Setidaknya sejak era 1980-an, tanpa sadar kita menyelenggarakan “perkabungan” kebudayaan atas “terbunuhnya” kultur tatap muka. “Kita” makin kesulitan untuk bertemu, berdialog secara intens, saling menyelami batin, mencium bau keringat, dan mengenali kemanusiaan dalam sebuah ruangan social yang kondusif. “Kita” mengalami keterasingan: kesendirianpun telah mengkristal menjadi kesunyian.
Dulu, kita bisa bareng – bareng nonton ketoprak, ludruk kelilingan, atau jenis kesenian tradisional lainnya yang manggung di desa atau di kota kita. Tap dimanakah mereka sekarang? Di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta kesenian yang mobil tinggal satu – dua atau bahkan telah punah. Sementara panggung – panggung Ramayana atau wayang orang semakin jauh dari tepuk sorak dan ingar – bingar penonton. Para pemain menggigil dibalut kemiskinan yang mencemaskan.
Begitu juga bioskop – bioskop di kota kecil maupun pinggiran. Sejak era sinepleks menguasai pasar, mereka makin ditinggalkan penontonnya dan akhirnya bernasib teragis: gulung tikar. Ada satu dua bioskop yang masih bertahan, tatapi merekapun hanya tinggal menghitung waktu hingga maut menjuputnya. Nasib yang sama juga banyak dialami banyak sineplex, kecuali yang ada di kota – kota besar, seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya,
Dulu, diberbagai kota muncul banyak lingkaran studi (diskusi) yang mampu melahirkan kesadaran kritis atau wacana – wacana yang membuat benak kita penuh sesak pengetahuan. Dari lingkar disukusi kecil ini banyak lahir tokoh muda, yang kini eksis di berbagai bidang. Kini, mungkin lingkaran diskusi ini masih ada meskipun jumlahnya menyusut tajam.
Paparan contoh di atas hanyalah sebagian (kecil) dari “matinya” seni pertunjukan, yang tentu juga terjadi di kota – kota lain di negeri ini. Kita melihat kenyataan, bukan hanya kesenian yang sepi, tapi juga forum – forum diskusi dan kegiatan sosiokultural lainnya yang di anggap tidak memiliki “nilai – guna”.
Semula kita menyangka: kematian mereka hanya karena dibunuh kapitalisme yang menghadirkan siaran televise di ruang tamu atau hal – hal lain yang member kenyamanan dan mudah dijangkau. Hal itu benar. Kapitalisme memang punya tabiat rakus dalam melipatgandakan modal untuk meraih keuntungan yang sebesar- besarnya. Ia tidak mau peduli dan berbagi dengan nasib pihak – pihak lain yang juga punya hak hidup. Prinsipnya: survival of the fittest. Hanya yang kuat dan berkuasa yang mampu bertahan.
Matinya jenis kesenian atau tontonan yang live ternyata bukan hanya disebabkan perang modal daro “kapitalis” (juragan) kecil melawan kapitlais raksasa. Begitu juga dengan “matinya” forum – forum sosiokultural. Ada hal yang lebih mendasar: “Terbunuhnya” kultur tatap muka dalam masyarakat.
Pragmatisme
Kultur tatap muka tentu tidak sesederhana “pertemuan saling menatap wajah”, melainkan sebuah budaya bercorak komunal yang menganggap penting kebersamaan untuk menciptakan solidaritas social dan merawat nilai – nilai kemanusiaan. Didalam nilai kebersamaan itu, pada hakikatnya, setiap individu memperkuat ikatan sosialnya sekaligus meneguhkan bahwa masing – masing orang merupakan bagian integral dari masyarakat atau komunitas. Di sini setiap individu melakukan pemaknaan social, baik yang terkait dengan diri sendiri maupun terkait dengan orang lain. Selain itu, setiap individu juga melakukan pemaknaan cultural: mereka melakukan dan konfirmasi dan peneguhan (istilah Umar Kayam) atas nilai – nilai ideal yang disepakati bersama.
Siapakah pembunuh kultur tatap muka? Kita bisa mengajukan pragmatimse, sebagai terdakwa. Menurut budayawan Kuntowijoyo, pragmatism berasal dari bahasa latin pragmaticus: praktis, aktif, sibuk; bahasa Yunani pragma berarti bisnis. Filsafat Pragmatisme tumbuh di Amerika Serikat; ditumbuhkan oleh William James (1842 - 1910) melalui buku pragmatism. Pokok ajaran (pragmatism) ini adalah sebuah kepercayaan itu dinilai benar jika berguna. Ukuran dari kebenaran ialah apakah suatu kepercayaan dapat mengantarkan orang kepada tujuan. Pragmatism menolak pandangan tentang kebenaran kaum rasionalis dan idealis, yang tidak berguna dalam kehidupan praktis (Kuntowijaya : 2005).
Pragmatisme menemukan ruang aktualisasi yang luas bersama dengan semakin menguatnya kapitalisme. Kata – kata kunci dalam kapitalisme adalah: praktis, pragmatis, efektif, dan efeisien. Ketika semua orang tanpa reserve mengimanai materialism, maka “nilai – guna” (yang disodorkan pragmatisme) menjadi pilihan paripurna. Kepentingan – kepentingan jangka pendek menjadi pilihan yang harus diambil untuk survive. Apapun, apapun dilakukan demi pereolehan yang dicapai secara instan itu. Segala hal yang tidak “cepat saji” atau “cepat raup” ditolak tanpa permisi dan basa – basi.
Di mata pragmatism, kultur tatap muka dianggap bukan sebagai “kebenaran” karena tidak memiliki guna (mendatangkan hasil secara langsung). Prinsip orang, kudu mikolehi (harus mendapat keuntungan secara konkret atau keuntungan secara cepat raup). Bertabrakan dengan prinsip – prinsip cultural dalam budaya tatap muka; perawatan atau pengukuhan nilai, solidaritas social dan lainnya, bagi orang pragmatis, nilai – nilai itu terlalu abstrak dan “tidak bisa dimasak menjadi nasi” (orang jawa bilang ora biso diliwet).
Kapitalis bergandengan tangan dengan pragmatism telah sukses “mengubur” idealism secara hidup – hidup. Ini terbukti, pragmatism laku dimana – mana: ya bidang politik, ya bidang agama, ya hokum, ya ekonomi, ya pendidikan, komplet. Akibatnya, terjadi humanisasi karena kekuatan modal beroperasi tanpa control, termasuk control dari Negara. Behkan Negara cenderung berposisi sebagai “panitia pasar bebas” yang diciptakan dan dibangun kapitalisme.
Kultur tatap muka, yang salah satu tujuannya, adalah merawat kemanusiaan dari bahaya robotisasi manusia yang diciptakan industrialism juga makin tenggelam ke dalam dasar degradasi manusia. Dalam setiap pertemuan yang cenderung muncul bukan manusia, melainkan actor – actor yang bernama fungsi atau guna. Manusia cenderung tereduksi menjadi sekedar fungsi di berbagai bidang kehidupan. Siapapun yang berupaya merebut kemanusiaannya, mereka akan di cap sok idealis, keras kepala, tidak realistis, jadul ( zaman dulu, kuno ) dan olok – olok lain. Mungkin masyarakat sekarang tidak lagi butuh budaya tatap muka, melainkan tatap fungsi, tatap guna, tatap hasil, tatap upah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar