Sabtu, 30 Mei 2009

Kami Seniman Jalanan


Namaku Erros. Bukan Erros Sheila on 7, tapi Erros. Hanya Erros. Aku bukan siapa-siapa. Aku terlahir sebagai seorang anak jalanan. Ibuku membuangku di jalanan ketika aku masih bayi. Aku ditemukan dan dirawat oleh sebuah keluarga miskin. Sejak itu sampai sekarang aku berumur 16 tahun, aku tidak pernah tahu siapa ibuku dan mengapa aku dibuang. Ketika usiaku 7 tahun, orangtua angkatku meninggal karena sakit dan terpaksa aku hidup sendiri. Namun nasib membawaku bertemu dengan Bedu. Beberapa lama kemudian kami bertemu dengan Ita, seorang gadis yang juga anak jalanan. Dengan latar belakang kehidupan yang sama kami pun jadi sahabat yang tidak terpisahkan. Sebagai anak jalanan kami tidak punya orang tua yang membiayai hidup kami. Kami hanya bisa bernyanyi di pinggir jalan sambil menunggu orang-orang lewat yang berbaik hati kepada kami. Kami tidak pernah mau mencuri. Meskipun lapar kami tetap bertahan menunggu keberuntungan. Melalui tulisan ini aku ingin menceritakan sepenggal kisahku bersama dengan kedua temanku ini, khususnya Bedu, sahabatku sejak aku masih kecil.

Masyarakat menyebut kami pengamen. Tidak. Kami bukan pengamen, kami adalah seniman jalanan yang tidak mendapat kesempatan seperti seniman-seniman lainnya. Hal itu selalu dikatakan oleh Bedu kepada orang-orang yang meremehkan kami. Meski hanya bermodalkan gitar murahan yang sudah kumal, drum mini yang kami kumpulkan satu persatu dari drum yang telah rusak dan dibuang, juga suara-suara yang pas-pasan, kami tetap melantunkan lirik-lirik indah ciptaan kami dengan penuh penghayatan. Itulah mengapa Bedu menyebut diri kami seniman jalanan. Bedu seorang yang ceria dan tak pernah merasa putus asa. Ia yang selalu membangkitkan semangat kami ketika kami kelaparan dan tidak punya uang. Ia juga yang mengajari aku dan Ita bermusik. Kalau bukan karena dia, mungkin kami sudah menjadi pengamen yang harus setor kesana kemari. Namun, kenangan indah kami bersama Bedu hanya dapat kami ukir sampai saat itu. Ya, hanya sampai saat itu.

Malam itu dingin dan kelam. Bulan purnama memantulkan sinarnya dengan indah menambah indahnya malam. Begitu sunyi sampai hanya suara kucing liar dan nyanyian jangkrik yang terdengar di telinga kami. Kami bertiga tidur bersama hanya dengan beralaskan sarung bekas yang telah usang di sebuah rumah kecil yang beratapkan seng. Rumah kecil itu kumuh namun menyimpan begitu banyak kenangan selama 9 tahun hidup kami bersama. Di salah satu sudut dinding kayu, terpajang sebuah gambar buatanku menggambarkan tiga orang anak sedang bergandengan dan bernyanyi riang. Mereka adalah kami. Di tengah keheningan malam Bedu membuka pembicaraan.

“Ros, Ta, apakah kau berdua masih tidur?” tanya Bedu pelan.

“Eng… kenapa kamu Du?” tanya Ita balik, ternyata ia belum tidur.

“Ros.”

“Ros!” panggil Ita sambil mengguncangkan tubuhku.

“Uuh… ada apa Ta? Gue lagi tidur nih!” gerutuku kesal.

“Itu… Bedu.”

“Eh… kenapa Du?”

“Mm… begini. Aku cuma ingin tanya pada kau berdua,” kata Bedu.

Wajah Bedu terlihat agak pucat. Perkataannya terdengar seperti ia ingin berbicara mengenai hal serius. Jarang sekali aku dan Ita melihat wajah Bedu seperti itu. Kami berdua pun bangun untuk mendengarkan lebih serius. Bedu juga bangun dan kami duduk membentuk sebuah lingkaran kecil.

“Kita sahabat kan? Kita akan terus bersama bukan?” tanya Bedu sambil melihat wajahku dan Ita bergantian seakan menuntut jawaban secepatnya.

“Tentu saja Du. Sudah 9 tahun kita bersama, bertiga di bawah atap seng ini tentu kita sahabat dan akan selalu bersama,” jawab Ita lembut.

“Ita benar. Kita sahabat dan akan selalu bersama. Gue, elo, Ita. Kita ini tiga sahabat. Nggak akan ada yang bisa misahin kita,” kataku.

“Aku sayang kau berdua, Ros, Ta,” kata Bedu. Ia lalu memeluk kami berdua.

“Kita juga sayang kamu kok Du.”

“Iya, gue sayang elo semua.”

Di tengah sunyinya malam, angin bertiup cukup keras mengguncang rumah kecil kami. Perlahan gambar lukisanku terlepas dari dinding dan terjatuh.

Keesokan harinya kami bertiga bernyanyi di sebuah perempatan jalan. Saat itu jalanan ramai dengan pejalan kaki, tidak seperti biasanya. Hatiku serasa ada yang mengganjal. Apalagi sejak perbincangan malam sebelumnya. Sambil bermain gitar aku melihat ke sekitarku. Kulihat beberapa anak jalanan yang memang dari dulu sangat memusuhi kami. Mereka tidak menyukai kami karena kami tidak ingin bergabung dengan mereka. Tentu kami tidak mau, karena kegiatan mereka sehari-harinya adalah mencuri. Terkesan naif sekali bagi anak-anak seperti kami, tapi inilah pilihan yang kami jalani. Kuputuskan untuk menghiraukan mereka. Sepertinya hari ini mereka tidak akan mengganggu kami. Begitu pikirku saat itu. Ternyata dugaanku salah.

Tidak lama kemudian, diantara pejalan kaki yang baru saja memberikan sumbangannya kepada kami berteriak histeris.

“Kyaaa!! Dompet saya hilang!!!” teriaknya sampai seluruh pejalan kaki mengarahkan pandangannya ke arah asal suara ibu tersebut.

Saat itu Ita sedang memungut sebuah dompet yang tergeletak dekat dengan topi yang sengaja ia letakkan untuk menaruh uang saweran. Ibu itu celingukan mencari dompetnya. Saat itulah malapetaka itu terjadi. Seorang anak jalanan yang bernama Obet berteriak lantang.

“EH!! COPET!!” teriaknya sambil menunjuk ke arah Ita.

Orang-orang yang berada di perempatan kali ini mengarahkan pandangannya kepada kami.

“Ah! ITU DOMPET SAYAA!!” teriak ibu itu.

“Eh, copet. Copet!” teriak orang-orang di sekitarnya.

“Bukan!! Aku bukan copet!! Ini saya temukan di dekat topi saya,” jelas Ita sambil sedikit terisak.

“Masih berani bohong!”

Beberapa orang mulai mengerumuni kami dan mencoba untuk menghakimi Ita. Dengan sigap Bedu menarik Ita menjauh dari kerumunan sedangkan aku mengambil dompet dari tangan Ita dan melemparkannya ke arah kerumunan orang-orang.

“LARI!!!” teriakku dan Bedu bersamaan.

Kami bertiga berlari meninggalkan perempatan. Drum dan topi saweran kami tinggalkan dan hanya gitar murahanku yang bisa kami bawa. Dari kejauhan kulihat anak jalanan itu mengambil uang saweran dan menyimpannya dalam saku celanannya. Ia lalu tersenyum ke arah kami, senyum licik penuh kemenangan palsu. Dengan tatapan penuh dendam rasanya ingin sekali saat itu aku menusuknya dengan belati berkarat. Kuurungkan niatku dan terus berlari. Saat itu aku menabrak seorang bapak-bapak dan aku terjatuh. Gitarku terpental jauh ke belakang. Bedu yang melihat itu reflek segera berbalik dan mengambil gitar tersebut, namun orang-orang yang mengejar kami sudah sangat dekat. Ia melemparkan gitar itu kepadaku.

“ERROS!!! AMBIL GITARNYA! LARII!” teriak Bedu.

Aku segera mengambil gitar itu dan berlari. Kulihat Bedu telah terkepung oleh orang-orang yang mengejar kami. Bersamaan mereka memukul Bedu yang hanya mampu berlindung sambil menerima dengan pasrah pukulan-pukulan yang menghujam tubuhnya. Saat itu aku melihat salah satu kawanan Obet membawa sebuah pisau berkarat dan di tengah hiruk pikuk itu ia menghujamkan pisau ke arah jantung Bedu. Darah pun muncrat berceceran. Sedangkan kawanan Obet itu telah keluar dari kerumunan orang-orang dan segera melarikan diri. Aku segera mengejar salah satu kawanan Obet itu sementara orang-orang berhenti memukuli Bedu dan satu per satu mereka pergi meninggalkan Bedu seakan-akan tak terjadi apa-apa. Ita yang sudah berada jauh dari kami segera berlari menuju tubuh Bedu yang tergeletak tidak berdaya. Sementara itu aku terus mengejar kawanan Obet itu yang setelah kuamati ternyata bernama Sogi. Gerakannya sangat lincah, mungkin kebiasaannya mencuri yang membuatnya seperti itu. Di tengah kerumunan orang-orang ia terus meliuk-liuk melewati banyak orang. Aku tak sanggup lagi mengejarnya. Aku sudah tertinggal jauh. Dengan kesal aku berteriak lantang.

“BERENGSEK KAU SOGI!!!!!!!!” teriakku.

Dalam keadaan kesal aku berlari kembali menuju Bedu dan Ita. Ita terlihat sedang menangis sambil memeluk tubuh Obet. Orang-orang terlihat tidak peduli dan berjalan seakan Bedu hanyalah seekor kucing yang mati terlindas mobil. Aku segera mencoba untuk menelepon ambulans. Aku lalu meminta bantuan kepada orang-orang disekitar, namun mereka tampak tidak ingin telibat dalam masalah ini. Dalam hati aku memaki mereka. Seperti inilah wajah masyarakat kita, mereka tega membiarkan orang menderita karena tidak ingin terlibat masalah. Aku tak lagi mengharapkan bantuan dari orang-orang picik seperti mereka, aku hanya bisa berharap dan berdoa supaya ambulans cepat datang. Sementara itu Ita sedang mencoba memberikan pertolongan pertama. Aku hanya mampu melihat mereka. Tak lama kemudian ambulans datang dan segera memberi pertolongan pertama. Ia segera dibawa ke rumah sakit, aku dan Ita mendampinginya. Selama perjalanan Ita terus menangis sambil menggenggam tangan Bedu. Perlahan Bedu sadar dan di sela-sela penderitaan Bedu, Bedu menyampaikan pesan terakhirnya pada kami. Ia melepaskan genggaman Ita. Ia lalu menunjuk dirinya, membentuk sebuah lambang cinta dengan kedua tangannya dan menunjuk kepadaku dan Ita. Namun memang nasib tak berpihak pada kami. Sesaat setelah Bedu menyampaikan pesannya itu, Bedu menghembuskan nafas terakhirnya di mobil ambulans.

Jenasah Bedu telah dibersihkan dan dikembalikan kepada kami. Kami yang memang tidak memilki apa-apa hanya bisa menguburkan Bedu secara sederhana di samping rumah kami. Yang dapat kami lakukan hanyalah membuat nisan seindah mungkin dengan potongan kayu dan tripleks bekas. Ke dalam kuburnya kutinggalkan kalung salib milikku dan kitab suci juga gambar yang kulukis. Sedangkan Ita meninggalkan sebuah Rosario miliknya. Ita tidak lagi menangis, namun matanya masih sembab akibat menangis semalaman. Wajahnya masih menunjukkan kesedihan yang sangat mendalam. Begitu pula aku. Kesedihanku memang tidak terlihat dari wajah, tapi aku merasakan rasa sesak yang tak biasa di hatiku. Ini bukan rasa kesal, ini adalah rasa sesal dihatiku karena aku telah membiarkan sahabatku meninggal didepan mataku. Seandainya saja aku lebih hati-hati terhadap kawanan Obet, Bedu pasti masih ada disini bercanda dan bernyanyi bersama.

Lima tahun telah berlalu sejak kematian Bedu. Aku dan Ita sudah lama sekali bisa membiasakan diri tanpa keberadaan Bedu. Kami tidak melupakannya. Bedu tetap ada di hati kami, melindungi kami. Sekarang aku dan Ita masih tinggal di rumah yang sama, namun rumah itu telah kami perbesar karena saat ini bukan hanya aku dan Ita yang tinggal di sana. Beberapa anak yang terbuang seperti kami, kami ajak tinggal bersama. Beruntunglah ada orang baik yang memberikan bantuan kepada kami sehingga kami bisa membangun sebuah rumah yang cukup layak untuk kami tinggali. Yang aku tahu, ia adalah seorang aktifis sosial. Ia tidak pernah memberitahukan namanya, ia hanya meminta kami menyebutnya Pak De.

Aku bersama Ita dan beberapa anak jalanan yang telah tinggal bersama kami, masih terus bernyanyi di perempatan jalan, namun di kota yang berbeda. Aku dan Ita memutuskan untuk pindah tempat kerja kami karena di tempat kami yang dulu telah direbut oleh kawanan Obet. Kami tidak ingin mencari masalah dengan mereka. Meski Bedu telah pergi, semangatnya telah tertanam pada diri kami. Aku selalu meneriakkan kata-katanya sebelum mulai bernyanyi.

“Selamat siang semua! Kami disini bukan untuk mengamen karena kami bukanlah pengamen. Kami adalah seniman jalanan yang akan terus mempersembahkan lagu ciptaan kami untuk semua. Terimakasih!!”

Tidak ada komentar: