Sabtu, 30 Mei 2009

Café Zu Den Toten, Aber Immer Jungen Philoshopen

Café ini namanya memang aneh, tapi juga menarik dan membuatku melangkahkan kaki untuk memasukinya. Awalnya aku piker pasti tidak ada pengunjungnya. Sebab siapa lagi yang mau mengunjungi café dengan nama seaneh itu? Aku terkejut sekali sebab ternyata café itu penuh pengunjung. Uniknya hampir semuanya laki – laki.

Aku duduk di sisi sebuah meja dan menganggukkan kepala kepada seorang lelaki tua yang duduk sendirian di sisi meja yang sama. Rasanya aku kenal laki – laki ini, juga pengunjung yang lain, tap aku ragu. Lelaki ini berjenggot pendek, berbibir tebal, dan dahinya lebar. Pakiannya modis, tetapi tatapan matanya seperti bukan dari zaman kita. Aku pandangi wajahnya dengan teliti lalu bertanya, “Maaf, rasanya saya pernah berjumpa dengan anda, tapi saya lupa nama anda. Saya Aank, senang sekali dapat berjumpa kelmbali dengan anda”.

“Aristoteles, begitu juga kiranya saya”, jawab dia kebingungan. Sahabatku tentu engkau tidak akan kaget jika sebelumnya aku mengganggap ini tidaklah mungkin terjadi andai aku tidak tahu bahwa dalam filsafat semuanya adalah mungkin. Nyatanta, kini aku mengenali juga para pengunjung yang lain. Di dekat meja billiard itu seorang lelaki kecil sedang berbicara, jelas lelaki itu adalah Kant. Dia sedang berdiskusi dengan seorang uskup tentang bukti ontologis. Seorang lelaki muda agak dandy, pemalu, dan bertopi sedang berbicara dengan seorang lelaki lain yang tampak elegan dan bersorot mata tajam. Dia sedang berusaha menjelaskan, bahwa kebenaran adalah subyektif dan keimanan diperoleh melalui rasio.

Tapi tentu saja aku sangat senang karena dapat duduk satu meja dengan Aristoteles. “Banyak karya anda yang saya baca, Luar biasa! Tapi saya punya seorang sahabat yang bernama Indonesia yang sedang kesal dengan gambaran perempuan yang anda utarakan”, kataku.

“Masksud anda Republik Indonesia?”

“Ya, anda kenal dia?”

“Ya, tapi tidak secara probadi. Di café ini argument yang sangat baik dihargai. Argument seperti itu selalu cepat sampai kemari. Saya sendiri masih yankin dengan konstansi spesies, namun punahnya spesies memberikan saya argument yang baik untuk menentang guru saya, Plato, dengan cepat saya dapat menyesuaikan diri dengan Darwin. Jadi, Indonesien telah menyebabkan munculnya sebuah koalisi baru di café kami”.

“Baik, baik”, katanya. “Dengan senang hati saya lakukan. Namun, tolong katakana padanya tiga hal. Pertama, tidak seperti yang orang sangka, saya tidak mengingkari bahwa perempuan memiliki jiwa. Bahkan saya juga mengakui bahwa tanaman juga memiliki jiwa. Kedua, kita semua adalah anak zaman dimana kita hidup, apa yang telah saya ungkapkan tentang perbudakan, bagi saya sendiri bahkan lebih menyakitkan. Tapi bila orang tumbuh dalam sebuah masyarakat di mana perbudakan merupakan hal pasti dan adalah alami bahwa perempuan tidak belajar atau menyibukkan diri dengan ide tentang dinosaurus, pendapat semacam itu tidaklah aneh. Dan ketiga, saya ingin anda dan sahabatmu mencermati bahwa kalian juga masih memiliki pandangan – pandangan yang berasal dari ratusan tahun sebelumnya. Maka bersabarlah terhadap seorang lelaki Yunani kuno!”

“Tentu”, kataku. “kami menghormati anda maupun guru anda Plato”. Sewaktu menuju pintu aku melihat seorang laki – laki melambaikan tangannya sebentar ke arahku dan berkata, “Hei, sahabatmu itu sangat kritis. Dia tidak akan mempercayai apa yang kamu tulis untuknya. Karena itu, cobalah tanyakan; jika kamu menganggap aku sekedar bermimpi dapatkah kamu benar – benar membedakan antara kenyataan dan mimpi? Dan jika dia berkata, Tuhan bukanlah pendusta, jawablah: terkadang Dia mendustai kita demi kebenaran.”

Tidak ada komentar: