Sabtu, 30 Mei 2009

ISLAM DI TENGAH ARUS TRASNISI MENUJU DEMOKRASI

“The trantition toward democracy … contains a prolonged and incloncusive political struggle. Some individual, groups, ad class challenge the nondemocratic rules. Democracy may not be their aim; it can means to another end or a by product of struggle for other ends …” (Sorensen, 1993 ; 4)

Pembahasan tentang perkembangan politik umat islam di tengah transisi Indonesia menuju demokrasi, tak ragu lagi, merupakan hal yang amat kompleks. Masalahnya bakal menjadi lebih jauh lagi bila di kaitkan dengan tema tentang “Islam Politik” dan “Islam Kultural”, yang menandai Islam dalam masa transisi, karena kedua corak ini dalam pergumulan yang intens. Karena memang kedua corak Islam tersebut selama ini dipandang secara dikhotomis. Masa sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya, yang di gantikan oleh Habibi, dan kemudian Abdurrahman Wahid sering di pandang sebagai masa kebangkitan (kembali) Islam politik, yang terlihat dari kemunculan banyak sekali partai Islam.

Sebaliknya, Islam cultural yang mendorong “renaisans cultural” kaum muslimin dalam dasawarsa terakhir masa Soeharto, dikhawatirkan akan semakin memudar dalam masa transisi menuju demokrasi sekarang ini.

Semantara itu, kebangkitan Islam politik juga mengandung banyak masalah. Kebangkitan Islam politik menimbulkasn perdebatan politik tidak hanya islam politik versus islam cultural, tetapi juga bahkan keprihatinan. Islam politik yang muncul secara sangat fragmentaris memunculkan poliferasi skisma dan bahkan konflik yang cukup akut di antara berbagai kelompok dan elit politik Muslim.

Mengingat posisi demografis kaum Muslim sebagai warga mayoritas di Indonesia dan menghadapi fragmentasi serta skisma di kalangan umat Islam, maka wajar jika di ajukan pertanyaan; apa kebangkitan Islam politik itu terhaadap terhadap transisi Indonesia menuju demokrasi yang lebih otentik dan genuine?

Dengan kata lain, apakah parpol Islam yang begitu banyak dapat memberikan sumbangan positif kepada transisi Indonesia menuju demokrasi. Tidaklah perlu rasionalisasi atau penyederhanaan terhadap jumlah parpol islam agar mereka mampu memainkan peran lebih konstruktif dalam transisi. Sebab dengan jumlah yang demikian banyak, parpol islam bersama parpol parpol lain sebaliknya justru bisa menjadi kaontraproduktif bagi demokratisasi. Masalah – masalah seperti ini sangat tidak mudah dikaji tuntas.

Tidak ada komentar: