Sabtu, 30 Mei 2009

Bangsa ku Tidak Untuk Berbisnis

Satu pekan yang lalu, bangsa Indonesia baru saja menyelenggarakan pesta Demokrasi. Sebagai rakyat Indonesia, kita semua telah menentukan pilihan masa depan negeri untuk lima tahun ke depan.

Pasca reformasi 1998, perilaku memilih dari pemegang hak suara memang telah banyak berubah, tentunya hal ini tidak lepas dari perubahan system demokratisasi di Indonesia. Bila dulu banyak pemilih yang menjatuhkan pilihannya karena mobilisasi dan manupilasi propaganda dari penguasa, kini pemilih telah memiliki hak suara sepenuhnya, sesuai dengan filsafat politik “vox popoli vox Dei”.

Akan tetapi demokratisasi yang berjalan di Indonesia saat ini masih tetap harus selalu di kritisi perkembangannya, agar kelak demokrasi yang telah beridiri di atas darah para mahasiswa ini tidak melenceng kea rah anarkisme ataupun chaos social politik.

Sistem demokrasi dan juga system pemilu Indoensia yang menganut system multi partai saat ini tidak hanya telah memberikan kebebasan memilih bagi rakyat Indonesia, akan tetapi juga memberikan kebebasan sebesar – besarnya bagi setiap WNI untuk ikut serta mencalonkan diri sebagai Pemimpin ataupun legislator.

Berawal dari kebebasan inilah, bangsa Indonesia yang setelah di landa krisis ekonomi 1998 ini terus mengalami keterpurukan ekonomi hingga saat ini. Walaupun pemerintah mengeklaim telah melakukan pembangunan ekonomi, namun tetap saja bangsa ini masih jauh dari cita-citanya seperti yang tertuang dalam UUD 45 untuk mewujudkan kesejahteraan umum, hal ini bisa di lihat dari tingkat pengangguran yang masih tinggi, apalagi bila di nilai dari standart tingkat pengeluaran masyarakat minimal $2 dalam sehari, ataupun Human Development Index nya, pembaca tentu dapat menilia – nya sendiri.

Alasan ekonomi lah membuat masyarakat Indonesia yang semakin terjepit oleh tuntutan perut terus mencari cara agar dapur mereka dapat terus berasap. Dan ketika sector perekonomian tidak lagi dapat di harapkan maka masyarakat –pun mencari solusi lain agar dapat memperoleh penghasilan yang mereka perlukan.

Seperti yang telah di singgung di atas, saat ini system politik Indonesia telah dapat memberikan kebebasan bagi setiap warga negaranya untuk berpartisipasi, menjadi salah satu alternative yang rasional memang untuk menraup penghasilan dengan duduk di kursi eksekutif dan legeslatif atau dengan kata lain inilah waktunya trend bisnis di dunia politik.

Rasional bukan bila dapat masuk ke parlemen atau memiliki kekuasaan kita dapat memperoleh apapun yang kita inginkan? Sepertinya alasan inilah yang menjadai dasar utama mengapa begitu pemiu yang demokratis di gelar pasca reformasi 1998, muncul puluhan parpol yang tidak jelas visi dan misinya. Sehingga apabila pembaca merupakan pemilih yang cerdas, tentunya akan kembali mempertimbangkan dan menilai ulang parpol yang akan di pilihnya dalam pemilu, apakah parpol tersebut memang bertujuan utuk membangun bangsa atau justru membangun kelompok atau bahkan korporasinya? Dan lihat juga individu – individu yang berada di baliknya apakah dia memang seorang negarawan atau justru seorang pebisnis, seperti yang di singgung di atas mengenai perut lapar karena dampak krisis ekonomi?

Masalah perut dalam pemilu di Indonesia terlihat semakin mencolok, ketika bangsa Indonesia untuk pertama kalinya menerapkan system pemilihan presiden dan DPR secara langsung pada tahun 2004, pada tahun tersebut ketika parpol di nilai sudah tidak relevan lagi dalam memberikan pemimpin yang di harapkan oleh masyarakat, dan pemerintah menyerahkan langsung pemilihan orang – orang penentu nasib bangsa ini kepada masyarakat, maka semakin terbuka lebarlah kesempatan untuk berbisnis dalam system politik yang keropos ini.

Individu – individu yang sebelumnya tidak pernah terlihat ataupun terdengar dalam aktivitas social dan politik tetapi memiliki uang yang lebih, berlomba – lomba masuk dalam lubang – lubang system politik tersebut tanpa visi dan misi yang jelas bagi masa depan bangsa.

Partai Politik yang sesungguhnya tercipta untuk memberikan pendidikan politik dan juga sebagai sarana kaderisasi dalam melahirkan calon – calon pemimpin bangsa sebagai negarawan murni, telah berubah menjadi kendaraan politik dari para pebisnis untuk masuk ke dalam system public policy. Fenomena ini bila di lihat secara mendalam lagi tentu kembali lagi pada masalah ekonomi, karena bila melihat parpol – parpol di Indonesia yang terjadi adalah kebanyakan Parpol hidup dari uang para pebisnis dan loyalisnya sendiri hidup dari Partai, sehingga wajar bila penulis menyebut hal ini sebagai fenomana bisnis parpol dan pemilu yang kapitalis.

Keberhasilan Pemerintah dalam menyelenggarakan pemilihan presiden langsung tahun 2004 terus di kembangkan hingga ke tingkat daerah yaitu dengan terimplementasikannya UU No 34 Tahun 2004 tentang otonomi daerah yang mana di dalamnya juga mengatur tentang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada). Dari fenomena – fenomena yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada di Indonesia inilah tampak bagaimana perilaku pemilih dalam memberikan hak pilihnya serta bagaimana strategi – strategi parpol untuk memenangkan pesta demokrasi, kejadian selama pemilu 2004, pilkada, dan juga masa – masa pemilu 2009 inilha representasi bangsa Indonesia dalam memaknai Demokrasi.

Sepanjang pelaksanaan pilkada di Indonesia dalam kurun waktu empat tahun ini, terlihat jelas bagaimana keterkenalan figure seorang calon merupakan factor kunci untuk meraih simpati public yang berujung pada kemenangan di pilkada atau pemilu. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah keterkenalan / figure dari seorang calon ini adalah jaminan untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki jiwa negarawan?

Pertanyaan di atas tentu sudah dapat di jawab oleh pembaca yang telah memiliki hak suara dalam pemilu. Selama ini keterkenalan dari figure memang telah menjadi sebuah komiditas yang sangat laku dalam pemilu. Bagaimana tidak, majunya artis – artis televise seperti Marisya Haque dan juga Adji Masaied yang duduk di kursi legeslatif pada pemilu 2004 dan juga kemenangan Si Doel (Rano Karno) dalam pilkada di Jawa Barat, telah menjadi tolak ukur bagaimana pemilih lebih mengidamkan sosok seorang actor daripada negarawan sejati. Sekali lago parpol berbondong – bonding mengikuti trend pasar ppolitik tersebut.

Kembali pada masalah perut dalam pemilu 2009 ini. Saat pesta demokrasi akan di gelar pada tahun ini, ada kecenderungan positif dalam demokratisasi di Indonesia. Ternyata tidak hanya para artis saja yagng ingin ikut meramaikan dalam pemilu 2009, tetapi juga masyarat Indonesia dari berbagai golongan. Memang partisipasi masyarakat secara aktif dengan mencalonkan diri dalam pemilu bisa jadi sebagai tolak ukur keberhasilan sebuah demokratisasi. Namun yang perlu kembali di pertanyakan adalah mengapa banyak masyarakat yang ingin mencalonkan diri sebagai caleg ataupun calon pemimpin sedangkan kecenderungan golput semakin besar?

Dan pertanyaan ini, kiranya terjawab sudah usai pesta demokrasi dalam pemilihan caleg pada pemilu 9 april 2009 silam. Lihat saja bagaimana saat ini media massa di Indonesia santer memberitakan para caleg yang stress bahkan menjadi gila karena kalah dalam pemilu. Hal ini tentu wajar bila kita berfikir secara logis, karena para caleg tersebut tentunya telah banyak mengeluarkan uang dan juga hartanya untuk berkampanye. Maka ketika mereka kalah, seperti halnya seorang pengusaha yang gagal dalam perjudian bisnis, mereka pun (caleg) merasa sangat keceewa terhadap hasil pemilu yang di dapat sedangkan uangnya tidak dapat di tarik kembali dan kebangkrutan yang membawa kemiskinan pun tengah mengancam mereka. Jadi jawabannya adalah, para caleg ini tentu tidak sepenuh hati untuk mengabdikan dirinya kepada Negara, karena ternyata mereka untuk berkorban harta benda saja belum siap, malahan mungkin yang mereka pikirkan adalah dengan modal berkampenye nantinya mereka dapat mencari keuntungan dengan duduk di kursi pemerintahan.

Tidak ada komentar: