mereka.

Hidup ini lebih dari sekedar mencari uang dan membeli sesuatu. Untuk menjadi kaya, guru tidak perlu menjadi guru. Para sukarelawan mencati imbalan yang tidak ada hubungannya dengan uang.

Namun, karena system kapitalis menggunakan uang untuk mengukur keberhasilan dan nilai, maka mencari uang telah menjadi sasaran puncak bagi kebanyakan orang, lembaga, dan bahkan masyarakat. Mereka akan segera menyadari bahwa itu saja tidak cukup.

Janji utama dari seluruh pemerintah yang baru adalah menjadikan warganya lebih kaya dari keadaan mereka saat ini. Yang menjadi asumsi, yang di anut oleh para pemilih adalah bahwa kekayaan yang lebih besar dengan sendirinya akan menjadikan hidup lebih bahagia.

Negara – Negara menetapkan peringkat untuk diri mereka sesuai dengan Product Nasional (GNP) yang di dasarkan atas harga aktivitas dan produk. Produk yang tidak mencakup upaya mencari uang di abaikan, seperti membesarkan anak.

Organisasi apapun, bukan hanya perusahaan tetapi juga sekolah. Organisasi relawan, dan rumah sakit. Hanya mencari “bottom line” (keuntungan akhir).

Yang menjadi mantera baru adalah menjalani segala sesuatu, bahkan hidup kita. “sama seperti bisnis” yang artinya mencari laba. Biarkan pasar yang mengatur segala sesuatunya. Disiplin pasar yang mendorong organisasi dan lembaga untuk mencari laba lenyap sama sekali, menciptakan masyarakat yang efisien.

Namun, apakah efisiensi selalu lebih baik? Rumah sakit yang mengeluarkan pasiennya yang sudah tua dan masih dalam keadaan sakit tentu dapat meningkatkan bottom line-nya tetapi hampir tidak dapat di anggap “efisien” atau “berhasil”. Sekolah dan lembaga kesejahteraan social juga memiliki mandate yang tidak terkait dengan permintaan pasar.

Pasar seringkali mendorong kreativitas dan inovasi. Namun, disiplinnya tidak sesuai. Mencari uang tidak selalu menunjukkan kepada kita hal benar yang harus di lakukan.

Efisiensi juga menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berarti uang yang lebih banyak bagi siapa saja. Namun untuk apa uang tambahan itu harus di belanjakan?

Seringkali, pertumbuhan mendorong pertumbuhan yang tidak ada manfaatnya dan sia – sia. Konsumen saat ini membayar lebih untuk mesin cuci dengan dua belas setelan – tetapi yang di gunakan tetap hanya tiga saja.

Semakin lama konsumen membeli hanya untuk membeli. Pembelian seperti ini mungkin tidak menambah nilai pada kehidupan mereka atau bagi masyarakat, tapi siapa yang peduli? Yang penting angka – angka ekonominya kelihatan hebat.

Kapitalisme menciptakan kekayaan dan meningkatkan lehidupan lebih efektif ketimbang system ekonomi apapun lainnya.

Tetapi kapitalisme haruslah sarana, bukan tujuan. System ekonomi dari dirinya sendiri tidak dapat menetapkan maksud serta pedoman kehidupan atau masyarakat secara umum. Efisiensi ekonomi atau keuntungan ekonomi bukan merupakan alasan bagi keberadaan lembaga atau individu. Untuk itulah mereka harus memandang melampui ekonomi.

Fase – fase hidup yang lazim mulai dari perjuangan untuk bertahan hidup, hingga keakuan yang benar - dapat menyesatkan. Ralph Woldo Emerson mungkin yang terbaik yang pernah mengungkapkan impian keakuan yang benar sewaktu ia mendefinisikan keberhasilan sebagai.

“….Mendapat respek dari orang – orang yang cerdas dan mendapat kasih sayang dari anak – anak….; menghargai kecantikan, menemukan yang terbaik dalam diri orang lain, meninggalkan dunia dalam keadaan sedikit lebih baik, baik anak yang sehat, sepetak kebun, atau kondisi social yang dapat di pulihkan…”

Keakuan yang benar berlaku juga untuk perusahaan di samping bagi individu. Perusahaan membutuhkan suatu tujuan atau maksud di luar keuntungan agar dapat bertahan hidup untuk jangka panjang.

Karena jika perusahaan hanya ada untuk menghasilkan laba. Berarti perusahaan tidak lebih dari alat penghasil uang bagi pemiliknya. Perusahaan berarti tidak memiliki kepribadian yang menerap sifatnya atau tidak memiliki tujuan.

Hal ini jelas keliru. Perusahaan memiliki tujuan, menambah nilai. Perusahaan menambah nilai dengan menghasilkan sesuatu yang tidak ada di sana sebelumnya atau, jika sudah ada di sana, membuatnya lebih murah lebih baik, atau tersedia bagi lebih banyak orang.

Microsoft menjadikan Bill Gates sebagai salah seorang terkaya di dunia. Namun tujuan Microsoft bukan untuk memenuhi pundi – pundi Gates. Microsoft berhasil karena perusahaan tersebut membantu menjadikan hidup manusia lebih baik melalui piranti lunaknya. Milyaran dollar yang di dapat Gates hanyalah akibat – samping dari keberhasilan tersebut. Walaupun memang saat ini contoh Microsoft dalam memberikan manfaat kepada masyarakat di rasa telah tidak sesuai lagi dengan kehadiran Open Source (Linux) yang lebih murah,dan bermanfaat. Namun contoh keberhasilan microsoft di masa lalu masih tetap di anggap relevan.

Keberhasilan Microsoft bukan hanya di karenakan oleh tujuannya. Hal itu juga di karenakan oleh semangat kerja yang luar biasa serta kreativitas para karyawannya. Banyak dari mereka yang telah menjadi jutawan, namun tetap bekerja di Microsoft. Alasannya karena senang kepada pekerjaan mereka.

Perusahaan perlu mencapai keabadian agar tetap eksis untuk selama – lamanya. Namun perusahaan hanya bisa abadi apabila perusahaan tersebut tetap eksis, layak mendapat tempat dalam masyarakat modern.

Untuk itu, perusahaan harus mementingkan diri sendiri secara benar. Perusahaan harus memandang jauh melampui laba sebagai sasaran dan menemukan maksud atau tujuan yang lebih besar. Tujuan social ini, yang bukan tujuan ekonomi, harus di definisikan melalui orang lain – bukan hanya pelanggan, tetapi juga karyawan di dalam perusahaan dan dunia di luarnya.

MASYARAKAT YANG LEBIH BAIK; Pemerintah Harus Mengilhami Tanggung Jawab

Dalam suatu masyarakat yang layak, semua lembaga, termasuk lembaga pemerintah dan pendidikan, akan membantu orang menjalani hidup keakuan yang benar.

Pemerintah yang demokratis sudah lama menyadari peran mereka dalam membantu masyarakat yang dirugikan menjalani hidup yang lebih baik. Namun, pemerintah gagal membantu masyarakat memikul tanggung jawab atas hidup mereka sendiri.

Keakuan yang benar didasarkan atas gagasan bahwa kita memikul tanggung jawab untuk berbuat yang terbaik dari hidup kita melalui orang lain. Menunggu “uluran” tangan pemerintah sama sekali bukan keakuan yang benar.

Pemerintah harus membantu masyarakat memenuhi tanggung jawab mereka, bukan meniadakan tanggung jawab tersebut!

Peran pemerintah adalah menyediakan infrastruktur kehidupan dalam masyarakat. Infrastruktur ini terdiri dari:

Informasi – hak untuk mengetahui apa yang sedang berlangsung.

Keterlibatan – hak untuk ambil bagian dalam keputusan.

Individualitas – hak atas kebebasan dan perlindungan terntentu sebagai individu.

Di bidang perawat kesehatan misalnya, pemerintah harus menjamin masyarakat memiliki informasi dan pilihan dalam perawatan kesehatan dan bahwa hak perawatan kesehatan mereka terlindungi.

Pilihan menjadi kata kunci disini. Orang harus bertanggung jawab atas pilihan perawatan kesehatan yang mereka ambil, termasuk memilih rumah sakit dan dokter yang berbeda.

Di Negara – Negara yang memiliki perawatan kesehatan nasional, pemerintah dapat memberikan voucher kapada masyarakat – cek yang ditandatangani oleh pejabat wilayah – dan membiarkan mereka memilih penyedia mereka. System ini juga akan meningkatkan layanan karena pihak penyedia di paksa bersaing bagi pasien.

Sistem yang sama dapat diterapkan di bidang pendidikan, dimana voucher memungkinkan orang memilih sekolah atau universitas.

Propaganda Politik Melalui Media Massa

Diantara bahasan yang menonjol dalam kajian Komunikasi Politik adalah menyangkut isi pesan. Bahasan ini sama pentingnya dari bahasan komunikator, media, khalayak dan efek komunikasi politik. Dalam beberapa literatur disebutkan, inti komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh. Urgensinya dalam suatu sistem politik tidak diragukan lagi, karena komunikasi politik terjadi saat keseluruhan fungsi dari sistem politik lainnya di jalankan.
Makalah ini, berupaya mengelaborasi masalah pesan politik terutama yang ada kaitannya dengan aktivitas persuasi. Fokus bahasan berkaitan dengan propaganda sebagai salah satu pendekatan persuasi yang sangat populer dan banyak dilakukan oleh komunikator politik sejak dahulu hingga saat ini. Karena dalam perkembangannya media massa banyak digunakan sebagai medium penyampaian pesan yang sangat diminati, maka bahasan ini secara spesifik mengamati propaganda politik melalui media massa. Teori agenda setting dipergunakan sebagai pilihan kerangka analisa dengan pertimbangan relevan dengan substansi pembahasan. Untuk melengkapi bahasan, juga akan dikemukan kritik terhadap beberapa konsepsi pokok.

PROPAGANDA : Sebagai Pendekatan Persuasi Politik
Konseptualisasi

Menurut Dan Nimmo (1993), ada tiga pendekatan kepada persuasi politik, yakni propaganda, periklanan dan retorika. Semuanya serupa dalam beberapa hal yakni bertujuan (purposif), disengaja (intensional) dan melibatkan pengaruh; terdiri atas hubungan timbal balik antara orang-orang dan semuanya menghasilkan berbagai tingkat perubahan dalam persepsi, kepercayaan, nilai dan pengharapan pribadi. Tentu saja ketiganya juga memiliki kekhususan yang membedakan satu dengan lainnya.
Banyak ahli mendefinisikan persuasi, salah satunya adalah Erwin P. Bettinghaus (1973). Menurut dia, persuasi tidak lain adalah usaha yang disadari untuk mengubah sikap, kepercayaan atau prilaku orang melalui transmisi pesan. Bisa saja, banyak definisi yang dikemukakan, tapi diantara karakteristik umumnya persuasi selalu melibatkan tujuan melalui pembicaraan. Sifatnya juga dialektis dan merupakan proses timbal balik. Dalam hal ini dengan sengaja atau tidak menimbulkan perasaan responsif pada orang lain. Selain dia juga bercirikan kemungkinan.
Dari ketiga pendekatan persuasi seperti disebut diatas, propaganda memiliki catatan konseptual dan histroris yang menarik untuk diamati. Menurut Jacques Ellul (dalam Dan Nimmo, 1993), propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi.
Istilah propaganda ini dapat ditelusuri hingga masa Paus Gregorius XV yang membentuk suatu komisi para kardinal, Cengregatio de propaganda Fide, untuk menumbuhkan keimanan kristiani diantara bangsa-bangsa lain. Namun pada perkembangannya propaganda meluas ke wilayah politik, yakni diperuntukan untuk memperoleh pengaruh dan pada akhirnya kekuasaan. Praktek propaganda misalnya pernah dilakukan Partai Nazi, Hitler. Dengan manipulasi lambang, dan oratori yang penuh emosi Hitler membangkitkan rasa identifikasi, komitmen dan kesetiaan khalayak. Kata-kata yang sangat populer waktu itu “Ein Volk, ein Reich,ein Fuhrer” (satu bangsa, satu imperium, satu pemimpin).
Ellul membuat tipologi propaganda yang menarik. Menurutnya, ada tipe propaganda politik dan tipe propaganda sosiologi. Yang pertama, beroperasi melalui imbauan-imbauan khas berjangka pendek. Biasanya melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai atau golongan berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis atau taktis. Sementara yang kedua, tipenya berangsur-angsur, merembes ke dalam lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik. Melalui propaganda orang disuntik dengan suatu cara hidup atau ideologi. Hasilnya, suatu konsepsi umum tentang masyarakat yang dengan setia dipatuhi oleh setiap orang kecuali beberapa orang yang dianggap sebagai “penyimpang (deviants)”.
Berkaitan dengan konsepsi ini dikenal adanya propaganda agitasi dan propaganda integrasi. Agitasi berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanan yang besar bagi tujuan yang langsung, mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita dalam tahap-tahap yang merupakan suatu rangkaian. Sementara integrasi menggalang kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Melalui propaganda ini orang-orang mengabdikan diri kepada tujuan-tujuan yang mungkin tidak akan terwujud dalam waktu bertahun-tahun.

Propaganda Vertikal : Satu-Kepada-Banyak


Propaganda dalam realitasnya mengambil bentuk vertikal dan horizontal. Bentuk yang pertama adalah representasi propaganda satu-kepada-banyak (one-to-many). Sementara propaganda horizontal bekerja lebih di antara keanggotaan kelompok ketimbang dari pemimpin kepada kelompok. Artinya yang kedua lebih banyak menggunakan komunikasi interpersonal dan komunikasi organisasi, ketimbang melalui komunikasi massa.
Kalau dulu komunikasi satu-kepada-banyak mungkin diwakili oleh propagandis-propagandis lewat pidato-pidato keliling di depan kumpulan partisan mereka, tapi sekarang hal ini lebih sering dilakukan melalui media massa.
Ada beberapa hal pokok yang biasa dilakukan dalam propaganda. Dalam bukunya Dan Nimmo (1993) mengulas ada 7 teknik propaganda penting yang memanfaatkan kombinasi kata, tindakan dan logika untuk tujuan persuasif. Pertama, name calling, memberi label buruk kepada gagasan, orang, objek atau tujuan agar orang menolak sesuatu tanpa menguji kenyataannya. Misalnya menuduh lawan pemilihan sebagai “penjahat”. Kedua, glittering generalities, menggunakan “kata yang baik” untuk melukiskan sesuatu agar mendapat dukungan, lagi-lagi tanpa menyelidiki ketepatan asosiasi itu. Misal AS menyebut operasi mereka ke Afghanistan beberapa waktu lalu sebagai “Operasi Keadilan Tak Terhingga”, dengan misi “hukum tanpa batas” begitu juga saat merencanakan serangan ke Irak, AS menyebutnya sebagai misi kemanusiaan untuk membebaskan manusia dari teror senjata pemusnah massal.
Ketiga, transfer, yakni mengidentifikasi suatu maksud dengan lambang autoritas, misalnya “pilih kembali Mega di Pemilu 2004”. Keempat, testimonial, memperoleh ucapan orang yang dihormati atau dibenci untuk mempromosikan atau meremehkan suatu maksud. Kita mengenalnya dalam dukungan politik oleh surat kabar , tokoh terkenal dll. Kelima, plain folks, imbauan yang mengatakan bahwa pembicara berpihak kepada khalayaknya dalam usaha bersama yang kolaboratif. Misalnya, “saya salah seorang dari anda, hanya rakyat biasa”. Keenam, card stacking, memilih dengan teliti pernyataan yang akurat dan tidak akurat, logis dan tak logis dan sebagainya untuk membangun suatu kasus. Misalnya kata-kata “pembunuhan terhadap pemimpin kita, benar-benar menunjukan penghinaan terhadap partai kita !”. Ketujuh, bandwagon, usaha untuk meyakinkan khalayak akan kepopuleran dan kebenaran tujuan sehingga setiap orang akan “turut naik”.
Prinsip satu-kepada-banyak yang menjadi pegangan propaganda, semakin menemukan momentumnya seiring dengan berkembangnya media massa. Orde Baru misalnya, secara terus menerus memanfaatkan TVRI sebagai ideological state aparatus. Dengan mengusung propaganda “pembangunan”, dalam waktu yang relatif lama mampu bertahan melakukan korporasi terhadap hampir segenap lapisan masyarakat. Persuasi model ini terus dilakukan sehingga rakyat mengidentifikasikan diri menjadi bagian dari anggota Orde Baru.

MEDIA MASSA : Sebagai Saluran Propaganda Politik


Kalau merujuk kepada pendapat Blumler dan Gurevitch (1995), ada empat komponen yang perlu diperhatikan dalam mengkaji sistem komunikasi politik. Pertama institusi politik dengan aspek-aspek komunikasi politiknya. Kedua institusi media dengan aspek-aspek komunikasi politiknya. Ketiga orientasi khalayak terhadap komunikasi politik. Keempat aspek-aspek komunikasi yang relevan dengan budaya politik.
Pendapat hampir senada dikemukakan Suryadi (1993), menurutnya sistem komunikasi politik terdiri dari elit politik, media massa dan khalayak. Dari kedua pendapat tadi dapat kita temui posisi penting media dalam propaganda politik. Setiap persuasi politik yang mencoba memanipulasi psikologis khalayak sekarang ini, sangat mempertimbangkan peranan media massa.

Urgensi Media Massa
Untuk memperkuat argumen bahwa media sangat urgen dalam proses propaganda politik, baiknya kita memahami dulu karakteristik media massa. Media massa merupakan jenis media yang ditunjukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.
Perkataan “dapat” menjadi sangat rasional karena seperti dikatakan Alexis S.Tan (1981), komunikator dalam media massa ini merupakan suatu organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan mengirimkannya secara simultan kepada sejumlah besar masyarakat yang secara spasial terpisah.
Dengan daya jangkau yang relatif luas, dan dalam waktu yang serentak, mampu memainkan peran dalam propaganda. Relevan dengan pendapat Cassata dan Asante, seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat (1994), bila arus komunikasi massa ini hanya dikendalikan oleh komunikator, situasi dapat menunjang persuasi yang efektif. Sebaliknya bila khalayak dapat mengatur arus informasi, siatusi komunikasi akan mendorong belajar yang efektif.
Dalam konteks era informasi sekarang ini institusi media massa seperti Televisi dan surat kabar dipercaya memiliki kemampuan dalam menyelenggarakan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan secara signifikan. Serangkaian simbol yang memberikan meaning tentang realitas “ada” dan pengalaman dalam kehidupan bisa ditransformasikan media massa dalam lingkungan publik. Sehingga bisa diakses anggota masyarakat secara luas.
Tentu saja dalam perkembangnnya, banyak pihak yang terlibat dalam pemanfaatan media massa sebagai instrumen pemenuhan kepentingannya. Sebut saja negara (state), pasar (market), kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (preasure group) dll.
Menurut Denis McQuail (1987), terdapat ciri-ciri khusus media massa antara lain : pertama memproduksi dan mendistribusikan “pengetahuan” dalam wujud informasi, pandangan dan budaya. Upaya tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan sosial kolektif dan permintaan individu. Dalam konteks propaganda, kerja produksi dan distribusi ini akan efektif untuk wujud informasi, pandangan dan budaya sesuai dengan yang diharapkan propagandis.
Kedua, menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu dengan orang lain dari pengirim ke penerima dan dari khalayak kepada anggota khalayak lainnya. Dalam konteks propaganda sangat urgen dalam proses pengidentifikasian diri khalayak sebagai anggota kelompok, entah itu partisan partai, anggota ideologi tertentu atau dalam nasionalisme sebuah negara. Ketiga, media menyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam lingkungan publik. Ini dalam konteks propaganda merupakan suatu hal yang strategis, karena tujuan dari persuasinya ini juga adalah manipulasi psikologi khalayak.
Keempat partisipasi anggota khalayak dalam institusi pada hakekatnya bersifat sukarela, tanpa adanya keharusan atau kewajiban sosial. Ini relevan dengan sifat persuasi yang bukan berupa pembicaraan kekuasaan, bukan ancaman yang mengatakan “jika anda melakukan (tidak melakukan ) X, maka saya akan melakukan Y. Menurut Dan Nimmo mengutip Harold D. Lasswell (1993), pembicaraan kekuasaan lebih dekat kepada kekerasan dan ancaman ketimbang kepada persuasi. Persuasi juga bukan pembicaraan kewenangan atau autoritas yang memerintahkan “lakukan X”. Namun, persuasi merupakan pembicaraan pengaruh yang bercirikan kemungkinan (“jika anda melakukan X, maka anda akan melakukan Y”), diidentifikasi melalui saling memberi dan menerima diantara pihak-pihak yang terlibat, meskipun dalam kenyataannya tidak sesederhana itu.
Kelima, institusi media dikaitkan dengan industri pasar karena ketergantungannya pada imbalan kerja, teknologi dan kebutuhan pembiayaan. Ini merupakan tuntutan yang seringkali mengarahkan media massa untuk lebih menonjolkan aspek komersialnya.
Keenam meskipun media itu sendiri tidak memiliki kekuasaan, namun institusi ini selalu berkaitan dengan kekuasaan negara karena adanya kesinambungan pemakaian media. Dalam konteks propaganda, media massa menjadikan dirinya sebagai medium pesan politik sehingga kenyataannya kekuasaan dan pengaruh secara terus menerus diproduksi dan didistribusikan oleh media massa.

Pembentukan Citra Politik
Media massa yang bekerja untuk menyampaikan informasi dapat membentuk, mempertahankan atau mendefenisikan citra. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi atau sering orang mengatakannya sebagai realitas tangan kedua (second hand reality). TV maupun surat kabar memilih tokoh atau berita tertentu dengan mengesampingkan tokoh dan berita lainnya. Seringkali khalayak cenderung memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Akhirnya, kita membentuk citra tentang lingkungan sosial kita berdarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa.
Lee Loevinger mengemukakan teori komunikasi yang disebut ‘reflektive-projektive theory’. Teori ini beranggapan bahwa media massa mencerminkan suatu citra yang ambigu-menimbulkan tafsiran yang bermacam-macam-sehingga pada media massa setiap orang memproyeksikan atau melihat citranya pada penyajian media massa (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1993). Pengaruh media massa terasa lebih kuat lagi karena pada masyarakat modern orang memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa.
Mengenai masalah ini Schudson (1996) menyebutkan, news (berita) merupakan bagian dari latarbelakang melalui apa masyarakat berpikir. Dia juga menegaskan Institusi berita sebagai aktor sosial ekonomi yang memiliki pengaruh sangat besar. Media merupakan suatu “sebab” terjadinya pendistribusian informasi dengan memilih konsumen yang visible dan terukur.
Saat media memberi publik suatu item berita, dengan sendirinya mereka memberikan legitimasi publik. Media massa membawa persoalan citra ini ke dalam forum publik, dimana hal ini dapat didiskusikan oleh khalayak secara umum. Citra yang dibangun tentu saja bukan sesuatu yang alami, melainkan hasil penyeleksian media melalui political framing (politik pengemasan).
Propaganda politik melalui media massa sebenarnya, merupakan upaya mengemas isu, tujuan, pengaruh, dan kekuasaan politik dengan memanipulir psikologi khalayak. Begitu urgennya media, sehingga Cater menyebutnya sebagai institusi kekuatan keempat dalam suatu pemerintahan atau The Fourth Branch of Government (dalam Sparrow, 1999).
Dalam pelaksanaannya, propaganda di media massa juga tidak bisa mengenyampingkan beberapa hal yang dikenal dalam rumusan Pamela Shoemaker dan Stephen D. Reese (dikutip Susilo, 2000) sebagai model “hierarchy of influence”.
Kalau dideskripsikan, sekurang-kurangnya ada lima hal yang mempengaruhi berita media termasuk di dalamnya isi propaganda. Pertama pengaruh individu-individu pekerja media seperti karakteristik pekerja media, latarbelakang personal dan profesional. Kedua, pengaruh rutinitas media seperti tengat waktu (deadline), keterbatasan tempat (space) dll. Ketiga pengaruh organisasional; keempat pengaruh dari luar organisasi media seperti dari partai politik atau pemerintah yang melakukan propaganda. Kelima pengaruh ideologi yang merupakan sebuah pengaruh paling menyeluruh dari semua pengaruh yang ada. Di sini ideologi dimaknai sebagai suatu kekuatan yang mampu melakukan kohesivitas kelompok. Dengan pengaruh dari kelima faktor tadi, propaganda bisa efektif atau tidak sangat tergantung pada kemampuan untuk memanfaatkan media massa secara efektif. Tentu saja dengan pemahaman terhadap karakteristik media massa yang dipakai. Tidak semua media efektif menjadi medium propaganda dalam suatu konteks tertentu.

Prinsip Propaganda di Media Massa
Tentu saja untuk mengefektifkan propaganda politik di media massa juga sangat perlu memperhatikan beberapa prinsip-prinsip umum yang diturunkan dari riset mengeni pengaruh komunikator dalam keberhasilan usaha persuasif (Dan Nimmo, 1993) :
Pertama status komunikator. Artinya setiap peran membawa status atau prestise tersendiri. Secara umum, semakin tinggi posisi atau status seseorang di tengah masyarakat, makan akan semakin mampu dia melakukan persuasi. Dengan demikian pemilihan propagandis terutama dalam media massa yang diorientasikan mencapai khalayak yang heterogen membutuhkan mereka yang punya status kuat. Misalnya saat Orde Baru, Soeharto merupakan propagandis konsep developmentalism, sementara era Orde Lama Soekarno menjadi propagandis dari tujuan revolusi.
Kedua kredibilitas komunikator. Sasaran propaganda mempersepsi para komunikator dengan beberapa cara. Sejauh mereka mempersepsi bahwa propagandis itu memiliki keahlian, kompetisi, keandalan, dapat dipercaya dan autoritas, mereka menganggap bahwa komunikator itu kredibel. Memang pada perkembangnnya khalayak media, dalam menerima pesan juga membedakan antara apa yang dikatakan dengan kredibiltas sumbernya.
Ketiga, daya tarik komunikator, hal ini meningkatkan daya tarik persuasif. Hal ini terutama berlaku pada homofili, yakni tingkat kesamaan usia, latarbelakang dll seperti dipersepsi orang. Persuasi itu sebagian besar berhasil bila orang mempersepsi komunikator seperti dirinya sendiri secara gamblang. Karena persuasi dalam hal ini propaganda politik merupakan upaya penyebaran informasi dan pengaruh satu-kepada-banyak maka instrumen teknologi yang dapat menyebarkan pesan kepada angota kelompok merupakan hal yang tepat dilakukan. Goebbels, dalam memikirkan strategi kampanye persuasifnya membedakan haltung yang mempengaruhi prilaku, sikap dan perbuatan orang. Sementara stimmung merupakan morel mereka, penerimaan dan retensi imbauan persuasif.
Berbagi pesan propagandis berhubungan dengan keefektifannya dua hal. Pertama isi pesan, hal ini menyangkut model pilihan isi yang dikemukakan dalam propaganda di media massa. Bisa jadi isi yang mengancam orang (isi membangkitkan rasa takut) akan mempersuasi kalayak dalam kondisi tertentu. Kedua struktur pesan, bisa jadi karena ,media yang dipakai adalah media massa yang memiliki keterbatasan waktu atau tempat menyebabkan penyusunan struktur pesan yang efektif dan efesien. Namun terlepas dari segala keterbatasan waktu dan tempat, propaganda di media massa bisa dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi suatu terpaan (exposure). Misalnya, propaganda AS melawan terorisme disampaikan lewat media-media yang berpengaruh secara internasional. Misalnya CNN, CBC, VOA dll. Hal itu juga dilakukan dengan membuat agenda setting di media-media seluruh dunia, mengukuhkan (reinforcement) kalau terorisme itu memang penggeraknya adalah orang-orang timur tengah.

ANALISA : Perspektif Agenda Setting Theory


Berbicara perspektif agenda setting theory sebenarnya merupakan model efek moderat . Ini dikembangkan oleh Maxwell E. McComb dan Donald L Shaw. Menurut Jalaluddin Rakhmat (1997) Perspektif ini menghidupkan kembali model jarum hipodermik, tetapi dengan fokus penelitian yang telah bergeser. Dari efek pada sikap dan pendapat bergeser kepada efek pada kesadaran dan pengetahuan atau dari afektif ke kognitif. Prinsipnya sebenarnya “to tell what to think about” artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dengan teknik pemilihan dan penonjolan media memberikan cues tentang mana issue yang lebih penting. Karena itu, model agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media kepada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak kepada persoalan itu. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Begitu juga sebaliknya apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat.
Propaganda politik di media massa (seperti model yang kita bahas sebelumnya) tentunya tidak lepas dari pembicaraan soal efek, karena ini merupakan entry point bahasan agenda setting. Propagandis yang hendak menggunakan media massa sebagai medium penyampaian pesan politik sudah seharusnya memahami masalah efek ini. Efek terdiri dari efek langsung dan efek lanjutan (subsequent effects). Efek langsung ini berkaitan dengan issues, apakah issue itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak (pengenalan); dari semua issues, mana yang dianggap paling penting menurut khalayak (salience); bagaimana issues itu diranking oleh responden dan apakah rangkingnya itu sesuai dengan rangking media. Efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang peristiwa tertentu) atau tindakan (seperti memilih kontestan pemilu atau melakukan aksi protes). Pada kenyataannya menurut perspektif agenda setting theory, media massa menyaring artikel, berita atau acara yang disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers” seperti penyunting, redaksi bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan.
Yang menarik dicermati, karena pembicara, pemirsa dan pendengar memperoleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat (public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan dan bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang tengah menarik perhatian masyarakat (community salience).
Masyarakat tentunya memiliki hak untuk tahu (right to know) yang akhirnya menjadikan suatu isu atau peristiwa menjadi public sought (permintaan publik) akan informasi tentang isu atau peristiwa tersebut. Media dengan kepentingan teknis, idealisme dan pragmatismenya memilih, mengemas dan akhirnya mendistribusiakan kepada khalayak kalau sesuatu itu penting. Relevan dalam konteks ini, media melakukan pengemasan (framing). Membuat frame berarti menyeleksi beberapa aspek dari pemahaman atas realitas dan membuatnya lebih menonjol. Esensinya dilakukan dengan berbagai cara antaralaian, penempatan (kontekstualisasi), pengulangan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplikasi dll. Merujuk pada pendapat Gamson dan Modigliani (1983), frame merupakan cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan obyek suatu wacana. Sebuah upaya persuasif dalam kemasan propaganda politik di media massa dari perspektif agenda setting tentunya harus memperhatikan bebepara hal pokok. Pertama, struktur makro, artinya makna umum dari suatu tampilan propaganda di media yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan. Kedua, super struktur, yang merupakan struktur propaganda yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks atau acara yang dibuat dan diarahkan kepada khalayak tersusun secara utuh. Ketiga, struktur mikro, ini merupakan propaganda yang dapat diamati melalui bagian kecil dari suatu teks atau acara di media massa. Kalau dalam wujud teks misalnya kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, atau gambar, dan angel pengambilan photo suatu kejadian. Hal-hal yang diamati dalam struktur mikro misalnya meliputi semantik yaitu bagaimana bentuk susunan kalimat yang dipilih. Stilistik, yaitu bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita, dan retoris yaitu bagaimana dan dengan cara apa penekanan itu dilakukan. Propaganda dalam media massa tentu saja berbeda dengan propaganda yang dilakukan lewat model rapat akbar partai dan ceramah di lapangan. Propaganda di media sangat dibatasi dengan waktu atau space yang disediakan. Oleh karena itu kemampuan pengemasan menjadi hal yang sangat pokok.
Dari perspektif agenda setting, media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang. Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang anggap penting. Bila AS secara terus menerus memberi label Irak, Saddam Husein, Osama bin Laden sebagai biang teroris maka lambat laun khalayak internasional bisa mempengaruhi konstruk berpikir khalayak internasional mengenai teroris. Begitu juga saat pemerintah Megawati selalu mempersuasi Bangsa Indonesia kalau Abu Bakar Baasyir dan Jamah Islamiyah sebagai orang dan kelompok membahayakan, maka kemungkinan besar hal ini berpengaruh pada cara berpikir masyarakat. Sama berpengaruhnya saat media selalu menampilkan tokoh tertentu, maka orang tersebut cenderung dianggap tokoh penting.
Seperti dikemukakan diatas, bahwa agenda setting ini merupakan upaya memperbaharui kembali penelitian tentang efek media yang perkasa yang sebelumnya dibangun model jarum hipodermik. Pada model jarum hipodermik yang sering juga disebut “bullet theory”. Dalam konteks propaganda di media massa dengan model ini diasumsikan kalau komponen-komponen komunikator, pesan dan media amat perkasa dalam mempengaruhi komunikan. Pesan propaganda “disuntikan” langsung ke dalam jiwa komunikan yang dianggap pasif menerima brondongan pesan-pesan. Pada umumnya propaganda kalau menggunakan model ini bersifat linier dan stau arah.
Sementara kalau menggunakan model Uses and Gratification justru kontras dengan jarum hipodermik. Model ini tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media. Anggota khalayak diangap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan. Karena penggunaan media hanyalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan psikologis, efek media dianggap sebagai situasi ketika kebutuhan itu terpenuhi. Pendirinya antara lain Katz, Blumler dan Gurevitch. Dari perspektif teori ini berarti propaganda lewat media hanya menjadi salah satu alternatif bagi khalayak dalam memenuhi kebutuhannya. Kalau khalayak media tersebut tidak membutuhkannya maka dengan sendirinya propaganda yang dilakukan tidak akan efektif.
Agenda setting lahir secara lebih moderat, model ini mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak kepada persoalan tersebut. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula masyarakat dan apa yang dilupakan media akan dilupakan juga oleh publik. Dengan demikian propaganda melalui media massa akan efektif, kalau ada upaya mengemas pesan propaganda dalam prioritas isi pesan media. Isi pesan inilah yang menjadi tawaran dalam mempengaruhi cara berpikir kalayak.
Menganalisa propaganda melalui media massa dari perspektif agenda setting, memunculkan beberapa kritik yang perlu dikemukakan. Pertama, tipologi propaganda menjadi propaganda politik dan propaganda sosiologi terlalu menyederhanakan masalah terutama dalam tipologi waktunya. Dalam tipologi Ellul (1951) tersebut, propaganda politik melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai atau golongan berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis dan taktis. Ia beroperasi melalui imbauan-imbauan khas berjangka pendek. Padahal dalam perspektif agenda setting yang dipengaruhi oleh media massa itu adalah pengetahuan khalayak. Sesuatu dianggap penting oleh khalayak kalau secara terus menerus ditampilkan dalam media massa. Ini artinya memerlukan suatu framing waktu dan framing isu dalam suatu kurun waktu tertentu, sehingga mempengaruhi konstruk berpikir masyarakat terhadap isu tersebut.
Kedua, salah satu karaketristik propaganda seperti disebutkan Dan Nimmo (1993) terdiri atas hubungan timbal balik antar orang-orang- bukan satu mendikte yang lain –dan semuanya menghasilkan berbagai tingkat perubahan dalam persepsi, kepercayan, nilai dan pengharapan pribadi. Peruasi disebutkan sebagai proses yang dialektis, baik persuader maupun yang dipersuasi sama-sama responsif. Hanya masalahnya, bagaimana dalam konteks media massa yang memiliki karakter delayed feedback. Seringkali proses dialektis tidak bisa terwujud secara baik dalam propaganda politik di media massa. Pesan politik baik permintaan dukungan, isu atau kejadian politik yang dikemas menjadi prioritas media, memanipulasi aspek psikologis massa. Secara real dalam masyarakat yang daya kritisismenya rendah seperti di banyak kasus negara-negara berkembang, propaganda tidak banyak memberi ruang untuk dialektis.
Ketiga, kita juga perlu mengkritisi perspektif agenda setting dalam menganalisa propaganda politik dimedia massa. Agenda setting memandang media massa melakukan ”to tell what to think about” artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dalam konteks ini, perlu dipertanyakan, apakah penilaian khalayak tentang suatu isu atau pesan propaganda yang dianggap penting itu karena penonjolan yang dilakukan oleh media atau karena faktor-faktor lain. Karena dalam realitasnya, seringkali mainset pemahaman terhadap pesan politik sebelumnya sudah terbentuk melalui pengaruh interpersonal dalam organisasi, dalam norma kelompok atau melalui pemuka pendapat melalui jalinan komunikasi two-step flow-communication.

KESIMPULAN
Dari paparan diatas dapat kita simpulkan beberapa hal penting. Propaganda merupakan salah satu pendekatan dalam persuasi politik, selain retorika dan periklanan. Secara sederhana propaganda didefinisikan sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi. Karena kaitannya dengan karakteristik propaganda sebagai transmisi pesan satu-kepada-banyak, maka media massa menjadi medium pesan yang sangat efektif untuk digunakan. Melalui upaya manipulasi psikologis, propaganda berupaya menyatukan khalayak kedalam suatu organisasi atau tujuan propagandis.
Hanya saja, dalam perspektif agenda setting theory, media massa dalam mengemas propaganda politik dipandang tidak seperkasa bullet thery yang memandang khalayak sangat pasif. Media dipandang bisa menonjolkan pesan propaganda tertentu, supaya menjadi hal yang penting bagi khalayak.

DAFTAR PUSTAKA

Bettinghaus, Erwin P., Persuasive Communication, Second Edition, (New York : Reinhart and Winston, Inc., 1973)
Blumler, Jay G., and Gurevitch, Michael., The Crisis of Public Communication, London and New York : Routledge, 1995)
Dan Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993)
McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, Agus Dharma (terj.), Jakarta : Erlangga, 1987
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1994)
Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997)
Suryadi,Syamsu, Elit Politik dalam Komunikasi Politik di Indonesia, dalam Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun , Indonesia dan Komunikasi Politik, (Jakarta : Gramedia, 1993)
Schudson, Michael, The Power of News, (Massachusetts, London : Harvard University Press, 1995)
Sparrow, Bartholomew H., The News Media as A Political Institution Uncertain Guardian,(Baltimore and London : The Johns Hopkins University Press, 1999)
Tan, Alexis S., Mass Communication Theories and Research, (Ohio : Grid Publising, inc., 1981)v

Abu – Abu Media Dalam Propaganda Politik.

.

Pelaksanaan Pemilu di Indonesia hanya tinggal menghitung jari tangan saja, dan setelah itu masa depan Indonesia untuk lima tahun ke depan akan dipegang oleh sang pemenang dalam pemilu. Tak heran rasanya bila beberapa bulan ini warna – warni atribut partai ataupun caleg menyesaki ruang – ruang public.

Fenomena paling menarik dalam pemilu 2009 ini adalah trend baru dalam menarik simpatisan dengan menggunakan strategi marketing politik serta iklan politik. Ironis memang kalau saat ini kita harus mengakui bahwa politik telah menjadi komoditas bisnis. Media sebagai pusat informasai public merupakan agen utama untuk menjalankan strategi marketing politik ini, lihat saja bagaimana iklan – iklan politik kerap membanjiri acara – acara televise dan juga menghabiskan satu kolom atau lebih dalam media cetak.

Para politisi dan kendaraannya berlomba – lomba menjajakan visi – misinya kepada public di dalam media massa. Suatu kemajuan memang dalam sebuah sosialisasi politik. Namun hal ini seharusnya menjadi pertanyaan bagi insane pers, bagaimanakah pers menanggapi fenomena ini, apakah media massa di Indonesia akan tetap menjaga idealismenya, dengan meminjam istilah Jurgen Habermars media public adalah sebagai watch dog dalam pilar keempat demokrasi , ataukah akan terbawa arus kedalam kesempatan untuk ikut berbisnis? Yang pasti wartawan ataupun jurnalis lebih tahu akan jawaban dari pertanyaan ini.

Marketing dan iklan politik ini sama halnya dengan sebuah propaganda politik. Dimana melalui propaganda inilah partai – partai politik dapat mempengaruhi masa dengan menyebar informasi – informasi yang bersifat fakta maupun manipulative, dualitas antara fakta dan manipulative,tentu pembaca sudah tahu mana yang lebih sering dipakai oleh parpol dan politisi dalam membuat sebuah propaganda politiknya.

Dalam sebuah Negara yang menganut asas Demokrasi, konsep tatanan tiga pilar demokrasi ala montesqiue telah berkembang menjadi empat pilar, yaitu; eksekutif, legeslatif, yudikatif, dan juga pers yang berfungsi sebagai watch dog. Kehadiran media / pers dalam tatanan demokrasi inilah yang akan mengontrol dan menjaga jalannya pemerintah, terutama dalam memberikan kebenaran informasi politik kepada public.

Kehadiran pers sebagai watch dog dalam mengontrol jalannya pemerintah ini ternyata bertolak belakang dengan awal mula lahirnya media, terutama di Indonesia. Ketika masa – masa perjuangan media merupakan salah satu senjata paling mutakhir dalam menyalurkan propaganda politik dan perjuangan.

Sebuah tatanan Negara Demokrasi kini tak lagi hanya berdasar pada trias politica Montesqiue, tiga pilar Eksekutif, Yudikatif, dan Legeslatif tak lagi dapat memberikan kepercayaan public akan pemerintahan yang transparan dan adil. Maka lahirlah media dan kebebasan pers yang berfungsi sebagai watch dog untuk mengontrol jalannya pemerintah. Dan inilah yang saat ini disebut sebagai empat pilar demokrasi modern.

“Terbunuhnya” Kultur Tatap Muka.


Setidaknya sejak era 1980-an, tanpa sadar kita menyelenggarakan “perkabungan” kebudayaan atas “terbunuhnya” kultur tatap muka. “Kita” makin kesulitan untuk bertemu, berdialog secara intens, saling menyelami batin, mencium bau keringat, dan mengenali kemanusiaan dalam sebuah ruangan social yang kondusif. “Kita” mengalami keterasingan: kesendirianpun telah mengkristal menjadi kesunyian.

Dulu, kita bisa bareng – bareng nonton ketoprak, ludruk kelilingan, atau jenis kesenian tradisional lainnya yang manggung di desa atau di kota kita. Tap dimanakah mereka sekarang? Di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta kesenian yang mobil tinggal satu – dua atau bahkan telah punah. Sementara panggung – panggung Ramayana atau wayang orang semakin jauh dari tepuk sorak dan ingar – bingar penonton. Para pemain menggigil dibalut kemiskinan yang mencemaskan.

Begitu juga bioskop – bioskop di kota kecil maupun pinggiran. Sejak era sinepleks menguasai pasar, mereka makin ditinggalkan penontonnya dan akhirnya bernasib teragis: gulung tikar. Ada satu dua bioskop yang masih bertahan, tatapi merekapun hanya tinggal menghitung waktu hingga maut menjuputnya. Nasib yang sama juga banyak dialami banyak sineplex, kecuali yang ada di kota – kota besar, seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya,

Dulu, diberbagai kota muncul banyak lingkaran studi (diskusi) yang mampu melahirkan kesadaran kritis atau wacana – wacana yang membuat benak kita penuh sesak pengetahuan. Dari lingkar disukusi kecil ini banyak lahir tokoh muda, yang kini eksis di berbagai bidang. Kini, mungkin lingkaran diskusi ini masih ada meskipun jumlahnya menyusut tajam.

Paparan contoh di atas hanyalah sebagian (kecil) dari “matinya” seni pertunjukan, yang tentu juga terjadi di kota – kota lain di negeri ini. Kita melihat kenyataan, bukan hanya kesenian yang sepi, tapi juga forum – forum diskusi dan kegiatan sosiokultural lainnya yang di anggap tidak memiliki “nilai – guna”.

Semula kita menyangka: kematian mereka hanya karena dibunuh kapitalisme yang menghadirkan siaran televise di ruang tamu atau hal – hal lain yang member kenyamanan dan mudah dijangkau. Hal itu benar. Kapitalisme memang punya tabiat rakus dalam melipatgandakan modal untuk meraih keuntungan yang sebesar- besarnya. Ia tidak mau peduli dan berbagi dengan nasib pihak – pihak lain yang juga punya hak hidup. Prinsipnya: survival of the fittest. Hanya yang kuat dan berkuasa yang mampu bertahan.

Matinya jenis kesenian atau tontonan yang live ternyata bukan hanya disebabkan perang modal daro “kapitalis” (juragan) kecil melawan kapitlais raksasa. Begitu juga dengan “matinya” forum – forum sosiokultural. Ada hal yang lebih mendasar: “Terbunuhnya” kultur tatap muka dalam masyarakat.

Pragmatisme

Kultur tatap muka tentu tidak sesederhana “pertemuan saling menatap wajah”, melainkan sebuah budaya bercorak komunal yang menganggap penting kebersamaan untuk menciptakan solidaritas social dan merawat nilai – nilai kemanusiaan. Didalam nilai kebersamaan itu, pada hakikatnya, setiap individu memperkuat ikatan sosialnya sekaligus meneguhkan bahwa masing – masing orang merupakan bagian integral dari masyarakat atau komunitas. Di sini setiap individu melakukan pemaknaan social, baik yang terkait dengan diri sendiri maupun terkait dengan orang lain. Selain itu, setiap individu juga melakukan pemaknaan cultural: mereka melakukan dan konfirmasi dan peneguhan (istilah Umar Kayam) atas nilai – nilai ideal yang disepakati bersama.

Siapakah pembunuh kultur tatap muka? Kita bisa mengajukan pragmatimse, sebagai terdakwa. Menurut budayawan Kuntowijoyo, pragmatism berasal dari bahasa latin pragmaticus: praktis, aktif, sibuk; bahasa Yunani pragma berarti bisnis. Filsafat Pragmatisme tumbuh di Amerika Serikat; ditumbuhkan oleh William James (1842 - 1910) melalui buku pragmatism. Pokok ajaran (pragmatism) ini adalah sebuah kepercayaan itu dinilai benar jika berguna. Ukuran dari kebenaran ialah apakah suatu kepercayaan dapat mengantarkan orang kepada tujuan. Pragmatism menolak pandangan tentang kebenaran kaum rasionalis dan idealis, yang tidak berguna dalam kehidupan praktis (Kuntowijaya : 2005).

Pragmatisme menemukan ruang aktualisasi yang luas bersama dengan semakin menguatnya kapitalisme. Kata – kata kunci dalam kapitalisme adalah: praktis, pragmatis, efektif, dan efeisien. Ketika semua orang tanpa reserve mengimanai materialism, maka “nilai – guna” (yang disodorkan pragmatisme) menjadi pilihan paripurna. Kepentingan – kepentingan jangka pendek menjadi pilihan yang harus diambil untuk survive. Apapun, apapun dilakukan demi pereolehan yang dicapai secara instan itu. Segala hal yang tidak “cepat saji” atau “cepat raup” ditolak tanpa permisi dan basa – basi.

Di mata pragmatism, kultur tatap muka dianggap bukan sebagai “kebenaran” karena tidak memiliki guna (mendatangkan hasil secara langsung). Prinsip orang, kudu mikolehi (harus mendapat keuntungan secara konkret atau keuntungan secara cepat raup). Bertabrakan dengan prinsip – prinsip cultural dalam budaya tatap muka; perawatan atau pengukuhan nilai, solidaritas social dan lainnya, bagi orang pragmatis, nilai – nilai itu terlalu abstrak dan “tidak bisa dimasak menjadi nasi” (orang jawa bilang ora biso diliwet).

Kapitalis bergandengan tangan dengan pragmatism telah sukses “mengubur” idealism secara hidup – hidup. Ini terbukti, pragmatism laku dimana – mana: ya bidang politik, ya bidang agama, ya hokum, ya ekonomi, ya pendidikan, komplet. Akibatnya, terjadi humanisasi karena kekuatan modal beroperasi tanpa control, termasuk control dari Negara. Behkan Negara cenderung berposisi sebagai “panitia pasar bebas” yang diciptakan dan dibangun kapitalisme.

Kultur tatap muka, yang salah satu tujuannya, adalah merawat kemanusiaan dari bahaya robotisasi manusia yang diciptakan industrialism juga makin tenggelam ke dalam dasar degradasi manusia. Dalam setiap pertemuan yang cenderung muncul bukan manusia, melainkan actor – actor yang bernama fungsi atau guna. Manusia cenderung tereduksi menjadi sekedar fungsi di berbagai bidang kehidupan. Siapapun yang berupaya merebut kemanusiaannya, mereka akan di cap sok idealis, keras kepala, tidak realistis, jadul ( zaman dulu, kuno ) dan olok – olok lain. Mungkin masyarakat sekarang tidak lagi butuh budaya tatap muka, melainkan tatap fungsi, tatap guna, tatap hasil, tatap upah.