Sabtu, 30 Mei 2009

Tamatnya Ideologi dan Latar Belakang


ADA kecenderungan yang sangat kuat bahwa ideologi sudah tamat riwayatnya. Itulah kecenderungan yang terjadi dalam konteks mencari wakil presiden yang sedang giat-giatnya dilakukan elite partai. Proses masih terus berjalan, tetapi kecenderungan itu sudah dapat dilihat.

Pencalonan SBY menjadi presiden dari Partai Demokrat kiranya akan didukung empat partai yang berbasiskan Islam, yaitu PKB, PKS, PAN, dan PBB, serta partai berbasiskan Kristen PDS.
Sementara itu, calon presiden Megawati Soekarnoputri yang diusung PDI Perjuangan akan berkoalisi dengan Gerindra dan Hanura serta banyak disebut dengan PPP yang berlambang Kabah. Bila itu yang terjadi, itulah perkawinan paham kebangsaan dengan Islam.

Bagaimana dengan calon presiden Jusuf Kalla yang dijagokan Partai Golkar? Sampai kemarin belum jelas Golkar akan berkoalisi dengan partai apa.

JK telah bertemu dengan Megawati dan Prabowo, tetapi belum ada tanda-tanda terjadi koalisi.
Yang jelas, sulitnya mendapatkan 25% suara rakyat atau 20% kursi DPR menyebabkan koalisi untuk mencari cawapres menjadi cair dan longgar.

Gejala umum yang muncul ke permukaan adalah pengelompokan parpol-parpol dalam koalisi tidak lagi terikat kepada kesamaan ideologi. Partai-partai atau tokoh-tokoh yang berbeda secara ideologis ternyata tidak memiliki hambatan berkoalisi untuk mengusung kepentingan yang sama.
Bahkan, latar belakang sejarah yang berlawanan pun tidak menjadi perkara. Itulah yang mengundang banyak pertanyaan.

Dalam gerbong yang mengusung incumbent SBY sebagai capres misalnya, ada Partai Demokrat, PKS, dan PDS yang dalam konteks ideologis sesungguhnya terpaut jarak cukup jauh. Namun, perbedaan itu tidak menghalangi partai-partai tersebut untuk berkoalisi.

Koalisi Megawati dan Prabowo adalah koalisi dua latar belakang yang saling berseberangan. Soemitro Djojohadikusumo adalah ayah Prabowo yang merupakan 'musuh politik' Bung Karno yang adalah ayah Megawati.

Ayah keduanya berseberangan secara politik, tetapi kini pada generasi anak, ternyata dapat bertemu dan bersatu untuk mengusung kepentingan bersama. Pertanyaannya adalah mengapa partai-partai atau tokoh-tokoh yang secara ideologis dan latar belakang sejatinya ibarat air dan minyak itu dapat berkumpul dalam sebuah koalisi? Tidakkah yang sepenuhnya bekerja semata pragmatisme? Demi kepentingan sesaat, ideologi partai dapat disingkirkan.

Demi memperoleh kursi kabinet, perbedaan dapat dilupakan. Pertanyaannya adalah berapa lama kekompakan itu bisa bertahan? Kabinet Indonesia Bersatu tentu saja dapat menjadi bukti bahwa koalisi rapuh karena terlalu banyak yang diakomodasi tanpa mempersoalkan platform.

Koalisi yang sehat adalah koalisi yang didasarkan pada kesamaan platform. Bisakah kesamaan platform itu dibentuk secara mendadak? Singkatnya, pemilu presiden kali ini jelas sebuah medan persaingan yang unik. Yaitu tidak soal siapa berkoalisi dengan apa dan siapa, yang penting bisa menang menjadi presiden.

Tidak ada komentar: