Sabtu, 30 Mei 2009

Hubungan Penolakan Perubahan dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Pegawai


Kinerja pegawai merupakan gabungan dari kemampuan, usaha, dan kesempatan yang dapat diukur dari akibat yang dihasilkan, oleh karena itu kinerja bukan hanya menyangkut karaktersitik pribadi yang ditunjukkan oleh seseorang melainkan hasil kerja yang telah dan akan dilakukan oleh seseorang. Oleh karena itu, kinerja dapat didefinisikan sebagai perilaku-perilaku atau tindakan-tindakan yang relevan terhadap tercapainya tujuan organisasi (Vande Walle, dkk, 2005: 842).

Menurut Danim ha-hal eksternal yang senantiasa mempengaruhi kinerja pegawai antara lain gaya kepemimpinan, ketergantungan, hubungan atasan-bawahan, kultur yang terbangun, kemampuan dan ilmu pengetahuan yang dimiliki, serta sistem penilaian kerja yang diberlakukan (2004: 135-136).

Faktor-faktor di atas sangat sulit dirubah dalam kepegawaian negeri karena citra dan budaya yang terbangun selama ini adalah menjadi pegawai negeri sipil lebih santai dan nyaman dalam berkerja. Maka banyak terjadi perilaku-perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme dala m hal pengangkatan kepala dinas atau pegawai pemerintah negeri atau daerah.

Hal di atas menurut Robbins disebut sebagai resistance to change atau penolakan terhadap perubahan yang merupakan suatu sikap yang muncul dalam proses perubahan organisasi baik berasal dari individu maupun kelompok yang menentang atau menolak perubahan (2003: 632). Penolakan terhadap perubahan pada pegawai dapat terjadi dalam bermacam-macam bentuk misalnya hilangnya kesetiaan, hilangnya motivasi kerja, timbul banyak kesalahan, bekerja lambat, banyak absensi, bahkan dalam bentuk terang-terangan misalnya menyatakan ketidaksetujuan, protes, atau lebih keras lagi dalam bentuk demonstrasi (Cummings dan Worley, 1997: 480).

Ketika pegawai Pemerintah Daerah khususnya Kepala dinas, Camat, Bupati ataupun Menteri sekalipun sedang memegang jabatan basah atau proyek tertentu, maka mereka akan cenderung mempertahankan perilaku-perilaku yang ada karena mereka akan mendapatkan imbalan yang lebih dari jabatan atau proyek yang sedang diusahakan, serta merasa lebih nyaman dalam melakukan kolusi, korupsi, ataupun nepotisme.

Searah dengan hal tersebut menurut Sigit hal-hal yang menyebabkan pegawai enggan untuk memperbaiki suatu keadaan atau meningkatkan kinerjanya karena mereka ingin tetap mempertahankan norma kelompok yang sudah ada, kemudian kemungkinan merasa terancam dengan kedudukan yang telah diperolah, serta menganggap iklim yang terbangun saat ini sangat nyaman untuk bekerja (2003: 267-268). Akan tetapi bila perubahan organisasi dapat dilakukan berdasarkan niali-nilai penghormatan terhadap manusia, saling percaya dan saling mendukung, meratakan kekuasaan, keterbukaan, dan patisipasi maka organisasi akan lebih mendatar dan adhocratic (Sigit, 2003; 271; Ducker dalam Robbins, 1998: 383).

Perubahan dalam hal imbalan kerja pegawai sangatlah didukung karena keadaan yang dirasakan saat ini sangat tidak mencukupi kebutuhan. Hal-hal diharapkan pegawai adalah seperti pemberian bonus atau tunjangan dan pemberian fasilitas, baik pada saat PNS tersebut masih aktif bekerja maupun sudah pensiun, serta pemberian gaji ke -13 pada saat akan merayakan hari raya, atau meningkat gaji pegawai sebesar 100 persen hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja pegawai (Budiyanto, 2006: 46).

Hal yang dirasakan pegawai saat ini adalah minimnya fasilitas dan gaji yang diperolah pegawai, hal tersebut akan menimbulkan sikap negatif pada saat bekerja seperti urusan yang berbelit-belit, rumit akibat birokrasi yang kaku, tidak efektif dan efisien, serta reaktif dibandingkan proaktif (Greenberg dan Baron 2002: 2).

Ketika imbalan kerja dalam hal ini gaji pegawai telah terpenuhi maka tidak menutup kemungkinan kinerja pegawai negeri sipil akan lebih efektif dan efisien. Hasil penelitian dari Thomas Sy dkk membuktikan bahwa kinerja pegawai dalam organisasi sangat dipengaruhi oleh tiga hal yakni a) kecerdasan emosional, dalam hal ini kecerdasan emosional yang tinggi akan membuat pegawai lebih positif untuk berfikir tentang organisasi dan hal tersebut akan memotivasinya untuk bekerja le bih giat, b) kepribadian yang dikontrol akan membentuk sikap dan mental yang lebih terbentuk dan terarah dalam bekerja, c) kepuasan kerja yang terpenuhi baik bersifat ektrinsik maupun intrinsik akan membuat pegawai lebih termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya (2005: 6-7).

Ketika ketiga hal tersebut terpenuhi dan diiringi dengan perbaikan- perbaikan kerja dan sistem kerja baik bersifat eksternal maupun internal maka performansi pegawai akan meningkat. Seperti ditegaskan Bupati Lampung TengahSampurnajaya sudah saatnya pegawai negeri khsususnya aparatur Pemda untuk menanamkan sikap kedisipilinan, tanggung jawab, maupun profesionalime kinerja dalam upaya membangun kepercayaan publik

Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja yang dialami pegawai negeri sangatlah minim jika dilihat dari fasilitas dan gaji yang diperolah, akan tetapi banyak sekali orang yang ingin menjadi pegawai negeri. Hal tersebut menunjukkan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap secara umum dan tingkat perasaan positif seseorang terhadap pekerjaannya (Robbins, 2003: 152). Lebih lanjut Greenberg dan Baron mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap positif atau negatif yang dimiliki seseorang terhadap pekerjaannya (2000: 2).

Kepuasan kerja merupakan suatu perasaan yang menyenangkan, yang timbul sebagai akibat dari persepsi pegawai, bahwa dengan menyelesaikan tugas atau dengan berusaha untuk menyelesaikan pekerjaan memiliki nilai yang penting dalam pekerjaan tersebut (K lein, 1988: 630). Lebih lanjut Ardic dan Bas mendefinisikan kepuasan kerja pada reaksi perorangan emosional positif terhadap pekerjaan tertentu. Hal ini cenderung sebagai reaksi terhadap suatu pekerjaan yang diakibatkan oleh perbandingan hasil nyata denga n yang diinginkan dari seseorang (2002). Sedangkan menurut Locke mengemukakan dua model kepuasan kerja berbeda yaitu atas-bawah, di mana kepuasan diperoleh dari bagaimana orang menginterpretasikan lingkungan kerja seseorang, dan bottom-up atau dari bawah ke atas, di mana kepuasan diperoleh dari pengalaman tentang hal positif dari kondisi-kondisi kerja yang lebih (dalam Munandar, 2000: 356).

Menurut Locke kepuasan kerja merupakan penilaian pekerjaan seorang individu yang merupakan pencapaian atau pemenuhan hasil terhadap nilai-nilai kerja seorang individu (Siegel dan Lane; dalam Munandar, 2001: 352). Pemberian nilai-nilai ini membantu memenuhi kebutuhan dasar individu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pegawai yang puas dengan pekerjaannya merasa senang dengan pekerjaannya. Lebih lanjut Locke mencatat bahwa perasaan-perasaan yang berkaitan dengan kepuasan atau ketidakpuasan kerja lebih cenderung mencerminkan penaksiran dari pegawai mengenai pengalaman-pengalaman kerja pada saat ini dan masa lampau daripada harapan-harapan untuk masa yang akan datang (Munandar, 2001: 352).

Berdasarkan beberapa teori di atas menunjukkan bahwa kepuasan kerja bertitik tolak dari individu masing-masing dalam mempersepsikan pekerjaannya sehingga menimbulkan reaksi balik terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja merupakan perasaan atau sikap dari pegawai (individu) terhadap pekerjaannya, dimana sebagai umpan balik dari pekerjaannya sebagai perwujudan dari kinerjanya. Kepuasaan kerja ini akan dicapai seandainya terpenuhi sebagian besar dari kehendak individu atau kelompok dari keseluruhan pelaksanaan tugas dan keterlibatan seseorang dalam pekerjaannya.

Keberhasilan perubahan membutuhkan pencairan (unfreezing) status quo, perpindahan (moving) ke keadaan yang baru, dan pembekuan kembali (refreezing) perbahan tersebut agar menjadi permanen. Ada beberapa taktik dalam untuk mengatasi penolakan terhadap perubahan yakni:

Pendidikan dan komunikasi

Penolakan dapat dikurangi dengan melakukan komunikasi dengan para pegawai untuk membantu mereka melihat logika dari perubahan. Taktik tersebut pada dsarnya berasumsi bahwa sumber penolakan perubahan terletak pada salah informasi atau komunikasi yang jelek. Jika para pegawai menerima fakta secara penuh dan menghilangkan kesalahpahaman, maka perlawanan tersebut akan mereda. Hal ini dicapai melalui diskusi perorangan, memo, presentasi kelompok atau laporan.

Partisipasi

Orang sukar menolak suatu keputusan tentang perubahan jika ia terlibat di dalamnya. Dengan mengasumsikan bahwa para pegawai mempunyai keahlian untuk memberi kontribusi yang berguna, keikutsertaan mereka dapat mengurangi perubahan, mendapatkan komitmen, dan meningkatkan kualitas dari keputusan mengenai perubahan.

Bantuan dan dukungan

Agen-agen perubahan dapat menawarkan sejumlah usaha yang mendukung untuk mengurangi penolakan. Jika ketakutan serta ketegangan dari pegawai itu tinggi, maka konsultasi dan terapi pegawai, pelatihan ketrampilan baru, atau liburan pendek yang dibayar dapat membantu berlangsungnya penyesuaian.

Negoisasi

Taktik ini mengisyaratkan pertukaran suatu yang bernilai untuk mengurangi penolakan. Misalnya jika perlawanan itu dipusatkan pada sejumlah kecil individu yang berkuasa, sebuah paket imbalan dapat dinegoisasikan untuk memenuhi kebutuhan peribadi mereka.

Manipulasi dan cooptasi

Manipulasi merujuk pada usaha untuk mempengaruhi secara terbuka. Memutarbalikan dan mengubah fakta agar tampak lebih menarik, menyimpan informasi yang tidak menguntungkan atau menciptakan khabar angin yang salah agar para pegawai menerima suatu perubahan. Cooptasi adalah suatu bentuk manipulasi dan patisipasi. Cooptasi berarti mencoba menyuap suatu pimpinan kelompok penolak dengan memberikan peran penting dalam keputusan mengenai perubahan. Saran dari mereka yang telah di cooptasi dicari bukan untuk menghasilkan suatu keputusan yang lebih baik tetapi hanya untuk mendapatkan persetujuan dari mereka.

Paksaan

Ini merupakan taktik yang menerapkan ancaman atau kekerasan langsung terhadap mereka yang menolak sperti ancaman dipindahkan, hilangnya promosi, evaluasi prestasi kerja yang negatif, atau surat rekomendasi yang jelek (Robbins, 1998: 432).

Lebih lanjut Kreitner dan Kinicki memaparkan bahwa sebelum melakukan pendekatan-pendekatan spesifik untuk mengatasi penolakan terhadap perubahan, terdapat empat kunci konklusi yang harus selalu diperhatian, yaitu:

  1. Organisasi harus siap untuk perubahan. Seperti meja yang selalu disiapkan sebelum makan, begitu juga organisasi harus selalu siap untuk perubahan yang menunjukkan keefektifan organisasi tersebut.
  2. Perubahan organisasi akan gagal jika manajemen puncak gagal dalam memberikan informasi mengenai perubahan pada anggota organisasi.
  3. Jangan berasumsi bahwa anggota organisasi melakukan penolakan terhadap perubahan secara sadar. Manajer harus menggunakan model sistem perubahan untuk mengidentifikasi hambatan yang disebabkan oleh proses implementasi.
  4. Persepsi atau interpretasi anggota organisasi mengenai perubahan secara signifikan dapat menyebabkan penolakan. Anggota organisasi tidak akan menolak perubahan jika mereka berpendapat bahwa keuntungan dari perubahan dapat mereka rasakan juga (2001: 674-675).

Berdasarkan keempat hal di atas, maka para atasan, pemegang jabatan,atau manajer dari suatu organisasi disarankan untuk:

  1. Memberikan informasi sebanyak mungkin mengenai perubahan kepada para pegawai.
  2. Menjelaskan alasan dilakukannya perubahan.
  3. Mengadakan pertemuan agar para pegawai dapat bertanya mengenai hal- hal yang berkaitan dengan perubahan.
  4. Memberikan kesempatan kepada semua pegawai untuk mendiskusikan bagaimana perubahan dapat menguntungkan mereka. Rekomendasi- rekomendasi tersebut sangat penting dan dapat dikomunikasikan dengan semua pegawai selama berlangsungnya proses perubahan.

Resistensi atau penolakan terhadap perubahan (resistance to change) adalah suatu hal yang sering terjadi dan bersifat alamiah jika dalam suatu organisasi terjadi perubahan (Reksohadiprojo dan Handoko, 2001: 324).

Dalam skala penolakan terhadap perubahan ini diharapkan mampu mengungkapkan sikap penolakan terhadap perubahan pegawai sebagaimana dirumuskan oleh Robbins (2003: 633) serta Reksohadiprojo dan Handoko (2001: 326). Sikap penolakan terhadap perubahan diungkapkan melalui aspek-aspek kebiasaan kerja, ekonomis, persepsi terhadap informasi, yang berhubungan dengan orang lain, ideologis atau nilai-nilai individual keamanan dalam kerja, dan aspek loyalitas terhadap organisasi.

Sikap penolakan terhadap perubahan terdiri atas delapan aspek, yakni:

  1. Aspek kebiasaan kerja merupakan kebiasan-kebiasan kerja yang sering dilakukan pegawai Pemerintah Daerah seperti datang kerja lebih lambat, pulang kerja lebih cepat, dan suka bersendagurau hanya untuk menghabiskan waktu.
  2. Aspek ekonomis adalah perubahan karakter kerja atau stabilitas rutinitas kerja yang dapat mempengaruhi ketakutan-ketakutan keadaan ekonomi yang tidak mereka inginkan seperti pekerjaan baru yang harus memenuhi standar kemampuan dan keahlian serta tuntutan produktifitas kerja yang tinggi.
  3. Aspek keraguan terhadap kemampuan adalah rasa percaya diri yang kurang dan bahkan tidak ingin melakukan kompetensi kerja berdasarkan kemampuan dan profesionalitas.
  4. Aspek persepsi terhadap informasi adalah proses seleksi individu ata u pegawai terhadap informasi yang diterima. Ketika sekelompok pegawai telah membangun dunia mereka sendiri (budaya kerja), maka mereka akan menolak terhadap perubahan yang di anggap merugikan.
  5. Aspek yang berhubungan dengan orang lain adalah kemampuan individu untuk mempengaruhi dan menjalin hubungan dengan orang lain (teman kerja).
  6. Aspek nilai-nilai individual adalah keyakinan kekal, minat, dan pertimbangan-pertimbangan yang mengandung emosi dalam diri individu, yang menjadi pedoman guna menentukan be rbagai pilihan penting dalam pekerjaan.
  7. Aspek keamanan dalam kerja lebih cenderung pada orang-orang yang memegang jabatan atau manajemen puncak membutuhkan jaminan keamanan agar perubahan yang dilakukan tidak mengancam keselamatan mereka.
  8. Aspek loyalitas terhadap organisasi merupakan sikap mau mengorbankan kepentingan individu atau kelompok demi tercapainya tujuan organisasi. Kedelapan asepk tersebut disusun oleh Robbins (2003: 633) dan Reksohadiprojo dan Handoko (2001: 326) berdasar teori Drucker.

Tidak ada komentar: