.
Pelaksanaan Pemilu di Indonesia hanya tinggal menghitung jari tangan saja, dan setelah itu masa depan Indonesia untuk lima tahun ke depan akan dipegang oleh sang pemenang dalam pemilu. Tak heran rasanya bila beberapa bulan ini warna – warni atribut partai ataupun caleg menyesaki ruang – ruang public.
Fenomena paling menarik dalam pemilu 2009 ini adalah trend baru dalam menarik simpatisan dengan menggunakan strategi marketing politik serta iklan politik. Ironis memang kalau saat ini kita harus mengakui bahwa politik telah menjadi komoditas bisnis. Media sebagai pusat informasai public merupakan agen utama untuk menjalankan strategi marketing politik ini, lihat saja bagaimana iklan – iklan politik kerap membanjiri acara – acara televise dan juga menghabiskan satu kolom atau lebih dalam media cetak.
Para politisi dan kendaraannya berlomba – lomba menjajakan visi – misinya kepada public di dalam media massa. Suatu kemajuan memang dalam sebuah sosialisasi politik. Namun hal ini seharusnya menjadi pertanyaan bagi insane pers, bagaimanakah pers menanggapi fenomena ini, apakah media massa di Indonesia akan tetap menjaga idealismenya, dengan meminjam istilah Jurgen Habermars media public adalah sebagai watch dog dalam pilar keempat demokrasi , ataukah akan terbawa arus kedalam kesempatan untuk ikut berbisnis? Yang pasti wartawan ataupun jurnalis lebih tahu akan jawaban dari pertanyaan ini.
Marketing dan iklan politik ini sama halnya dengan sebuah propaganda politik. Dimana melalui propaganda inilah partai – partai politik dapat mempengaruhi masa dengan menyebar informasi – informasi yang bersifat fakta maupun manipulative, dualitas antara fakta dan manipulative,tentu pembaca sudah tahu mana yang lebih sering dipakai oleh parpol dan politisi dalam membuat sebuah propaganda politiknya.
Dalam sebuah Negara yang menganut asas Demokrasi, konsep tatanan tiga pilar demokrasi ala montesqiue telah berkembang menjadi empat pilar, yaitu; eksekutif, legeslatif, yudikatif, dan juga pers yang berfungsi sebagai watch dog. Kehadiran media / pers dalam tatanan demokrasi inilah yang akan mengontrol dan menjaga jalannya pemerintah, terutama dalam memberikan kebenaran informasi politik kepada public.
Kehadiran pers sebagai watch dog dalam mengontrol jalannya pemerintah ini ternyata bertolak belakang dengan awal mula lahirnya media, terutama di Indonesia. Ketika masa – masa perjuangan media merupakan salah satu senjata paling mutakhir dalam menyalurkan propaganda politik dan perjuangan.
Sebuah tatanan Negara Demokrasi kini tak lagi hanya berdasar pada trias politica Montesqiue, tiga pilar Eksekutif, Yudikatif, dan Legeslatif tak lagi dapat memberikan kepercayaan public akan pemerintahan yang transparan dan adil. Maka lahirlah media dan kebebasan pers yang berfungsi sebagai watch dog untuk mengontrol jalannya pemerintah. Dan inilah yang saat ini disebut sebagai empat pilar demokrasi modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar