Musuh kaum neoliberal adalah Negara. Mereka memandang, eksistensi Negara itu kontradiktif bagi eksistensi pasar. Negara dipandang merusak mekanisme pasar sehingga menimbulkan aneka macam distorsi.
Milton Freidman, guru kaum neoliberal memang tidak mau menghapus Negara sama sekali. Tetapi, ia baru – baru mengatakan, “What the market does is to reduce greatly the range of issues that must be decide through political means, and thereby to minimize the extent to which government need participate directly in the game.” (Capitalism and Freedom). Kampanye mereka selalu : Negara harus sekecil – kecilnya, pasar harus seluas – luasnya.
Friedman maupun Hayek, adalah anak zamannya. Ketika perang dingin memasuki fase paling panas, para ekonom blok kapitalis (AS) pada tahun 1960-an berusaha meyakinkan bahwa hanya ekonomi kapitalis saja yang paling benar dan paling sah.
Tulisan – tulisan Friedman maupun Hayek pada dasarnya adalah serangan terhadap system ekonomi yang di jalankan Uni Soviet, Eropa Timur, China, Korea Utara, dan sebagainya. ”Ekonomi Komando” di serang habis – habisan dengan menunjuk kepada penindasan, pelanggaran HAM, dan juga pada rendahnya kesejahteraan rakyat pada masa itu. Membaca buku Capitalism and Freedom seharusnya dengan membayangkan apa yang terjadi di Uni Soviet, bukan dengan membayangkan Indonesia.
Dalam perkembangnya, teori neoliberal menjadi ahistoris. Serta merta dikatakan bahwa setiap cara melangsungkan ekonomi dengan system pasar, harus dan niscaya dengan mengecilkan Negara. Mereka lupa bahwa setiap era memiliki masalahnya sendiri dan bahwa setiap teori yang lahir dari sebuah era tidak dapat diterapkan dengan begitu saja. Negara yang menindas seperti Uni Soviet, memang harus dilawan, tetapi Negara di kawasan lain tidak berkelakuan seperti Uni Soviet. Kampanye “emoh Negara” sungguh perlu ketika Negara menimbulkan penindasan dan pelanggaran HAM seperti itu.
Hilangnya Paham Warga Negara
Namun, pemasungan Negara yang di usung kaum neoliberal terlanjur dirayakan sebagai sebuah kebenaran abadi yang harus dianut oleh setiap orang diseluruh dunia. Demikianlah IMF dan Bank Dunia di mana – mana mengabarkan bahwa harus terjadi pasar bebas, privatisasi dan deregulasi. Tetapi ada dampak yang mengerikan, hilangnya, “paham warga Negara”. Sebagai gantinya dipakai paham “rakyat” yang berarti penghuni sebuah Negara. Karena hanya ada rakyat, dan tidak ada warga Negara karena hanya ada rakyat, dan tidak ada warga Negara, Negara yang boleh tidak peduli dengan mereka (laissez faire). Rakyat harus mengurus diri sendiri dengan terjun ke arena pasar. Rakyat dipersilakan menjadi kaya, menjadi pandai, menjadi hebat, sekaligus dipersilakan menjadi miskin, menjadi bodoh, dan menjadi terpuruk – puruk. Kaya – miskin, pandai – bodoh, adalah urusan rakyat.
Sebagai warga Negara – demikian kata TH Marshal, dia memiliki tiga macam hak: politik, social, dan sipil. Dia bisa menuntut bahwa kebebasannya terjamin, kemanannya terjaga. Konsep warga Negara menuntut bahwa Negara tidak berpangku tangan terhadap warga negaranya.
Dapat dinyatakan: untuk apa bernegara kalau Negara tidak peduli? Para pengusung teknologi neoliberal (yang sebagian besar adalah kelompok orang yang beruntung) tentu saja setuju bahwa Negara tidak peduli. Kebutuhan untuk menyusun organisasi yanh disebut “Negara” justru dibutuhkan oleh semua orang dalam rangka membangun kehidupan bersama yang saling peduli. Thomas Hobbes yang terkenal tentang teorinya yang bernama Leviathan juga tidak lupa akan makna Negara seperti itu.
Semua Adalah Konsumen
Hilang konsep warga Negara sebagai gantinya diganti “konsumen”. Semua orang kini harus membeli produk. Rakyat dipersilakan membeli produk – produk yang tersedia di pasar. Memang banyak hal yang diserahkan pada pasar dan rakyat membeli “produk pendidikan” dan “produk kesehaan” , dua hal yang tidak mungkin diserahkan pada pasar.
JIka pendidikan dan kesehatan diserahkan pada pasar, padahal kebutuhan dasar juga diserahkan pada pasar, tentu rakyat tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Itu sebabnya mengapa dibanyak Negara, pendidikan dan kesehatan masih di tanggung (tidak dibantu) oleh Negara.
Hubungan “Negara – warga Negara” kini telah merosot menjadi konsumen – produsen. Negara melapaskan tanggung jawabnya terhadap warga Negara. Negara cukup menyediakan fasilitas kepada para pengusha untuk bisa dibeli rakyat sebagai konsumen.
Hubungan jual beli ini dijadikan pola paling utama dalam mengelola Negara. Dengan sendirinya uang menentukan dalam segala sesuatu. Dengan sendirinya uang menentukan dalam segala sesuatu. Di Negara dengan penduduk hidup dibawah garis kemiskinan, bagaimana pola ini bisa dipertahankan?
Negara akhirnya malah berfungsi sebagai pelindung para pengusaha. Dengan senang hati Negara membiarkan dan memberikan izin kepada pengusaha swasta untuk mengelola, pendidikan, atau kesehatan, bahkan juga keamanan (security). Mau pintar, mau sehat, mau aman, semua dipersilahkan pergi kepada pengusaha.
Istilah outsourcing tetap dipakai disini karena Negara tidak mau mengurus hal – hal yang merepotkan. Tugas Negara bergeser melindungi pengusaha atau segelintir dari warga Negara, dengan membiarkan sebagian besar warga Negara menjadi konsumen atau tidak menjadi konsumen. Bahkan, jika perlu menjual warga Negara menjadi tenaga kerja murah perusahaan global.
Warga Negara bukanlah konsumen. Debat soal neoliberalisme sebaiknya tidak dibatasi pada soal efisiensi ekonomi. Fakta bahwa kita adalah warga sebuah organisasi yang disebut “Negara” harus mendapatkan porsi yang jelas. Untuk apa berorganisasi jika anggota tidak memperoleh manfaat apa-pun?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar