Sabtu, 30 Mei 2009

Gelombang Fundamentalisme


Sebuah kekhawatiran yang muncul di tengah-tengah meluasnya arus-arus demokratisasi di dalam komunitas agama-agama, baik di negara berkembang maupun di negara maju sekalipun yaitu gelombang fundamentalisme. Indonesia dan Malaysia harus diakui bahwa keduanya sedang menghadapi tumbuhnya fundamentalisme.

Setidaknya fenomena tersebut dibuktikan oleh dua hal penting: Pertama, menguatnya sayap Islam Politik, yaitu partai atau gerakan keagamaan yang ingin memasukkan Islam dalam kurikulum politik kebangsaan dan kenegaraan. Fakta tersebut sebenarnya bukanlah hal baru, karena partai-partai Islam sudah ada sejak lama. PAS di Malaysia dan Masyumi, PPP, belakangan PKS mengusung "islamisasi negara" dengan mengatasnamakan Piagam Madinah.

Kedua, menguatnya kecenderungan kelompok-kelompok radikal yang mengusung kekerasan sebagai salah satu inti gerakannya. Khususnya kekerasan dalam menyikapi perbedaan dan keragaman. Kabar tentang penutupan gereja oleh kelompok yang mengatasnamakan doktrin keagamaan tertentu merupakan fakta yang tidak bisa dihindarkan begitu saja. Cara pandang terhadap “yang lain” masih terlihat hitam dan putih, sehingga yang dikedepankan hanya perlawanan dengan menggunakan kekerasan. Bahkan tak tanggung-tanggung, ada gerakan keagamaan yang memurtadkan kelompok yang lain.

Lalu pertanyaannya, kenapa fenomena tersebut terus berkembang, padahal konstitusi kedua negara tersebut sejak awal mengakui sebagai secular democratic constitution? Apa yang mesti dilakukan kalangan muda untuk membangun demokrasi di kedua negara tersebut?

Alasan utama yang tidak bisa dimungkiri, bahwa agama dan negara dua hal yang sulit dipisahkan. Di samping, lemahnya pendidikan demokrasi atau kewarganegaraan di komunitas agama-agama. Artinya, demokrasi bisa masuk dalam ranah negara, tapi dalam ranah agama, seperti tempat-tempat ibadah, demokrasi kadangkala masih dianggap tabu, bahkan belakangan dianggap “barang haram”.

Oleh karena itu, gelombang fundamentalisme di kedua negara ini sulit dihindarkan. Karen Armstrong (2000), pakar sejarah agama-agama secara tegas mengabarkan bahwa fundamentalisme adalah warisan yang inheren dan absah dalam tradisi agama-agama, khususnya agama semitik. Yahudi, Kristen dan Islam sama-sama mempunyai pengalaman dan tradisi fundamentalisme. Karena itu, menguatnya arus fundamentalisme agama-agama di belahan dunia meruntuhkan pelbagai macam tesis dan pandangan. Kemodernan yang dianggap akan dapat menggeser posisi fundamentalisme, tapi pada akhirnya harus menerima fundamentalisme sebagai fakta sosial. Bahkan boleh dibilang, bahwa posisi fundamentalisme dan kemodernan bersifat sejajar.

Mahmood Mamdani, dalam wawancaranya dengan Asia Source, bahwa fundamentalisme adalah fenomena kultural yang melanda agama-agama. Fundamentalisme dalam tradisi Kristen di Amerika, misalnya merupakan sebuah perlawanan atas mereka yang ingin “menyimpang” dari doktrin dan teks keagamaan. Begitu pula Fundamentalisme dalam tradisi Islam juga merupakan upaya untuk mempertahankan sejarah, doktrin dan teks keagamaan. Oleh karena itu, fundamentalisme adalah fenomena historis.

Namun, satu hal yang perlu mendapat perhatian bersama, bahwa fundamentalisme sebagai fenomena historis mengalami perkembangan yang menurut Mahmood harus mendapatkan sebuah apresiasi dan sikap kritis. Dr. Muhammad Imarah (1999) melakukan kritik yang mendasar, terutama bagi mereka yang mencoba mencampuradukkan antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Kristen. Pada mulanya, fundamentalisme dalam tradisi Islam adalah upaya untuk menggali dan bahkan mengembangkan dasar-dasar keagamaan, sebagaimana terdapat dalam khazanah Ushul Fikih. Bagi mereka yang memahami khazanah Ushul Fikih dengan baik, maka Islam akan berwajah progresif. Tapi sebaliknya, bagi mereka yang mendekati teks dan doktrin keagamaan tanpa melalui media Ushul Fikih, maka kemungkinan akan menjadi fundamentalis yang radikal, bahkan teroristik.

Kenyataan ini sesungguhnya menunjukkan adanya keragaman fundamentalisme. Penulis sendiri membagi fundamentalisme dalam dua hal: Pertama, fundamentalisme positif, yaitu fundamentalisme yang menjadikan teks dan tradisi keagamaan sebagai sumber moral dan etika kemaslahatan publik. Kedua, fundamentalisme negatif, yaitu fundamentalisme yang menjadikan teks dan tradisi sebagai sumber dan justifikasi atas kekerasan.

Oleh karena itu, fundamentalisme dalam tradisi Islam sekalipun tidaklah statis dan tidaklah monolitik. Untuk melihat keragaman corak fundamentalisme dalam tradisi Islam bisa dilihat dari keragaman aliran, mazhab, institusi dan tradisinya. Dengan demikian, pandangan Muhammad Imarah dengan mudah dapat dipatahkan, karena melihat fundamentalisme Islam secara doktrinal saja tidak cukup dan cenderung menyederhanakan masalah. Apalagi hanya melihat fundamentalisme dari sisi positifnya dan tanpa melihat sisi-sisi negatif (madharrat) di balik fundamentalisme. Pandangan Muhammad Imarah bahkan bisa dianggap terlalu apologetik.

Sisi negatif yang mulai kentara dari fundamentalisme adalah pergeseran ranah fundamentalisme dari ranah privat menuju ranah publik. Artinya, bila selama ini fundamentalisme agama-agama hanya berkutat dalam kaitan umat dengan teks, maka fundamentalisme mutakhir bergulat dengan politik praktis. Fundamentalisme digunakan sebagai kendaraan untuk merengkuh panggung politik dan mengamini kekuasaan. Mahmood Mamdani (2005) menegaskan, bahwa salah satu fenomena fundamentalisme di era modern adalah kecenderungan politik. Bahkan dengan tegas, Mahmood tidak mau menggunakan istilah “fundamentalisme”. Menurut dia, mereka bukanlah fundamentalis, melainkan gerakan radikal-politis.

Jim Wallis dalam bukunya God’s Politics: A New Vision for Faith and Politics in Amerika menunjukkan wajah baru perselingkuhan antara agama dan politik di negara yang super-demokratis sekalipun. Kalangan kanan-konservatif ditengarai telah menyokong salah satu kepentingan politik tertentu.

Nah, fundamentalisme dan radikalisme merupakan fenomena yang tidak terhindarkan, apalagi di Malaysia dan Indonesia. Dalam hal ini perlu pembacaan kritis atas hal ini. Pembacaan kritis tersebut harus dilakukan dalam dua level sekaligus; Pertama pada level kalangan progresif dan kedua pada level kalangan fundamentalis. Kritik pada kalangan progresif harus dilakukan, karena tumbuhnya fundamentalisme di kedua negara ini disebabkan kurang maksimalnya gerakan progresif. Gerakan progresif di Turki dan Pakistan barangkali lebih mempunyai keberanian dan target sasaran yang jelas. Sedangkan di Malaysia dan Indonesia, menurut Farish A. Noor, tidak memiliki agenda terhadap demokratisasi. Gerakan progresif tidak lebih dari sekadar justifikasi ideologi politik dan pembangunan (2004:2)

Pada level kalangan fundamentalis setidaknya dilakukan dua hal penting: Pertama, kalangan agamawan dari pelbagai agama harus memahami betul fungsi dan posisi agama di tengah-tengah masyarakat. Artinya, kalangan agamawan harus mengembalikan agama kepada khitahnya, yaitu sebagai pembawa obor bagi keadilan dan kesejahteraan sosial. Hal-hal yang hanya menimbulkan kontroversi yang tidak efektif sebaiknya dihindarkan.

Kedua, kalangan agamawan dari pelbagai agama harus mendorong lahirnya gerakan bersama untuk kemanusiaan. Pluralitas adalah sunnatullah yang sejatinya dibingkai dalam kerangka kemaslahatan publik, tanpa harus membatasi pada kepentingan yang bersifat sektarian. Puncaknya, pluralitas harus mampu mendelegitimasi kekerasan yang mengatasnamakan agama apapun.

Kedua hal inilah setidaknya yang akan mampu menetralisir fundamentalisme agama-agama dan mengambilalih peran agama untuk tujuan kemanusiaan dan keadilan sosial. Tapi, harus diakui bahwa untuk mewujudkan hal tersebut tidak semudah membalikkan kedua belah tangan, karena fundamentalisme makin lama makin memperlihatkan kekuatannya. Munculnya sejumlah fatwa yang kontraproduktif dengan kebersamaan dan kemanusiaan setidaknya juga menjadi tanda menguatnya fundamentalisme negatif tadi. Oleh karena itu, wajah keberagamaan yang humanis perlu dikedepankan dalam rangka membangun demokratisasi yang mulai mekar dan tumbuh dengan baik.

Tidak ada komentar: